Senin, 15 Agustus 2011

bintang di surga

Masih ku merasa angkuh
Terbangkan anganku jauh
Langit kan menangkapku
Walau ku terjatuh

Dan bila semua tercipta
Hanya untukku merasakan
Semua yang tercipta
Hampa hidup terasa

Lelah tatapku mencari
Mencari hati untukku membagi
Menemani langkahku namun tak berarti

Dan bila semua tercipta
Tanpa harus ku merasakan
Cinta yang tersisa
Hampa hidup terasa

Reff:

Bagai bintang di surga
Dan seluruh warna
Dan kasih yang setia
Dan cahaya nyata

Oh bintang di surga
Berikan cerita
Dan kasih yang setia
Dan cahaya nyata

lirik lagu sulis dzikir anak

Siapa yang menciptakan adik yang lucu bagimu
Siapa yang menciptakan kakak yang sayang padamu
Siapa yang menciptakan dirimu
Siapa yang menciptakan ayah dan ibumu

Siapakah yang menciptakan langit dan bumi
Siapakah yang menciptakan gunung tinggi
Siapakah yang menciptakan matahari
Siapakah yang menciptakan bulan dan bintang-bintangnya

Subhanallah wal hamdulillah, Subhanallah wal hamdulillah
Allah Maha Pencipta, Allah Maha Kuasa
Allah Maha Perkasa, Allah Maha Esa

Siapa yang menciptakan bukit-bukit dan sungai (Allah)
Siapa yang menciptakan lembah-lembah nan ngarai (Allah)
Siapa yang menciptakan samudera (Allah)
Siapa yang menciptakan gurun sahara

Siapa yang mengajarkan awan-awan melayang
Siapa yang mengajarkan turunnya hujan
Siapa yang menciptakan pohon dan hutan
Siapa yang menciptakan siang dan malam

Subhanallah wal hamdulillah, Subhanallah wal hamdulillah
Allah Maha Pengasih, Allah Maha Penyayang
lyricsalls.blogspot.com
Allah Maha Mulia, Allah Maha Esa

Siapa yang mengajarkan bunga-bunga mengembang
Siapa yang mengajarkan burung terbang
Siapa yang mengajarkan ikan berenang
Siapa yang menciptakan air kehidupan

Subhanallah wal hamdulillah, Subhanallah wal hamdulillah
Allah Maha Pencipta, Allah Maha Kuasa
Allah Maha Perkasa, Allah Maha Esa

Alam semesta dan isinya dicipta untukmu
Begitu besar rahmat kasih sayang Tuhanmu

Alam semesta dan isinya dicipta untukmu
Begitu besar rahmat kasih sayang Tuhanmu

Alam semesta dan isinya dicipta untukmu
Begitu besar rahmat kasih sayang Tuhanmu

Jumat, 12 Agustus 2011

jadwal pai b semesster 5

jadawal pai b semesster 5
V B Jadwal mandiri Lab. (227) Micro Teaching (2 sks) (1001) Team Dosen (0) -
V B Jum'at I 06.50-08.30 R.04 (222) Evaluasi Pembelajaran PAI (2 sks) (0) - (4063) Dra. Hj. Tuti Hayati, M.Pd.
V B Jum'at II 08.30-10.10 R.04 (221) Belajar dan Pembelajaran PAI (2 sks) (4042) Drs. Jamaluddin, M.Pd. (0) -
V B Jum'at IV 12.30-14.10 R.04 (224) Filsafat Islam (2 sks) (4031) Drs. H. Hamdani, MA. (0) -
V B Jum'at V 14.10-15.50 R.04 (223) Filsafat Ilmu (2 sks) (4062) Drs. H. Yaya Suryana, M.Ag. (4120) Dr.
Dian, M.Ag.
V B Sabtu I 06.50-08.30 R.04 (226) Kapita Selekta Pendidikan (2 sks) (4025) Drs. Murip Yahya, M.Pd. (0) -
V B Sabtu II 08.30-10.10 R.04 (225) Ilmu Pendidikan Islam (3 sks) (4002) Prof. Drs. H. Pupuh Faturohman (0) -
V B Sabtu III 10.10-11.50 R.04 (229) Pengemb. Kepribadian Guru (3 sks) (4013) Dr. Uus Ruswandi, M.Pd. (9102) Syamsiah,
M.Ag.
V B Sabtu IV 12.30-14.10 R.04 (228) Pengembangan Kurikulum (2 sks) (4006) Prof. Dr. H. Afifuddin, MM. (9107) Dra. Dina
V B Sabtu VI 16.20-18.00 R.04 (230) Qiraatul Kutub (3 sks) (4020) Drs. Abung Gunawan, M.Ag. (0) -

