Senin, 31 Oktober 2011

kelemahan pend. islam

A. POTRET PENDIDIKAN INDONESIA
Dunia pendidikan saat ini sering dikritik oleh masyarakat yang disebabkan karena adanya sejumlah pelajar dan lulusan pendidikan tersebut yang menunjukkan sikap kurang terpuji. Banyak pelajar yang terlibat tawuran, melakukan tindakan kriminal, pencurian penodongan, penyimpangan seksual, menyalah-gunakan obat-obatan terlarang dan sebagainya. Perbuatan tidak terpuji yang dilakukan para pelajar tersebut benar-benar telah meresahkan masyarakat dan merepotkan pihak aparat keamanan. Hal tersebut masih ditambah lagi dengan adanya peningkatan jumlah pengangguran yang pada umumnya adalah tamatan pendidikan.
Keadaan ini semakin menambah potret pendidikan kita makin tak menarik dan tak sedap dipandang makin menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap wibawa dunia pendidikan kita. Jika keadaan yang demikian tidak segera dicari solusinya, maka akan sulit mencari alternatif yang lain yang paling efektif untuk membina moralitas masyarakat.Berbagai solusi untuk memperbaiki dunia pendidikan dan mencari sebab-sebabnya merupakan hal yang tidak dapat ditunda lagi.
B. PENERAPAN SISTEM PENDIDIKAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN
Sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia pada saat ini adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik.. Sistem pendidikan semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi. Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan menghasilkan dikotomi pendidikan yang sudah berjalan puluhan tahun, yakni antara pendidikan agama di satu sisi dengan pendidikan umum di sisi lain. Pendidikan agama melalui madrasah, institut agama, dan pesantren dikelola oleh Departemen Agama, sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, dan kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.
.
Sistem pendidikan yang material-sekuleristik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekuler. Dalam sistem sekuler, aturan-aturan, pandangan dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Maka, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik, serta paradigma pendidikan yang materialistik.
C.KELEMAHAN SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA
Sistem pendidikan adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan.Secara konseptual, sistem pendidikan di Indonesia tlah diatur dalam undang –undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-undang ini telah diatur mengenai: dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan, hak warga negara untuk memperoleh pendidikan, satuan, jalur dan jenis pendidikan, jenjang pendidikan, peserta didik, tenaga kependidikan, sumber daya pendidikan, pengelolaan, pengawasan, ketentuan lain-lain, ketentuan pidana dan ketentuan peralihan.
Jika substansi yang terdapat dalam batang tubuh Undang-undang tersebut ditelaah secara seksama, tampak bahwa secara keseluruhan cukup ideal. Namun ideal ini belum tampak dalam realitas. Hal ini dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut.
Pertama, dilihat dari segi dasarnya, pendidikan Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dasar ini mengandung nilai-nilai yang tidak diragukan lagi amat ideal dn luhur. Namun, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang dasar tersebut sekarang ini tidak lagi efektif, bahkan masyarakat enggan untuk menyebutnya. Hal ini ini antara lain disebabkan trauma masa lalu, dimana Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 ditempatkan pada doktrin politik yang hanya ditafsirkan mennurut versi dan kemauan penguasa. Hak bicara masyarakat tersumbat, dan nyaris tidak memiliki kebebasan, sampai kemudian datang gelombang reformasi yang memberikan kebebasan hampir tanpa batas kepada masyarakat untuk berbicara apa saja. Masyarakat ternyata semakin tidak beradab, yang terlihat dalam berbagai fenomena perilaku yang menyimpang dan tidak manusiawi, seperti penjarahan, penganiayaan, pembunuhan, pemerkosaan, dan lain sebagainya. Masyarakat kini tengah mencari dasar pendidikan alternatif yang dapat diterima dan terasa pengaruhnya secara efektif. Dasar tersebut antara lain melalui penerapan konsep masyarakat madani. Konsep masyarakat madani sudah masuk ke dalam salah satu butir konsideran dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Pemantapan konsep madani dalam pendidikan lebih diperkuat pula melalui Mata Kuliah Pendidikan Kewargaan (Civic Education). Berhasilkah konsep masyarakat madani ini diterapkan sebagai dasar pendidikan Islam? Tampak belum terjawab.
Kedua, dilihat dari segi fungsinya pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional. Fungsi pendidikan yang demikian itu masih belum terlihat hasilnya secara aktual.Keadaan menunjukkan bahwa mutu kehidupan dan martabat manusia di Indonesia didunia internasional terpuruk. Daya saing kualitas sumber daya manusia d negara di kawasan Asia Tenggara. Demikian pula citra bangsa Indonesia di mata dunia internasional tampil dalam sosoknya sebagai bangsa yang kejam, sadis, bengis dan menakutkan.