Kamis, 11 Agustus 2011

rukun iman


Iman terhadap wujud Allah
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 15
Iman terhadap wujud Allah ditopang oleh fitrah, akal sehat, dalil syari’at dan juga indera. Secara fitrah setiap manusia pasti mengakui bahwa ada yang menciptakan dirinya, hal itu dia yakini tanpa perlu berpikir panjang atau pun belajar ilmu tertentu. Tidak ada yang menyimpang dari keyakinan ini selain orang yang sudah terpengaruh faktor lain yang menyimpangkannya dari fitrah tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap bayi dilahirkan pasti dalam keadaan di atas fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari).
Adapun secara akal maka sesungguhnya keberadaan makhluk yang ada sejak dahulu hingga sekarang ini semua menunjukkan pasti ada yang menciptakan mereka. Tidak mungkin mereka menciptakan dirinya sendiri, atau terjadi secara tiba-tiba tanpa pencipta. Maka tidak ada kemungkinan selain alam ini pasti diciptakan oleh Allah ta’ala. Allah berfirman (yang artinya), “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun yang ada sebelumnya ataukah mereka menciptakan diri mereka sendiri?” (QS. ath-Thur : 35). Ketika mendengar dibacakannya ayat ini maka Jubair bin Muth’im yang pada saat itu masih kafir mengatakan, “Hampir-hampir saja hatiku terbang, itulah saat pertama kali iman menyentuh dan bersemayam di dalam hatiku.” (HR. Bukhari).
Begitu pula adanya kitab-kitab suci yang semuanya berbicara tentang Allah, ini merupakan dalil syari’at tentang keberadaan/wujud Allah. Sedangkan secara indera adalah kita bisa menyaksikan terkabulnya doa yang dipanjatkan oleh orang. Sebagaimana yang terjadi pada Nabi Nuh. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Nuh, ingatlah ketika dia menyeru (Rabbnya) sebelum itu dan Kami pun mengabulkan doanya.” (QS. al-Anbiya’ : 72). Demikian pula apa yang disaksikan oleh umat para nabi berupa mukjizat nabi yang diutus kepada mereka. Seperti contohnya mukjizat nabi Musa yang membelah lautan dengan tongkatnya. Allah berfirman (yang artinya), “Maka Kami wahyukan kepada Musa pukulkanlah dengan tongkatmu ke laut itu, maka ia pun terbelah dan setiap sisinya menjadi setinggi gunung yang tinggi.” (QS. asy-Syu’ara’ : 63).
Iman terhadap Rububiyyah Allah
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 19
Rabb adalah Dzat yang memiliki kuasa menciptakan, mengatur urusan dan memerintah. Kita wajib mengimani bahwa tidak ada pencipta, pengatur dan yang berhak memerintah semua makhluk selain Allah semata. Allah berfirman (yang artinya), “Ingatlah sesungguhnya menciptakan dan memerintah adalah hak-Nya.” (QS. al-A’raaf : 54). Allah juga berfirman (yang artinya), “Itulah Allah Rabb kalian. Sang pemilik kerajaan. Sedangkan sesembahan yang kalian seru selain-Nya tidaklah menguasai apapun walaupun hanya setipis kulit ari.” (QS. Fathir : 13). Tidak ada orang yang mengingkari hal ini kecuali dikarenakan kesombongan dan kecongkakan seperti halnya Fir’aun.
Orang-orang musyrik pun sudah mengakui hal ini bahwa tidak ada yang menguasai alam ini dan menciptakan langit dan bumi selain Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh jika kalian tanyakan kepada mereka; siapakah yang menciptakan langit dan bumi, maka mereka pasti menjawab; yang menciptakannya adalah Dzat Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. az-Zukhruf : 9). Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan sungguh jika kalian tanyakan kepada mereka; siapakah yang menciptakan mereka, maka pasti mereka akan mengatakan : Allah…” (QS. az-Zukhruf : 87).
Iman terhadap Uluhiyyah Allah
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 21
Artinya kita mengimani bahwa hanya Allah sesembahan yang benar dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Sesembahan kalian adalah sesembahan yang esa. Tidak ada sesembahan selain Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah : 163). “Demikian itulah kuasa Allah, Dia adalah sesembahan yang haq sedangkan segala yang diseru selain-Nya adalah sesembahan yang batil.” (QS. al-Hajj : 62). Maka segala sesuatu yang disembah selain Allah adalah batil. Oleh sebab itu dakwah yang diserukan oleh para rasul adalah sama yaitu, “Hai kaumku, sembahlah Allah. tidak ada sesembahan yang benar bagi kalian selain Dia.” (QS. al-A’raaf : 59).
Iman terhadap Asma wa Sifat Allah
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 23
Yaitu dengan menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang disebutkan oleh Allah atau rasul-Nya, di dalam al-Qur’an ataupun as-Sunnah sesuai dengan kemuliaan-Nya, tanpa menyimpangkan maknanya, tanpa menolak, dan tanpa menentukan bentuk dan caranya, serta tidak disertai dengan menyerupakannya dengan makhluk. Allah berfirman (yang artinya), “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. asy-Syura : 11).
Dalam mengimani hal ini terdapat dua kelompok besar yang menyimpang yaitu mu’aththilah dan musyabihah. Mu’aththilah menolak nama, sifat ataupun sebagian darinya dengan alasan bahwa apabila kita menetapkan hal itu akan menyebabkan terjadinya penyerupaan Allah dengan makhluk. Hal ini jelas tidak benar karena itu sama saja mengatakan bahwa di dalam al-Qur’an terdapat pertentangan. Padahal Allah sendiri yang menetapkan adanya nama atau sifat tersebut. Dan pertentangan ini sangat mustahil terjadi. Sedangkan kaum musyabbihah menetapkan nama dan sifat akan tetapi menyerupakan hakikatnya dengan nama dan sifat makhluk. Menurut mereka itulah yang dimaksud oleh dalil, padahal Allah sendiri menyatakan bahwa tidak ada yang serupa dengan-Nya. Maka menyerupakan Allah dengan makhluk jelas sebuah kebatilan, karena sama nama belum tentu hakikatnya sama.
[2] IMAN KEPADA MALAIKAT
Kandungan iman kepada malaikat
Rujukan : Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 27
Malaikat adalah makhluk ghaib yang senantiasa taat beribadah kepada Allah. Allah menciptakan mereka dari cahaya. Allah menganugerahkan kepada mereka ketundukan yang penuh terhadap perintah-Nya dan kekuatan yang hebat sehingga dapat melaksanakannya. Jumlah mereka banyak, tidak ada yang dapat menghitung semuanya kecuali Allah. Hal itu sebagaimana diceritakan oleh Nabi dalam hadits Anas yang mengisahkan peristiwa mi’raj Nabi ke langit bahwa di baitul ma’mur ada tujuh puluh ribu malaikat yang mengerjakan shalat di sana; apabila mereka sudah keluar darinya maka mereka tidak lagi kembali (HR. Bukhari dan Muslim).
Mengimani malaikat mengandung :
  • Keimanan terhadap wujud/keberadaan mereka
  • Mengimani nama-nama mereka yang kita ketahui dan keberadaan mereka meskipun tidak kita ketahui namanya
  • Mengimani sifat-sifat mereka yang diberitakan kepada kita
  • Mengimani perbuatan atau tugas mereka yang kita ketahui
Buah iman kepada malaikat
Rujukan : Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 29
Iman kepada malaikat akan dapat membuahkan manfaat yang agung di antaranya :
  • Mengetahui kebesaran Allah ta’ala dan kemahakuasaan-Nya
  • Bersyukur kepada Allah atas perhatian-Nya kepada manusia di mana Allah menciptakan malaikat yang menjaga mereka, mencatat amal-amal mereka
  • Mencintai ketaatan malaikat terhadap perintah Rabbnya
[3] IMAN KEPADA KITAB-KITAB
Kandungan iman kepada Kitab
Rujukan : Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 32
Yang dimaksud dengan kitab di sini adalah kitab-kitab suci yang Allah turunkan kepada para rasul-Nya sebagai bukti kasih sayang-Nya kepada manusia, petunjuk bagi mereka agar mereka bisa mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Iman kepada kitab-kitab mengandung empat hal :
  • Mengimani bahwa kitab-kitab tersebut benar-benar turun dari sisi Allah
  • Mengimani nama-nama kitab yang kita ketahui, adapun yang tidak kita ketahui namanya maka kita mengimaninya secara global
  • Membenarkan berita yang sahih yang terdapat di dalamnya sebagaimana berita-berita yang terdapat di dalam al-Qur’an dan berita-berita di dalam kitab suci terdahulu yang tidak diubah-ubah atau diselewengkan
  • Mengamalkan hukumnya yang belum dihapus oleh al-Qur’an dan merasa ridha dan pasrah kepada ketentuannya, sedangkan pemberlakuan kitab suci terdahulu telah dihapuskan semuanya oleh al-Qur’an
Buah iman kepada Kitab
Rujukan : Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 33
Iman kepada kitab membuahkan :
  • Menyadari perhatian Allah kepada hamba-hamba-Nya di mana Allah telah menurunkan kitab-kitab kepada masing-masing kaum sebagai petunjuk untuk mereka
  • Mengetahui kebijaksanaan Allah dalam menetapkan syari’at-Nya di mana Allah menetapkan syari’at yang sesuai dengan keadaan masing-masing kaum
Iman terhadap al-Qur’an
Rujukan : Kitab Tauhid li Shafits Tsani hal. 53
al-Qur’an adalah kalamullah, lafaz maupun maknanya. Diturunkan dari-Nya, bukan makhluk. Didengar oleh Jibril dan disampaikan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kemudian beliau menyampaikannya kepada para sahabatnya. Itulah yang kita baca dengan lisan kita, yang ditulis di dalam mushaf, dihafal di dalam dada dan kita dengar dengan telinga kita. al-Qur’an diturunkan kepada Nabi yang terakhir dan ia merupakan kitab suci terakhir yang diturunkan kepada manusia dan menghapus syari’at-syari’at terdahulu. al-Qur’an yang ada di tangan-tangan kita itulah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, dan ia akan tetap ada hingga tiba waktunya diangkat di akhir zaman nanti. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunaikan tugasnya untuk menjelaskan al-Qur’an ini dengan ucapan, perbuatan dan ketetapannya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an agar kamu jelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan supaya mereka mau berpikir.” (QS. an-Nahl : 44).