Ketiga, dilihat dari segi tujuannya, pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memilki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Namun demikian, dalam kenyataan masih terdapat kesenjangan antara tujuan pendidikan yang diharapkan dengan realitas lulusan pendidikan. Lulusan pendidikan saat ini cenderung bersikap sekuler, materialistik, rasionalistik, hedonistik, yaitu manusia yang cerdas intelektualnya dan terampil fisiknya, namun kurang terbina mental spiritualnya, dan kurang memiliki kecerdasan emosional. Akibatnya, kini banyak sekali pelajar yang terlibat tawuran, melakukan tindakan kriminal, pencurian penodongan, penyimpangan seksual, menyalah-gunakan obat-obatan terlarang dan sebagainya.
Keempat, dilihat dari kesempatan yang diberikan, dalam Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Namun dalam kenyataan masih banyak warga negara Indonesia yang belum mengenyam pendidikan sebagai akibat dari ketidakmampuan dalam bidang ekonomi. Pendidikan saat ini, khususnya pendidikan yang bermutu hanya dapat dimonopoli oleh segelintir orang yang mampu saja. Sedangkan masyarakat pada umumnya hany mendapatkan pendidikan yang kurang menjanjikan masa depannya.
Kelima, dilihat dari segi penyelenggaraannya, pendidikan dilaksanakan melalui 2 ( dua jalur), yaitu jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar secara berjenjang dan berkesinambungan. Sedang pendidikan di luar sekolah tidak secara berjenjang dan berkesinambungan. Keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan. Namun prakteknya perhatian pemerintah selama ini hanya diberikan terhadap jalur pendidikan sekolah. Sedangkan pendidikan luar sekolah kurang diperhatikan, sehingga kurang berperan sebagaimana diharapkan.Hal ini semakin diperparah lagi adanya pengaruh global yang menerpa kehidupan keluarga yang selanjutnya merubah orintasi dan pola hidup. Yaitu pola hidup yang lebih mengutamakan material tanpa diimbangi dengan dimensi spiritual. Akhirnya rumah tangga sebagai benteng pertahanan moral dan akhlak keluarga terbawa hanyut arus global tersebut.
Keenam, dilihat dari segi tenaga pendidikan, Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan, bahwa tenaga kependidikan meliputi tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, pemilik, pengawas, peneliti dan pengembangan di bidang pendidikan, pustakawan, laboran dan teknisi belajar. Tenaga pengajar adalah tenaga pendidik yang khusus diangkat dengan tugas utama mengajar, yang pada jenjang pendidikan dasar menengah disebut guru dan pada jenjang perguruan disebut dosen.
Secara kuantitatif dan kualitatif tenaga-tenaga kependidikan tersebut di atas, tampak belum memadai untuk keperluan berbagai lembaga pendidikan yang ada. Hal ini disebabkan karena keterbatan kemampuan pemerintahan untuk mengadakan tenaga –tenaga kependidikan tersebut. Keadaan tersebut diperparah lagi dengan tutupnya tenaga-tenaga pendidikan yang secara khusus menyelenggarakan pendidikan keguruan untuk tingkat dasar, menengah dan tinggi. Sekolah Pendidikan Keguruan(SPG), Pendidikan Guru Agama (PGA), Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) dan semacamnya kini tidak ada lagi. Akibatnya tugas mendidik dilakukan oleh tenaga pendidikan yang tidak profesional.
Ketujuh, dilihat dari segi kurikulum, Sistem Pendidikan Nasional mengatakan, bahwa kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing –masing satuan pendidikan. Kenyataannya menunjukkan masih terdapat sejumlah pengetahuan yang diberikan diperguruan tinggi yang tidak ada lagi relevansinya dengan kebutuhan masyarakat, sehingga lembaga pendidikan ikut andil memperbanyak jumlah pengangguran intelektual. Selain itu masalah dikhotomi antara ilmu agama dengan ilmu umum masih mewarnai kurikulum pendidikan pada umumnya. Untuk mengatasi masalah ini perlu segera dilakukan integrasi antara ilmu agama dengan ilmu umum, Islamisai atau spiritualisasi ilmu pengetahuan umum.
D. PENDIDIKAN ISLAM SEBAGAI SOLUSI KELEMAHAN SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA
Islam memberi metode pendidikan yang sempurna kepada umat manusia Seperti diungkapkan di atas, bahwa sistem pendidikan Islam merupakan alternatif solusi mendasar untuk menggantikan sistem pendidikan sekuler saat ini. Bagaimanakah gambaran sistem pendidikan Islam tersebut? Berikut uraiannya secara sekilas.