[4] IMAN KEPADA PARA RASUL
Definisi rasul
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 34
Secara bahasa Rasul artinya orang yang diutus untuk menyampaikan sesuatu. Sedangkan pengertian rasul dalam syari’at adalah orang yang mendapatkan wahyu dengan syari’at serta diperintahkan untuk menyampaikannya. Rasul yang pertama adalah Nuh ‘alaihis salam, sedangkan rasul yang terakhir adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Kami telah wahyukan kepadamu al kitab sebagaimana Kami mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi sesudahnya.” (QS. an-Nisaa’ : 163). Allah juga berfirman (yang artinya), “Bukanlah Muhammad itu sekedar bapak dari salah seorang dari kalian akan tetapi dia adalah seorang utusan Allah dan penutup nabi-nabi.” (QS. al-Ahzab : 40).
Perbedaan nabi dengan rasul
Kitab Tauhid li Shafits Tsani hal. 61
Nabi secara istilah adalah seorang lelaki merdeka yang mendapatkan berita dari Allah ta’ala dengan syari’at terdahulu untuk dia ajarkan kepada orang-orang di sekelilingnya yang telah menganut syariat terdahulu tersebut. Adapun rasul adalah lelaki merdeka yang mendapatkan berita dari Allah dengan syariat serta diprintahkan untuk menyampaikannya kepada kelompok orang yang tidak mengetahuinya atau kaum yang menyelisihinya dari kalangan orang-orang yang menjadi sasaran dakwahnya. Kenabian merupakan sayrat kerasulan, sehingga tidak bisa menjadi rasul kecuali nabi. Setiap rasul adalah nabi dan tidak sebaliknya. Rasul diutus kepada orang yang belum mengenal agama Allah dan syari’at-Nya atau kepada orang-orang yang telah mengubah syariat dan agama dalam rangka mengajari dan mengembalikan mereka kepada ajaran yang benar. Maka rasul adalah hakim di antara mereka. Sedangkan nabi hanya diutus untuk mendakwahkan syariat sebelumnya yang sudah ada.
Kandungan iman kepada para Rasul
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 36
Iman kepada para rasul mengandung beberapa hal :
  • Mengimani bahwa risalah mereka adalah haq dari sisi Allah, maka barangsiapa yang mengingkari risalah salah satu saja di antara mereka sama saja dia telah kafir kepada mereka semua. Allah berfirman (yang artinya), “Kaum Nuh mendustakan seluruh rasul.” (QS. asy-Syu’ara’ : 105).
  • Mengimani rasul yang kita ketahui namanya, dan apabila tidak kita ketahui maka kita mengimani mereka secara global
  • Membenarkan berita yang benar-benar diberitakan oleh mereka
  • Mengamalkan syari’at rasul yang diutus kepada kita yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
Buah iman kepada para Rasul
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 38
Iman kepada rasul membuahkan berbagai faidah di antaranya :
  • Mengetahui rahmat Allah ta’ala dan perhatian-Nya kepada hamba-hamba-Nya di mana Allah mengutus untuk mereka para rasul yang menunjukkan kepada mereka kepada jalan Allah dan menjelaskan kepada mereka tata cara beribadah kepada-Nya
  • Bersyukur kepada Allah atas nikmat yang sangat agung ini
  • Mencintai para Rasul ‘alaihimush shalatu was salam dan mengagungkan mereka, memuji mereka dengan pujian yang sepantasnya karena mereka adalah para utusan Allah yang telah menunaikan dengan baik kewajiban beribadah kepada-Nya serta menyampaikan risalah kepada umat manusia.
Mencintai dan mengagungkan Rasulullah
Kitab Tauhid li Shafits Tsalits hal. 65
  • Wajib bagi setiap orang untuk mencintai Allah, bahkan hal itu tergolong ibadah yang paling agung. Dan salah satu konsekuensi kecintaan kepada Allah adalah kecintaan kepada Rasul. Nabi bersabda, “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai aku lebih dicintainya daripada anak dan orang tuanya, dan dari seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim).
  • Di samping itu kita juga dilarang melakukan perbuatan melampaui batas dan berlebih-lebihan dalam memuji beliau. Beliau bersabda, “Janganlah kamu memujiku sebagaimana kaum Nashara memuji Isa putera Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba. Maka katakanlah bahwa aku adalah hamba dan utusan-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
  • Termasuk bentuk pengagungan kepada beliau adalah dengan menjunjung tinggi sunnah-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah ia (Muhammad) berbicara dengan hawa nafsunya, namun itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. an-Najm : 3-4). Dan kita juga tidak boleh sembarangan membicarakan sahih tidaknya hadits tanpa landasan ilmu.
[5] IMAN KEPADA HARI AKHIR
Kandungan iman kepada hari Akhir
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 40
Hari akhir adalah hari tatkala umat manusia dibangkitkan dari kuburnya untuk dihisab dan dibalas amal-amalnya. Iman kepada hari akhir mengandung 3 hal :
  • Iman akan terjadinya hari kebangkitan; yaitu dihidupkannya orang-orang yang telah mati ketika ditiupnya sangkakala untuk kedua kalinya maka bangkitlah mereka untuk menghadap Allah dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian, dan belum berkhitan.
  • Iman terhadap adanya hisab dan pembalasan amal. Setiap orang akan dibalas berdasarkan amalnya. Hal ini merupakan konsekuensi dari kebijaksanaan Allah ta’ala yang telah menurunkan kitab-kitab dan mengutus para rasul serta mewajibkan umat manusia untuk menerima dan melaksanakan ajaran mereka, bahkan Allah juga memerintahkan untuk memerangi orang-orang yang menentang rasul-Nya, kalau seandainya setelah itu semua tidak ada balasan dan maka niscaya ini semua merupakan sebuah kesia-siaan yang Allah tentu saja terbebas darinya
  • Iman terhadap surga dan neraka. Keduanya merupakan tempat tinggal abadi bagi manusia. Surga adalah negeri yang penuh dengan kenikmatan yang Allah persiapkan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Sedangkan neraka adalah negeri yang penuh dengan siksaan yang dipersiapkan oleh Allah bagi orang-orang yang kafir dan zalim.
Fitnah kubur dan siksa kubur
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 44
Kita juga wajib mengimani segala peristiwa yang terjadi setelah kematian, seperti :
  • Ujian di alam kubur. Yaitu pertanyaan kepada mayit setelah ia dikuburkan mengenai siapakah Rabbnya, apa agamanya dan siapa Nabinya. Pada saat itu Allah akan memberikan ketegaran bagi hamba-hamba-Nya yang beriman sehingga ia akan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan baik.
  • Siksa dan nikmat kubur. Siksa kubur diperuntukkan bagi orang-orang zalim yaitu orang munafik dan orang kafir. Adapun nikmat kubur diperuntukkan bagi orang-orang yang beriman dan tulus lagi jujur
Buah iman kepada hari Akhir
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 46
Iman kepada hari akhir akan membuahkan :
  • Menumbuhkan semangat dalam melakukan ketaatan
  • Memunculkan perasaan takut untuk berbuat maksiat
  • Menghibur hati seorang mukmin yang mengalami kehilangan sebagian kenikmatan dunia
[6] IMAN KEPADA TAKDIR
Kandungan iman kepada Takdir
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 53
Iman kepada takdir mencakup empat hal :
  • Mengimani bahwa Allah telah mengetahui segala sesuatu baik secara global maupun terperinci, baik yang terkait dengan perbuatan Allah sendiri ataupun perbuatan makhluk
  • Mengimani bahwa Allah telah menulis ilmunya di dalam Lauhul mahfuz sejak 50 ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi
  • Mengimani bahwa segala kejadian di alam ini tidak terjadi kecuali dengan kehendak Allah, baik hal itu berkaitan dengan diri-Nya ataupun makhluk
  • Mengimani bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini merupakan makhluk Allah, baik itu berupa dzat, sifat maupun gerak-geriknya
Kehendak manusia
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 54
Manusia tidak hidup dalam keadaan dipaksa, mereka memiliki pilihan dan kemampuan. Hal ini ditunjukkan oleh dalil syari’at maupun dalil kenyataan. Dalil dari syari’at antara lain firman Allah (yang artinya), “Maka baransgiapa yang berkehendak silakan mengambil jalan untuk kembali kepada Rabb-nya.” (QS. an-Naba’ : 39). Allah juga berfirman (yang artinya), “Bertakwalah kepada Allah sekuat kemampuan kalian.” (QS. at-Taghabun : 16). Sedangkan dalil kenyataan menunjukkan bahwa setiap orang menyadari bahwa dirinya mempunyai kehendak dan kemampuan yang dengan itu dia bisa melakukan sesuatu atau meninggalkannya.
Buah iman kepada Takdir
Nubdzatun fil ‘Aqidah hal. 58
Iman kepada takdir akan menghasilkan :
  • Sikap bersandar kepada Allah dalam melakukan usaha
  • Menahan munculnya sikap ujub atau kagum terhadap diri sendiri
  • Tenang ketika menghadapi musibah yang menimpa
Macam-macam taqdir
Kitab Tauhid li Shafits Tsani hal. 113
Takdir ada bermacam-macam :
  • Takdir umum yang mencakup segala sesuatu yaitu yang sudah Allah tetapkan sejak 50 ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi
  • Takdir umri; yaitu takdir yang dituliskan ketika seoang bayi mulai mengawali kehidupannya di dalam rahim ibunya
  • Takdir sanawi; yaitu takdir yang dituliskan saat Lailatul Qadar di setiap tahunnya
  • Takdir yaumi; yaitu takdir yang dituliskan terjadi pada setiap harinya, baik itu terkait dengan rezeki, hidup maupun matinya seseorang
·         Iman Kepada Allah Ta’ala

Iman kepada Allah adalah keyakinan yang kuat bahwa Allah adalah Rabb dan Raja segala sesuatu, Dialah Yang Mencipta, Yang Memberi Rizki, Yang Menghidupkan, dan Yang Mematikan, hanya Dia yang berhak diibadahi. Kepasrahan, kerendahan diri, ketundukan, dan segala jenis ibadah tidak boleh diberikan kepada selain-Nya, Dia memiliki sifat-sifat kesempurnaan, keagungan, dan kemuliaan, serta Dia bersih dari segala cacat dan kekurangan.

2. Iman Kepada Para Malaikat-Nya

Iman kepada malaikat adalah keyakinan yang kuat bahwa Allah memiliki malaikat-malaikat, yang diciptakan dari cahaya. Mereka, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah, adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan. Adapun yang diperintahkan kepada mereka, mereka laksanakan. Mereka bertasbih siang dan malam tanpa berhenti. Mereka melaksanakan tugas masing-masing sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah, sebagaimana disebutkan dalam riwayat-riwayat mutawatir dari nash-nash Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Jadi, setiap gerakan di langit dan di bumi, berasal dari para malaikat yang ditugasi di sana, sebagai pelaksanaan perintah Allah Azza wa Jalla. Maka, wajib mengimani secara tafshil (terperinci), para malaikat yang namanya disebutkan oleh Allah, adapun yang belum disebutkan namanya, wajib mengimani mereka secara ijmal (global).

3. Iman Kepada Kitab-Kitab

Maksudnya adalah, meyakini dengan sebenarnya bahwa Allah memiliki kitab-kitab yang diturunkan-Nya kepada para nabi dan rasul-Nya, yang benar-benar merupakan Kalam (firman, ucapan)-Nya. Ia adalah cahaya dan petunjuk. Apa yang dikandungnya adalah benar. Tidak ada yang mengetahui jumlahnya selain Allah. Wajib beriman secara ijmal, kecuali yang telah disebutkan namanya oleh Allah, maka wajib baginya mengimaninya secara tafshil, yaitu Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Qur’an. Selain wajib mengimani bahwa Al-Qur’an diturunkan dari sisi Allah, wajib pula mengimani bahwa Allah telah mengucapkannya sebagaimana Dia telah mengucapkan seluruh kitab lain yang diturunkan. Wajib pula melaksanakan berbagai perintah dan kewajiban serta menjauhi berbagai larangan yang terdapat di dalamnya. Al-Qur’an merupakan tolok ukur kebenaran kitab-kitab terdahulu. Hanya Al-Qur’anlah yang dijaga oleh Allah dari pergantian dan perubahan. Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang diturunkan, dan bukan makhluk, yang berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya.