1. Dasar Pendidikan Islam
Dasar sturuktur ajaran Islam, tauhid merupakan hal yang amat fundamental dan mendasari segala aspek para penganutnya, tak terkecuali pendidikan. Dalam kaitan ini seleruh pakar berpendapat bahwa dasar pendidikan Islam adalah tauhid.
2. Kurikulum Pendidikam Islam
Kurikulum Pendidikan Islam harus dirancang berdasarkan konsep tauhid dalam hubungannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
3. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Islam
Sejalan dengan dasar pendidikan sebagaimana tersebut diatas, maka fungsi pendidikan Islam harus berfungsi sebagai penyiapan kader-kader khalifah dalam rangka membangun kerajaan dunia yang makmur, dinamis, harmonis dan lestari sebagaimana diisyaratkan oleh Allah
Pendidikan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia yang berkarakter (khas) islami. Antara lain:
a) Membentuk kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah)
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (Fushshilat:33)
Ini sebetulnya merupakan konsekuensi keimanan seorang Muslim. Intinya, seorang Muslim harus memiliki dua aspek yang fundamental, yaitu pola pikir (‘aqliyyah) dan pola jiwa (nafsiyyah) yang berpijak pada akidah Islam.
Ada tiga langkah metode pembentukan pengembangan Islam, yaitu:
1) Menanamkan aqidah Islam dengan metode yang menggungat akal, menggetarkan jiwa dan menyentuh perasaan.
2) Mendorong untuk senantiasa menegakkan bangunan cara berpikir dan perilakunya di atas aqidah dan syariah Islam yang telah menghujam kuat dalam hatinya.
3) Mengembangkankepribadian dengan cara sungguh-sungguh mengisi pikiran dengan tsaqofah Islamiyyah dan mengamalkannya dalam seluruh aspek kehidupannya dalam rangka melaksanakan ketaatan kepada Allah SWT.
b) Menguasai Tsaqofah Islam (ilmu-ilmu yang dikembangkan berdasarkan aqidah Islam)
Islam telah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu. Berdasarkan takaran kewajibannya, menurut al-Ghazali, ilmu dibagi dalam dua kategori, yaitu:
1) Ilmu yang termasuk fardhu ‘ain (kewajiban individual), artinya wajib dipelajari setiap Muslim, yaitu tsaqâfah Islam yang terdiri dari konsepsi, ide, dan hukum-hukum Islam; bahasa Arab; sirah Nabi saw., Ulumul Quran, Tahfizh al-Quran, ulumul hadis, ushul fikih, dll.
2) Ilmu yang dikategorikan fadhu kifayah (kewajiban kolektif); biasanya ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi serta ilmu terapan-keterampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik, dll.
(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Azzumar:9)
c) Menguasai ilmu kehidupan (sains teknologi dan keahlian)
Menguasai ilmu kehidupan (iptek) diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan material sehingga dapat menjalankan misi sebagai khalifah Allah SWT dengan baik di muka bumi ini.
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(AlQashash:77)
Rasulullah pernah memerintahkan Asy-syifa binti Abdullah agar mengajarkan kepada Hafshah Ummu Mukminin tentang menulis dan pengobatan dengan doa dan jampi. Beliau juga pernah menganjurkan kaum muslimah agar mempelajari ilmu menulis dan merawat orang sakit (pengobatan)
4. Sifat dan syarat seorang pendidik
Ada beberapa sifat dan syarat seorang pendidik diantaranya:
a. Setiap pendidik harus memiliki sifat rabbani. Artinya, kita harus mengaitkan diri kita kepada Tuhan Yang Maha Agung melalui ketaatan kita kepada syariat-Nya serta melalui pemahan kita akan sifat-sifat-Nya.
b. Seorang guru hendaknya menyempurnakan sifat rabaniahnya dengan keikhlasan. Artinya, aktivitas sebagai pendidik bukan semata-mata untuk menambah wawasan keilmuannya, lebih jauh dari itu harus ditujukan dengan keridhaan Allah serta mewujudkan kebenaran.
c. Ketka menyampaikan ilmunya kepada anak didik, seorang pendidik harus memiliki kejujuran dengan menerapkan apa yang dia ajarkan dalam kehidupan pribadinya.
d. Seorang guru harus senantiasa meingkatkan wawasan, pengetahuan, dan kajiannya.
e. Seorang pendidik hendaknya mengajarkan ilmunya dengan sabar.
f. Seorang pendidik harus cerdik dan terampil dalam menciptakan metode pengajaran yang variatif serta sesuai dengan situasi dan materi pelajaran.
g. Seorang guru harus mampu bersikap tegas dan meletakkan sesuatu sesuai proposinya sehingga dia mampu mengontrol dan menguasai siswa.
h. Seorang guru dituntut untuk memahami psikologi anak, psikologi perkembangan, dan psikologi pendidikan
i. Seorang guru dituntut untuk peka terhadap fenomena kehidupan

prinsip pend. multikultural

Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini:
1. Pendidikan Multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
2. Pendidikan Multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
3. Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
4. Pendidikan Multikultural harus mendukung prinsip-prinsip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang Ras, Budaya dan Agama.