4. Iman Kepada Rasul-rasul

Iman kepada rasul-rasul adalah keyakinan yang kuat bahwa Allah telah mengutus para rasul untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya. Kebijaksanaan-Nya telah menetapkan bahwa Dia mengutus para rasul itu kepada manusia untuk memberi kabar gembira dan ancaman kepada mereka. Maka, wajib beriman kepada semua rasul secara ijmal sebagaimana wajib pula beriman secara tafshil kepada siapa di antara mereka yang disebut namanya oleh Allah, yaitu 25 diantara mereka yang disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Wajib pula beriman bahwa Allah telah mengutus rasul-rasul dan nabi-nabi selain mereka, yang jumlahnya tidak diketahui oleh selain Allah, dan tidak ada yang mengetahui nama-nama mereka selain Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi. Wajib pula beriman bahwa Muhammad shalalallahu alaihi wa salam adalah yang paling mulia dan penutup para nabi dan rasul, risalahnya meliputi bangsa jin dan manusia, serta tidak ada nabi setelahnya.

5. Iman Kepada Kebangkitan Setelah Mati

Iman kepada kebangkitan setelah mati adalah keyakinan yang kuat tentang adanya negeri akhirat. Di negeri itu Allah akan membalas kebaikan orang-orang yang berbuat baik dan kejahatan orang-orang yang berbuat jahat. Allah mengampuni dosa apapun selain syirik, jika Dia menghendaki. Pengertian alba’ts (kebangkitan) menurut syar’i adalah dipulihkannya badan dan dimasukkannya kembali nyawa ke dalamnya, sehingga manusia keluar dari kubur seperti belalang-belalang yang bertebaran dalam keadaan hidup dan bersegera mendatangi penyeru. Kita memohon ampunan dan kesejahteraan kepada Allah, baik di dunia maupun di akhirat.

6. Iman Kepada Takdir Yang Baik Maupun Yang Buruk Dari Allah Ta’ala.

Iman kepada takdir adalah meyakini secara sungguh-sungguh bahwa segala kebaikan dan keburukan itu terjadi karena takdir Allah. Allah ta’ala telah mengetahui kadar dan waktu terjadinya segala sesuatu sejak zaman azali, sebelum menciptakan dan mengadakannya dengan kekuasaan dan kehendak-Nya, sesuai dengan apa yang telah diketahui-Nya itu. Allah telah menulisnya pula di dalam Lauh Mahfuzh sebelum menciptakannya.

Banyak sekali dalil mengenai keenam rukun Iman ini, baik dari segi Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Diantaranya adalah firman Allah Ta’ala:

”Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur
dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah
beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, dan
nabi-nabi…”
(Al-Baqarah:177)

”Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu
menurut qadar (ukuran).”
(Al-Qomar: 49)

Juga sabda Nabi shalallahu alaihi wa salam dalam hadits Jibril:
”Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasulNya, dan hari akhir. Dan engkau beriman kepada takdir Allah, yang baik maupun yang buruk.” (HR Muslim)

Sumber:
Syarh Al-’Aqidah Al-Wasithiyah li Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthaniy, Pustaka
Attibyan.

Selasa, 09 Agustus 2011

Zuhud

definisi zuhud: menurut bahasa, lafahz zahidha fiihi wa 'anhu, zuhdan wa zahaadatan artinya berpaling dari sesuatu, meninggalkan sesuatu itu karena kehinaannnya atau karena kekesalan kepadanya atau untuk membunuhnya. lafazh zahuda fi asy-syai'i artinya tidak membutuhkannya, jika dikatakan zahida fi ad-dunyaa artinya meninggalkan hal-hal yang haram, dari dunia, karena takut hisabnya (perhitungan di akherat kelak ) dan meninggalkan yang haram dari dunia itu karena takut siksaan-Nya. Tazahhada artinya pun menjadi orang zuhud dan ahli ibadah. az-Zahid adalah ahli ibadah. bentuk jama'nya adalah zuhad wa zuhaad . lafazh az-Zhaadah fi asy-syai'i kebalikan dari kesenangan kepadanya, ridho kepada yang sedikit dan yang jelas kehalalannya, meninggalkan yang lebih dari itu karena Alloh semata. ini

pengertian zuhud jika ditilik dari makna kata zahaadah . makna zuhud secara terminologis, ada bebrapa ulama' yang mengartikan diantaranya Ibnul Jauziy mengatakan ," azzuhud merupakan ungkapan tentang pengalihan keinginan dari sesuatu kepada sesuatu yang lain yang lebih baik darinya. syarat sesuatu yang tidak disukai haruslah berupa sesuatu yang memang tidak disukai dengan pertimbangan tertentu. siapa yang tidak menyukai sesuatu yang bukan termasuk hal yang disenangi dan dicari jiwanya, tidak harus disebut orang zuhud, seperti orang yang tidak makan tanah, yang tidak dapat disebut orang yang zuhud. jadi zuhud itu tidak sekedar meninggalkan harta dan mengeluarkannya degna suka rela, ketika badan kuat dan kecendrungan hati kepadanya, tapi zuhud itu ialah meninggalkan dunia karena didasarkan pengetahuan tentang kehinaan dunia itu jika dibandingkan nilai akhirat."

menurut syaikhul islam Ibnu Taimiyah, " az-Zuhd adalah menghindari sesuatu yang tidak bermanfaat, entah karena memang tidak ada manfaatnya, atau memang karena keaadaannya yang tidak diutamakan, karena ia dapat menghilangkan sesuatu yang lebih bermanfaat, atau dapat mengancam manfaatnya, entah manfaat yang sudah pasti maupun manfaat yang diprediksi. zuhud di dunia merupakan kebodohan."