Pendahuluan
Perkembangan pembangunan nasional dalam era industrialisasi di Indonesia telah memunculkan side effect yang tidak dapat terhindarkan dalam masyarakat. Konglomerasi dan kapitalisasi dalam kenyataannya telah menumbuhkan bibit-bibit masalah yang ada dalam masyarakat seperti ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin, masalah pemilik modal dan pekerja, kemiskinan, perebutan sumber daya alam dan sebagainya. Di tambah lagi kondisi masyarakat Indonesia yang plural baik dari suku, agama, ras dan geografis memberikan kontribusi terhadap masalah-masalah sosial seperti ketimpangan sosial, konflik antar golongan, antar suku dan sebagainya.
Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kasus Ambon, Sampit, konflik antara FPI dan kelompok Achmadiyah, dan sebagainya telah menyadarkan kepada kita bahwa kalau hal ini terus dibiarkan maka sangat memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa,
Untuk itu dipandang sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural sebagai wacana baru dalam sistem pendidikan di Indonesia terutama agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan kerena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diimplementasi baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.
2. Perspektif Tentang Pendidikan Multikultural
Pendidikan Multibudaya dalam Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Kuper, 2000) dimulai sebagai gerakan reformasi pendidikan di AS selama perjuangan hak-hak kaum sipil Amerika keturunan Afrika pada tahun 1960-an dan 1970-an. Perubahan kemasyarakatan yang mendasar seperti integrasi sekolah-sekolah negeri dan peningkatan populasi imigran telah memberikan dampak yang besar atas lembaga-lembaga pendidikan. Pada saat para pendidik berjuang untuk menjelaskan tingkat kegagalan dan putus sekolah murid-murid dari etnis marginal, beberapa orang berpendapat bahwa murid-murid tersebut tidak memiliki pengetahuan budaya yang memadai untuk mencapai keberhasilan akademik.
Banks (1993) telah mendiskripsikan evolusi pendidikan multibudaya dalam empat fase. Yang pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Yang ketiga, kelompok-kelompok marginal yang lain, seperti perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga pendidikan. Fase keempat perkembangan teori, triset dan praktek, perhatian pada hubungan antar-ras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli teoritisi, jika bukan para praktisi, dari pendidikan multibudaya. Gerakan reformasi mengupayakan transformasi proses pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua murid, apapun ras atau etnis, kecacatan, jenis kelamin, kelas sosial dan orientasi seksualnya akan menikmati kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan.
Nieto (1992) menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya bertujuan untuk sebuah pendidikan yang bersifat anti rasis; yang memperhatikan ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia; yang penting bagi semua murid; yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan; mengembangkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan sosial; yang merupakan proses dimana pengajar dan murid bersama-sama mempelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik; dan menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi perhatian pada bangun pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan ketrampilan dalam membuat keputusan dan tindakan sosial.
Wacana multikulturalisme untuk konteks di Indonesia menemukan momentumnya ketika sistem nasional yang otoriter-militeristik tumbang seiring dengan jatuhnya rezim Soeharto. Saat itu, keadaan negara menjadi kacau balau dengan berbagai konflik antarsuku bangsa dan antar golongan, yang menimbulkan keterkejutan dan kengerian para anggota masyarakat. Kondisi yang demikian membuat berbagai pihak semakin mempertanyakan kembali sistem nasional seperti apa yang cocok bagi Indonesia yang sedang berubah, serta sistem apa yang bisa membuat masyarakat Indonesia bisa hidup damai dengan meminimalisir potensi konflik.
Menurut Sosiolog UI Parsudi Suparlan, Multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah idiologi yang mengagungkan perbedaaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat. Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.
3. Implementasi Dalam Dunia Pendidikan
Uraian sebelumnya telah mempertebal keyakinan kita betapa paradigma pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama, budaya dan kebutuhan di antara kita. Paparan di atas juga memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta, jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Pada konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Lebih jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan atau setidaknya tidak setuju dengan ketidak-toleranan (l’intorelable) seperti inkuisisi (pengadilan negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama, diskriminasi, dan hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan uniformitas global.
Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau pemikiran tidak muncul dalam ruangan kosong, namun ada interes politik, sosial, ekonomi dan intelektual yang mendorong kemunculannya. Wacana pendidikan multikultural pada awalnya sangat bias Amerika karena punya akar sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM) dari berbagai kelompok yang tertindas di negeri tersebut. Banyak lacakan sejarah atau asal-usul pendidikan multikultural yang merujuk pada gerakan sosial Orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik diskrinunasi di lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an. Di antara lembaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, suara-suara yang menuntut lembaga-lembaga pendidikan agar konsisten dalam menerima dan menghargai perbedaan semakin kencang, yang dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh dan orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang pekerjaan dan pendidikan. Momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari konseptualisasi pendidikan multikultural.
Tahun 1980-an agaknya yang dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah yang berlandaskan pendidikan multikultural yang didirikan oleh para peneliti dan aktivis pendidikan progresif. James Bank adalah salah seorang pioner dari pendidikan multikultural. Dia yang membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan. Pada pertengahan dan akhir 1980-an, muncul kelompok sarjana, di antaranya Carl Grant, Christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia Nieto yang memberikan wawasan lebih luas soal pendidikan multikultural, memperdalam kerangka kerja yang membumikan ide persamaan pendidikan dan menghubungkannya dengan transformasi dan perubahan sosial.
Didorong oleh tuntutan warga Amerika keturunan Afrika, Latin/Hispanic, warga pribumi dan kelompok marjinal lain terhadap persamaan kesempatan pendidikan serta didorong oleh usaha komunitas pendidikan profesional untuk memberikan solusi terhadap masalah pertentangan ras dan rendahnya prestasi kaum minoritas di sekolah menjadikan pendidikan multikultural sebagai slogan yang sangat populer pada tahun 1990-an. Selama dua dekade konsep pendidikan multikultural menjadi slogan yang sangat populer di sekolah-sekolah AS. Secara umum, konsep ini diterima sebagai strategi penting dalam mengembangkan toleransi dan sensitivitas terhadap sejarah dan budaya dari kelompok etnis yang beraneka macam di negara ini.
Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di antaranya memuat empat pesan. Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri diri pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.
Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar AS, khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, ras, agama dan budaya seperti Indonesia. Sekarang ini, pendidikan multikultural secara umum mencakup ide pluralisme budaya. Tema umum yang dibahas meliputi pemahaman budaya, penghargaan budaya dari kelompok yang beragam dan persiapan untuk hidup dalam masyarakat pluralistik.
Pada konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep pendidikan multikultural semakin memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim otoriter-militeristik Orde Baru karena hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak hanya membawa berkah bagi bangsa kita namun juga memberi peluang meningkatnya kecenderungan primordialisme. Untuk itu, dirasakan kita perlu menerapkan paradigma pendidikan multikultur untuk menangkal semangat primordialisme tersebut.
Secara generik, pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.
Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini:
  • Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
  • Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
  • Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
  • Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.
Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri.
Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.
4. Penutup
Pendidikan multikultural sebagai wacana baru di Indonesia dapat diimplementasikan tidak hanya melalui pendidikan formal namun juga dapat dimplementasikan dalam kehidupan masyarakat maupun dalam keluarga. Dalam pendidikan formal pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam sistem pendidikan melalui kurikulum mulai Pendidikan Usia Dini, SD, SLTP, SMU maupun Perguruan Tinggi. Sebagai wacana baru, Pendidikan Multikultural ini tidak harus dirancang khusus sebagai muatan substansi tersendiri, namun dapat diintegrasikan dalam kurikulum yang sudah ada tentu saja melalui bahan ajar atau model pembelajaran yang paling memungkinkan diterapkannya pendidikan multikultural ini. Di Perguruan Tinggi misalnya, dari segi substansi, pendidikan multikultural ini dapat dinitegrasikan dalam kurikulum yang berperspektif multikultural, misalnya melalui mata kuliah umum seperti Kewarganegaraan, ISBD, Agama dan Bahasa. Demikian juga pada tingkat sekolah Usia Dini dapat diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan misalnya dalam Out Bond Program, dan pada tingkat SD, SLTP maupun Sekolah menengah pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam bahan ajar seperti PPKn, Agama, Sosiologi dan Antropologi, dan dapat melalui model pembelajaran yang lain seperti melalui kelompok diskusi, kegiatan ekstrakurikuler dan sebagainya.
Dalam Pendidikan non formal wacana ini dapat disosialisasikan melalui pelatihan-pelatihan dengan model pembelajaran yang responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan baik ras suku, maupun agama antar anggota masyarakat.
Tak kalah penting wacana pendidikan multikultural ini dapat diimplementasikan dalam lingkup keluarga. Di mana keluarga sebagai institusi sosial terkecil dalam masyarakat, merupakan media pembelajaran yang paling efektif dalam proses internalisasi dan transformasi nilai, serta sosialisasi terhadap anggota keluarga. Peran orangtua dalam menanamkan nilai-nilai yang lebih responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan dan pengakuan terhadap perbedaan yang ada di sekitar lingkungannya (agama, ras, golongan) terhadap anak atau anggota keluarga yang lain merupakan cara yang paling efektif dan elegan untuk mendukung terciptanya sistem sosial yang lebih berkeadilan.
5. Daftar Pustaka
Banks, J (1993), Multicultural Eeducation: Historical Development,Dimension, and Practice. Review of Research in Education.
——, (1994), An Introduction to Multicultural Education, Needham Heights, MA
Kuper, Adam & Jessica Kuper (2000), Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tent

pend. mulitikultural

Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara.
Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme.
Multikultural adalah berbagai pengalaman yang membentuk persepsi umum terhadap usia, gender, agama, status sosial ekonomi, jenis identitas budaya, bahasa, ras, dan berkebutuhan khusus.
Segala perbedaan yang dimiliki individu maupun kelompok memiliki potensi besar terjadinya konflik antar individu maupun kelompok, bahkan dapat merambah ke perbedaan wilayah yang lebih luas: wilayah geografis, etnis, budaya, agama, keyakinan dan pola pikir.
Multikulturalisme, sebagai suatu paham yang berusaha memahami dan menerima segala perbedaan setiap individu, dikemas dalam program pendidikan untuk menghindari terjadinya konflik.
Multikulturalisme mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.
Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, suku bangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan.
Mengingat pentingnya pemahaman mengenai multikulturalisme dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara terutama bagi negara-negara yang mempunyai aneka ragam budaya masyarakat seperti Indonesia, maka pendidikan multikulturalisme ini perlu dikembangkan.
Pendidikan multikultural, memfasilitasi peserta didik memiliki karakter kuat untuk bersikap demokratis, pluralis dan humanis.
Melalui pendidikan multikulturalisme ini diharapkan akan dicapai suatu kehidupan masyarakat yang damai, harmonis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam undang-undang dasar.

Inkulturasi proses pemahaman/menerima terhadap nilai-nilai oleh individu maupun kelompok masyarakat terhadap kultur yang diturunkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi, sehingga berlaku dalam kelompoknya.
Sosialisasi merupakan proses pembelajaran secara sosial dalam kehidupan sehari-hari yang menyebabkan seseorang dapat memahami norma-norma dan kultur yang berlaku di dalam kelompoknya.
Etnosentris adalah kecenderungan menilai negatif menghukumi terhadap budaya lain dengan tolok ukur kulturnya sendiri. Hal dikarenakan orang akan berpandangan, bahwa tingkahlaku, adat istiadat dinilai tidak manusiawi, anek bahkan primitif (Ainul Yakin, 2005 :15).
Relatifisme kultur bahwa tingkah laku dan adat istiadat yang ada pada kultur orang lain tidak dapat diukur dan dinilai dengan standar yang ada pada kulturnya.
Prejudis merupakan kecenderungan melakukan generalisasi (prasangka) dalam melihat dan menilai seseorang atau sekelompok lainnya tanpa mempedulikan kenyataan, bahwa setiap individu memiliki karakter yang berbeda-beda.
Contoh: apabila seseorang mempunyai prejudis terhadap salah seorang anggota dari suku “A”. Maka ia cenderung menganggap semua orang suku A mempunyai karakter yang sama.
Stereotip memberikan penilaian terhadap sifat-sifat sebagai ciri-ciri khusus yang typical dan edential, yang ada pada seseorang atau golongan masyarakat tertentu.
Contoh: menganggap bahwa gadis dari suku Sunda adalah gadis materialistik; orang padang itu pelit; orang jawa halus sikapnya, sebenarnya sadis.

Sejarah lahirnya pendidikan multikultural
Pendidikan multikultural merupakan perkembangan dari pendidikan inkultural.
Pendidikan multikultural pada awalnya bertujuan agar populasi mayoritas dapat toleran terhadap para imigran baru dan sebagai alat kontrol sosial penguasa terhadap warganya, agar kondisi negara aman dan stabil (Ainul Yakin, 2005:23).
Mulai tahun 1415 negara-negara Eropa melakukan ekspansi menjajah terhadap negara-negara lain di Afrika, Asia dan Amerika yang menimbulkan berbagai penderitaan di wilayah jajahan.