SABAR dan TAAT


Sifat Terpuji Taat
     Beribadah secara Lillahitaalla (ikhlas) selalu taat, merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri dan sangat disukai oleh Allah dan Rasul-Nya. Taat secara bahasa adalah senantiasa tunduk dan patuh, baik terhadap Allah, Rasul maupun ulil amri. Hal ini sudah tertuang didalam Qs An Nisa ayat 59
“ Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al Quran) dan Rasul ( Sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya “.
     Berpedoman pada sepotong firman Allah diatas yang memerintahkan orang-orang yang beriman supaya selalu memurnikan ketaatan hanya kepada Allah, Rasul maupun ulil amri. Soal pemimpin yang bagaimana yang harus ditaati tsb ? tentu pemimpin yang juga taat kepada Allah dan Rasulnya, lalu masih adakah pemimpin yang memiliki sifat seperti yang di uraikan diatas ? yang lebih mengutamakan kepentingan umum&rakyat badarai diatas kepentingan pribadi dan keluarganya ?.
     Taat pada Allah tidak hanya asal taat, didalam pelaksanaan teknisnya harus benar dan sungguh-sungguh sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, dan dengan tampa alasan apapun menghentikan segala larangan-Nya. Sebenarnya apa-apa yang menjadi perintah Allah Taalla sudah tidak diragukan lagi pasti tersimpan segala kemaslahatan (kebaikan), sedangkan apa-apa yang menjadi larangan-Nya sudah tertulis akan segala kemudharatanya (keburukan). Kemudharatan (bencana alam dimana-mana) yang sering terjadi akhir-akhir ini merupakan imbas dari tidak menghiraukan segala larangan Allah dan Rasul-Nya. Qs Ali Imran ayat 32 memperjelasnya :
“ Katakanla, taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir “.
    Begitu juga ketaatan kepada Rasul, yaitu Rasulullah Saw dengan selalu meimplementasikan yang terdapat dalam hadis beliau. Sebagai utusan Allah Nabi Muhammad Saw mempunyai tugas menyampaikan amanah kepada umat manusia tampa memandang status, jabatan, suku dsb. Oleh karena itu bagi setiap muslim yang taat kepada Allah Swt harus melengkapinya dengan mentaati segala perintah Rasulullah Saw sebagai utusan-Nya. Sebagai mana yang difirmankan Allah didalam Qs At Taqabun ayat 12
“ Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban rasul kami hanyalah menyampaikan (amanah Allah) dengan terang “.
     Allah Swt adalah adalah khalik, pencipta alam semesta beserta isinya ini. Rasulullah Saw adalah utusan-Nya untuk seluruh umat manusia bahkan kelahiran dari beliau Saw alam semesta ini mendapat rahmat yang tidak ternilai harganya. Oleh karena itu siapapun yang telah berikrar (bersyahadad) maka dengan sendirinya lahirlah suatu kewajiban dalam bentuk ketaatan kepada keduanya dalam situasi dan kondisi apapun. Namun jenis ketaatan seperti yang disebutkan diatas akan lebih sempurna kalau diiringi dengan ketaatan dan kepatuhan kepada ulil amri atau pemimpin. Ketaatan tersebut dalam artian harus selalu taat dan mematuhi peraturan-peraturan yang telah ditelurkan secara bersama, tentu selam peraturan itu masih diatas nilai-nilai kemanusiaan dan tidak menyimpang dari aturan agama Islam. Ketaatan itu bukan hanya harus diimplementasikan pada pemimpin dalam artian luas saja dalam artian sempitpun harus menjadi keseharian kita, seperti kepada orang-orang yang memiliki kuasa dan kedudukan yang lebih tinggi. Seorang anak harus taat dan patuh pada kedua orang tuanya, murid kepada gurunya, istri kepada suaminya agar kasus-kasus perceraian yang marak terjadi belakangan ini dan dengan berbagai macam penyebabnya dapat diminimalisir dsb. Dari Ibnu Umar Ra. Nabi Muhammad Saw bersabda :
“ Wajib bagi seorang muslim mendengarkan dan taat sesuai dengan yang disukai dan apabila diperintah untuk menjalankan maksiat jangan dengarkan dan jangan taati “. ( Hr. Muslim ).
    Ketatatan yang kita lakukan kepada Allah, Rasul dan ulil amri merupakan ketaatan yang akan berakibat baik terhadap amal ibadah kita selama ketatan tersebut tidak diselimuti oleh berbagai bentuk kebohongan, penyakit hati, kemunafikan dsb. Malah Islam sangat memuliakan umatnya yang memiliki sifat tawaduk dengan selalu merendahkan hati baik terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia. Kita sebagai muslim harus menyadari bertawaduk merupakan bagian dari akhlakul karimah yang melahirkan manusia-manusia yang berprilaku baik, dengan memunculkan suatu kesadaran akan hakikat kejadian dirinya dan tidak pernah mempunyai alasan untuk merasa lebih baik, lebih pintar, lebih kaya, lebih ganteng, lebih cantik maupun lebih-lebih lainya antara dirinya dengan orang lain.
“ Dan hamba-hamba tuhan yang maha penyayang itu adalah orang-orang yang berjalan diatas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka.mereka mengucapkan kata-kata yang baik ‘. ( Qs Al Furqan-63 ).