Akibat perang dunia menyebabkan negara-negara Eropa bercerai berai dan saling bermusuhan yang menimbulkan pengangguran, kriminalitas dan berbagai kerusuhan.
Indonesia memiliki pengalaman yang menyedihkan: kekerasan, pemberontakkan, pembumihangusan, dan pembunuhan genocide. Perpecahan dan ancaman disintegrasi bangsa yang terjadi sejak zaman kerajaan Singosari, Sriwijaya, Majapahit, Goa, Mataram hingga saat ini.
Indonesia dengan kondisi geografis dan sosio-kultural yang beragam, menjadi salah satu negara multikultur terbesar. Selain itu ditambah dengan beragamnya agama dan berbagai macam aliran kepercayaan masyarakatnya.
Pengertian pendidikan multikultural
Ide, gerakan pembaharuan pendidikan dan proses pendidikan yang tujuan utamanya adalah untuk mengubah struktur lembaga pendidikan supaya siswa baik pria maupun wanita, siswa berkebutuhan khusus; dan siswa yang merupakan anggota dalam kelompok ras, etnis, dan kultur yang beragam akan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademik dan non akademik di sekolah.
Pendidikan multikultural, sebagai strategi pendidikan yang diaplikasikan dalam pembelajaran berbagai bidang studi, dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan karakteristik dan kultur peserta didik agar proses pembelajaran efektif memfasilitasi peserta didik mencapai tujuan pembelajaran.
Dengan pendidikan multikultural dalam proses pembelajaran, disamping peserta didik terfasilitasi mencapai tujuan pembelajaran, juga dapat membangun karakter peserta didik agar mampu bersikap demokratis, humanis dan pluralis dalam lingkungan mereka.
Karena itu yang terpenting dalam pendidikan multikultural, guru tidak hanya dituntut menguasai materi, tetapi secara profesional melalui kegiatan pembelajaran harus mampu menanamkan nilai-nilai demokratis, humanisme, dan pluralisme.
Dengan nilai-nilai multikulturalisme, diharapkan peserta didik selalu menjunjung tinggi moralitas, kedisiplinan, kepedulian humanistik, dan kejujuran dalam berperilaku sehari-hari.
Ide & kesadaran akan nilai penting keragaman budaya
Bahwa semua siswa tanpa memandang karakteristik budayanya seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah.
Perbedaan itu perlu diterima sebagai suatu kewajaran dan bukan untuk membedakan, sehingga diperlukan sikap toleransi agar bisa hidup berdampingan secara damai baik dalam sekala lokal, regional, nasional dan internasional.
Gerakan pembaharuan pendidikan
Tekait dengan multikultur yang dimiliki bangsa Indonesia, UU No 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS menghendaki bahwa pendidikan diselenggarakan:
1. Secara demokratis, berkeadilan serta tidak diskriminatif serta menjunjung tinggi HAM, nilai: religi, kultural, dan keberagaman suku bangsa.
2. Sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multi makna.
Proses , pendidikan multikultural dipandang sebagai suatu proses yang kontinyu secara demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif yang memfasilitasi siswa mewujudkan perkembangan potensinya secara utuh dan menjadikan dirinya mampu bereksistensi secara lokal, regional, nasional, dan internasional.
Konsep pendidikan multikultural:
1. Kesempatan yang sama bagi setiap siswa untuk mewujudkan petensinya secara utuh
2. Menyiapkan siswa untuk berpartisipasi dalam masyarakat antar budaya
3. Partisipasi aktif sekolah menghilangkan diskriminatif dan penindasan dalam penyelenggaraan pendidikan, sehingga menghasilkan lulusan yang sadar akan keberagaman antar sesama
4. Pendidikan berpusat pada siswa dengan memperhatikan karakteristik individualnya
5. Pendidik menyelenggaraan program pendidikan yang mampu mengakomodasi keberagaman karakteristik individual siswa
Tujuan Pendidikan Multikultural
Tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Lebih jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan atau setidaknya tidak setuju dengan ketidak-toleranan (l’intorelable) seperti inkuisisi (pengadilan negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama, diskriminasi, dan hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan uniformitas global
Imron Mashadi (2009) pendidikan multikultural bertujuan mewujudkan sebuah bangsa yang kuat, maju, adil, makmur dan sejahtera tanpa perbedaan etnik, ras, agama dan budaya. Dengan semangat membangun kekuatan di seluruh sektor sehingga tercapai kemakmyran bersama, memiliki harga diri yang tinggi dan dihargai bangsa lain
Tujuan Pendidikan Multikultural mencakup 10 aspek (Sutarno, 2008:1-24)
1. Pengembangan literasi etnis dan budaya. Memfasilitasi siswa memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang berbagai budaya semua kelompok etnis
2. Perkembangan pribadi. Memfasilitasi siswa memahami bahwa semua budaya setiap etnis sama nilai antar satu dengan lain. Sehingga memiliki kepercayaan diri dalam berinteraksi dengan orang lain (kelompok etnis) walaupun berbeda budaya masyarakatnya
3. Klarifikasi nilai dan sikap. Membelajarkan siswa untuk. Pendidikan multikultural mengangkat nilai-nilai inti yang berasal dari prinsip martabat manusia, keadilan, persamaan, kebebasan dan demokratis. Sehingga pendidikan multikultural membantu siswa memahami bahwa berbagai konflik nilai tidak dapat dihindari dalam masyarakat pluralistik
4. untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya
5. untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.