SABAR
Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.” (Al Fawa’id, hal. 95)
Pengertian Sabar
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah….” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Macam-Macam Sabar
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu terbagi menjadi tiga macam:
1. Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah
2. Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah
3. Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa berbagai hal yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Sebab Meraih Kemuliaan
Di dalam Taisir Lathifil Mannaan Syaikh As Sa’di rahimahullah menyebutkan sebab-sebab untuk menggapai berbagai cita-cita yang tinggi. Beliau menyebutkan bahwa sebab terbesar untuk bisa meraih itu semua adalah iman dan amal shalih.
Di samping itu, ada sebab-sebab lain yang merupakan bagian dari kedua perkara ini. Di antaranya adalah kesabaran. Sabar adalah sebab untuk bisa mendapatkan berbagai kebaikan dan menolak berbagai keburukan. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah ta’ala, “Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS. Al Baqarah [2]: 45).
Yaitu mintalah pertolongan kepada Allah dengan bekal sabar dan shalat dalam menangani semua urusan kalian. Begitu pula sabar menjadi sebab hamba bisa meraih kenikmatan abadi yaitu surga. Allah ta’ala berfirman kepada penduduk surga, “Keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian.” (QS. Ar Ra’d [13] : 24).
Allah juga berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan kedudukan-kedudukan tinggi (di surga) dengan sebab kesabaran mereka.” (QS. Al Furqaan [25] : 75).
Selain itu Allah pun menjadikan sabar dan yakin sebagai sebab untuk mencapai kedudukan tertinggi yaitu kepemimpinan dalam hal agama. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Dan Kami menjadikan di antara mereka (Bani Isra’il) para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan titah Kami, karena mereka mau bersabar dan meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah [32]: 24) (Lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 375)
Sabar Dalam Ketaatan
Sabar Dalam Menuntut Ilmu
Syaikh Nu’man mengatakan, “Betapa banyak gangguan yang harus dihadapi oleh seseorang yang berusaha menuntut ilmu. Maka dia harus bersabar untuk menahan rasa lapar, kekurangan harta, jauh dari keluarga dan tanah airnya. Sehingga dia harus bersabar dalam upaya menimba ilmu dengan cara menghadiri pengajian-pengajian, mencatat dan memperhatikan penjelasan serta mengulang-ulang pelajaran dan lain sebagainya.
Semoga Allah merahmati Yahya bin Abi Katsir yang pernah mengatakan, “Ilmu itu tidak akan didapatkan dengan banyak mengistirahatkan badan”, sebagaimana tercantum dalam shahih Imam Muslim. Terkadang seseorang harus menerima gangguan dari orang-orang yang terdekat darinya, apalagi orang lain yang hubungannya jauh darinya, hanya karena kegiatannya menuntut ilmu. Tidak ada yang bisa bertahan kecuali orang-orang yang mendapatkan anugerah ketegaran dari Allah.” (Taisirul wushul, hal. 12-13)
Sabar Dalam Mengamalkan Ilmu
Syaikh Nu’man mengatakan, “Dan orang yang ingin beramal dengan ilmunya juga harus bersabar dalam menghadapi gangguan yang ada di hadapannya. Apabila dia melaksanakan ibadah kepada Allah menuruti syari’at yang diajarkan Rasulullah niscaya akan ada ahlul bida’ wal ahwaa’ yang menghalangi di hadapannya, demikian pula orang-orang bodoh yang tidak kenal agama kecuali ajaran warisan nenek moyang mereka.
Sehingga gangguan berupa ucapan harus diterimanya, dan terkadang berbentuk gangguan fisik, bahkan terkadang dengan kedua-keduanya. Dan kita sekarang ini berada di zaman di mana orang yang berpegang teguh dengan agamanya seperti orang yang sedang menggenggam bara api, maka cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita, Dialah sebaik-baik penolong” (Taisirul wushul, hal. 13)
Sabar Dalam Berdakwah
Syaikh Nu’man mengatakan, “Begitu pula orang yang berdakwah mengajak kepada agama Allah harus bersabar menghadapi gangguan yang timbul karena sebab dakwahnya, karena di saat itu dia tengah menempati posisi sebagaimana para Rasul. Waraqah bin Naufal mengatakan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah ada seorang pun yang datang dengan membawa ajaran sebagaimana yang kamu bawa melainkan pasti akan disakiti orang.”
Sehingga jika dia mengajak kepada tauhid didapatinya para da’i pengajak kesyirikan tegak di hadapannya, begitu pula para pengikut dan orang-orang yang mengenyangkan perut mereka dengan cara itu. Sedangkan apabila dia mengajak kepada ajaran As Sunnah maka akan ditemuinya para pembela bid’ah dan hawa nafsu. Begitu pula jika dia memerangi kemaksiatan dan berbagai kemungkaran niscaya akan ditemuinya para pemuja syahwat, kefasikan dan dosa besar serta orang-orang yang turut bergabung dengan kelompok mereka.
Mereka semua akan berusaha menghalang-halangi dakwahnya karena dia telah menghalangi mereka dari kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan yang selama ini mereka tekuni.” (Taisirul wushul, hal. 13-14)
Sabar dan Kemenangan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan sungguh telah didustakan para Rasul sebelummu, maka mereka pun bersabar menghadapi pendustaan terhadap mereka dan mereka juga disakiti sampai tibalah pertolongan Kami.” (QS. Al An’aam [6]: 34).
Semakin besar gangguan yang diterima niscaya semakin dekat pula datangnya kemenangan. Dan bukanlah pertolongan/kemenangan itu terbatas hanya pada saat seseorang (da’i) masih hidup saja sehingga dia bisa menyaksikan buah dakwahnya terwujud. Akan tetapi yang dimaksud pertolongan itu terkadang muncul di saat sesudah kematiannya. Yaitu ketika Allah menundukkan hati-hati umat manusia sehingga menerima dakwahnya serta berpegang teguh dengannya. Sesungguhnya hal itu termasuk pertolongan yang didapatkan oleh da’i ini meskipun dia sudah mati.
Maka wajib bagi para da’i untuk bersabar dalam melancarkan dakwahnya dan tetap konsisten dalam menjalankannya. Hendaknya dia bersabar dalam menjalani agama Allah yang sedang didakwahkannya dan juga hendaknya dia bersabar dalam menghadapi rintangan dan gangguan yang menghalangi dakwahnya. Lihatlah para Rasul shalawatullaahi wa salaamuhu ‘alaihim. Mereka juga disakiti dengan ucapan dan perbuatan sekaligus.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Demikianlah, tidaklah ada seorang Rasul pun yang datang sebelum mereka melainkan mereka (kaumnya) mengatakan, ‘Dia adalah tukang sihir atau orang gila’.” (QS. Adz Dzariyaat [51]: 52). Begitu juga Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Dan demikianlah Kami menjadikan bagi setiap Nabi ada musuh yang berasal dari kalangan orang-orang pendosa.” (QS. Al Furqaan [25]: 31). Namun, hendaknya para da’i tabah dan bersabar dalam menghadapi itu semua…” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Sabar di atas Islam
Ingatlah bagaimana kisah Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu yang tetap berpegang teguh dengan Islam meskipun harus merasakan siksaan ditindih batu besar oleh majikannya di atas padang pasir yang panas (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122). Ingatlah bagaimana siksaan tidak berperikemanusiaan yang dialami oleh Ammar bin Yasir dan keluarganya. Ibunya Sumayyah disiksa dengan cara yang sangat keji sehingga mati sebagai muslimah pertama yang syahid di jalan Allah. (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122-123)
Lihatlah keteguhan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu yang dipaksa oleh ibunya untuk meninggalkan Islam sampai-sampai ibunya bersumpah mogok makan dan minum bahkan tidak mau mengajaknya bicara sampai mati. Namun dengan tegas Sa’ad bin Abi Waqqash mengatakan, “Wahai Ibu, demi Allah, andaikata ibu memiliki seratus nyawa kemudian satu persatu keluar, sedetikpun ananda tidak akan meninggalkan agama ini…” (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 133) Inilah akidah, inilah kekuatan iman, yang sanggup bertahan dan kokoh menjulang walaupun diterpa oleh berbagai badai dan topan kehidupan.
Saudaraku, ketahuilah sesungguhnya cobaan yang menimpa kita pada hari ini, baik yang berupa kehilangan harta, kehilangan jiwa dari saudara yang tercinta, kehilangan tempat tinggal atau kekurangan bahan makanan, itu semua jauh lebih ringan daripada cobaan yang dialami oleh salafush shalih dan para ulama pembela dakwah tauhid di masa silam.
Mereka disakiti, diperangi, didustakan, dituduh yang bukan-bukan, bahkan ada juga yang dikucilkan. Ada yang tertimpa kemiskinan harta, bahkan ada juga yang sampai meninggal di dalam penjara, namun sama sekali itu semua tidaklah menggoyahkan pilar keimanan mereka.
Ingatlah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 102).
Ingatlah juga janji Allah yang artinya, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya akan Allah berikan jalan keluar dan Allah akan berikan rezeki kepadanya dari jalan yang tidak disangka-sangka.” (QS. Ath Thalaq [65] : 2-3).
Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya datangnya kemenangan itu bersama dengan kesabaran. Bersama kesempitan pasti akan ada jalan keluar. Bersama kesusahan pasti akan ada kemudahan.” (HR. Abdu bin Humaid di dalam Musnadnya [636] (Lihat Durrah Salafiyah, hal. 148) dan Al Haakim dalam Mustadrak ‘ala Shahihain, III/624). (Syarh Arba’in Ibnu ‘Utsaimin, hal. 200)
Sabar Menjauhi Maksiat
Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Bersabar menahan diri dari kemaksiatan kepada Allah, sehingga dia berusaha menjauhi kemaksiatan, karena bahaya dunia, alam kubur dan akhirat siap menimpanya apabila dia melakukannya. Dan tidaklah umat-umat terdahulu binasa kecuali karena disebabkan kemaksiatan mereka, sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam muhkam al-Qur’an.
Di antara mereka ada yang ditenggelamkan oleh Allah ke dalam lautan, ada pula yang binasa karena disambar petir, ada pula yang dimusnahkan dengan suara yang mengguntur, dan ada juga di antara mereka yang dibenamkan oleh Allah ke dalam perut bumi, dan ada juga di antara mereka yang di rubah bentuk fisiknya (dikutuk).”
Pentahqiq kitab tersebut memberikan catatan, “Syaikh memberikan isyarat terhadap sebuah ayat, “Maka masing-masing (mereka itu) kami siksa disebabkan dosanya, Maka di antara mereka ada yang kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al ‘Ankabuut [29] : 40).
“Bukankah itu semua terjadi hanya karena satu sebab saja yaitu maksiat kepada Allah tabaaraka wa ta’ala. Karena hak Allah adalah untuk ditaati tidak boleh didurhakai, maka kemaksiatan kepada Allah merupakan kejahatan yang sangat mungkar yang akan menimbulkan kemurkaan, kemarahan serta mengakibatkan turunnya siksa-Nya yang sangat pedih. Jadi, salah satu macam kesabaran adalah bersabar untuk menahan diri dari perbuatan maksiat kepada Allah. Janganlah mendekatinya.
Dan apabila seseorang sudah terlanjur terjatuh di dalamnya hendaklah dia segera bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, meminta ampunan dan menyesalinya di hadapan Allah. Dan hendaknya dia mengikuti kejelekan-kejelekannya dengan berbuat kebaikan-kebaikan. Sebagaimana difirmankan Allah ‘azza wa jalla, “Sesungguhnya kebaikan-kebaikan akan menghapuskan kejelekan-kejelekan.” (QS. Huud [11] : 114). Dan juga sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya.” (HR. Ahmad, dll, dihasankan Al Albani dalam Misykatul Mashaabih 5043)…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)
Sabar Menerima Takdir
Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Macam ketiga dari macam-macam kesabaran adalah Bersabar dalam menghadapi takdir dan keputusan Allah serta hukum-Nya yang terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada satu gerakan pun di alam raya ini, begitu pula tidak ada suatu kejadian atau urusan melainkan Allah lah yang mentakdirkannya. Maka bersabar itu harus. Bersabar menghadapi berbagai musibah yang menimpa diri, baik yang terkait dengan nyawa, anak, harta dan lain sebagainya yang merupakan takdir yang berjalan menurut ketentuan Allah di alam semesta…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)
Sabar dan Tauhid
Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu ta’ala membuat sebuah bab di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman billah, ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab Bersabar dalam menghadapi takdir Allah termasuk cabang keimanan kepada Allah)
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullahu ta’ala mengatakan dalam penjelasannya tentang bab yang sangat berfaedah ini, “Sabar tergolong perkara yang menempati kedudukan agung (di dalam agama). Ia termasuk salah satu bagian ibadah yang sangat mulia. Ia menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi tanpa kesabaran.
Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syari’at (untuk mengerjakan sesuatu), atau berupa larangan syari’at (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian dalam bentuk musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau bersabar ketika menghadapinya.
Hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syari’at serta menjauhi larangan syari’at dan bersabar menghadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-hamba-Nya. Dengan demikian ujian itu bisa melalui sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdir.
Adapun ujian dengan dibebani ajaran-ajaran agama adalah sebagaimana tercermin dalam firman Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah hadits qudsi riwayat Muslim dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda “Allah ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengutusmu dalam rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji (manusia) dengan dirimu’.”
Maka hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah menjadi ujian. Sedangkan adanya ujian jelas membutuhkan sikap sabar dalam menghadapinya. Ujian yang ada dengan diutusnya beliau sebagai rasul ialah dengan bentuk perintah dan larangan.
Untuk melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk meninggalkan berbagai larangan dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula saat menghadapi keputusan takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga diperlukan bekal kesabaran. Oleh sebab itulah sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar dalam berbuat taat, sabar dalam menahan diri dari maksiat dan sabar tatkala menerima takdir Allah yang terasa menyakitkan.”
Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar tatkala tertimpa musibah maka Syaikh pun membuat sebuah bab tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu beliau lakukan dalam rangka menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian dari kesempurnaan tauhid. Sabar termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba, sehingga ia pun bersabar menanggung ketentuan takdir Allah.
Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar itulah yang banyak muncul dalam diri orang-orang tatkala mereka mendapatkan ujian berupa ditimpakannya musibah. Dengan alasan itulah beliau membuat bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah hal yang wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu beliau juga ingin memberikan penegasan bahwa bersabar dalam rangka menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga wajib.
Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya si polan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan demikianlah inti makna kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i.
Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung penahanan lisan untuk tidak berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan anggota badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-nampar pipi, merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut istilah syari’at sabar artinya: Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari marah dan menahan anggota badan dari menampakkan kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain semacamnya.
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam al-Qur’an kata sabar disebutkan dalam 90 tempat lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran untuk menjauhi maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan banyak sekali bagian keimanan”
Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah” artinya: salah satu ciri karakteristik iman kepada Allah adalah bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah. Keimanan itu mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga bercabang-cabang.
Maka dengan perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau ingin memberikan penegasan bahwa sabar termasuk salah satu cabang keimanan. Beliau juga memberikan penegasan melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang menunjukkan bahwa niyaahah (meratapi mayit) itu juga termasuk salah satu cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang kekafiran itu harus dihadapi dengan cabang keimanan. Meratapi mayit adalah sebuah cabang kekafiran maka dia harus dihadapi dengan sebuah cabang keimanan yaitu bersabar terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan” (At Tamhiid, hal.389-391)