6. Persamaan dan keunggulan pendidikan. Tujuan ini berkaitan dengan peningkatan pemahaman guru terhadap bagaimana keragaman budaya membentuk gaya belajar, perilaku mengajar dan keputusan penyelenggaraan pendidikan. Keragaman budaya berpengaruh pada pola sikap dan perilaku setiap individu.
sehingga guru harus mampu mehami siswa sebagai individu yang memiliki ciri unik dan memperhitungkan lingkungan fisik dan sosial yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran
7. Memperkuat pribadi untuk reformasi sosial. Pendidikan multikultural memfasilitasi peserta didik memiliki dan mengembangkan sikap, nilai, kebiasaan dan keterampilan, sehingga mampu menjadi agen perubahan sosial yang memiliki komitmen tinggi dalam reformasi masyarakat untuk memberantas perbedaan (disparities) etnis dan rasial.
pendidikan multikultural membantu peserta didik dari berbagai kelompok budaya yang berbeda dalam memperoleh kompetensi akademik yang diperlukan dalam masyarakat yang berpengetahuan
8. Memiliki wawasan kebangsaan/kenegaraan yang kokoh.
Karekteristik pendidikan multikultural, yaitu:
1. belajar hidup dalam perbedaan
2. membangun tiga aspek mutual (saling percaya, saling pengertian, dan saling menghargai)
3. terbuka dalam berfikir
4. apresiasi dan interdependensi
5. serta resolusi konflik dan rekonsiliasi nirkekerasan.
(Zakiyyudin Baidhawy, 2005:78)
Kemudian dari karakteristik-karakteristik tersebut, diformulasikan dengan ayat-ayat al-Qur’an sebagai back up strategis (baca:dalil), bahwa konsep pendidikan multikultural ternyata selaras dengan ajaran-ajaran Islam dalam mengatur tatanan hidup manusia di muka bumi ini, terutama sekali dalam konteks pendidikan
Al-Qur’an surat Al Hujuraat, ayat 13: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.
1. Karakteristik belajar hidup dalam perbedaan.
Selama ini pendidikan lebih diorientasikan pada tiga pilar pendidikan:
a. menambah pengetahuan,
b. pembekalan keterampilan hidup (life skill), dan
c. menekankan cara menjadi “orang” sesuai dengan kerangka berfikir peserta didik.
Kemudian dalam realitas kehidupan yang plural, ketiga pilar tersebut kurang relevan dengan kehidupan masyarakat yang semakin majemuk
Maka dari itu diperlukan satu pilar strategis yaitu belajar saling menghargai akan perbedaan, sehingga akan terbangun relasi antara personal dan intra personal.
Dalam terminology Islam, realitas akan perbedaan tak dapat dipungkiri lagi, sesuai dengan Q.S. Al-Hujurat:13 yang menekankan bahwa Allah SWT menciptakan manusia yang terdiri dari berbagai jenis kelamin, suku, bangsa, serta interprestasi yang berbeda-beda.
2. Membangun tiga aspek mutual, yaitu membangun saling percaya (mutual trust), memahami saling pengertian (mutual understanding), dan menjunjung sikap saling menghargai (mutual respect).
Tiga hal ini sebagai konsekuensi logis akan kemajemukan dan kehegemonikan, maka diperlukan pendidikan yang berorientasi kepada kebersamaan dan penanaman sikap toleran, demokratis, serta kesetaraan hak.
Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang menekankan akan pentingnya saling percaya, pengertian, dan menghargai orang lain, diantaranya ayat yang menganjurkan untuk menjauhi berburuk sangka dan mencari kesalahan orang lain (Q.S. al-Hujurat:12), tidak mudah memvonis dan selalu mengedepankan klarifikasi (Q.S. al-Hujurat:6), serta ayat yang menegaskan prinsip tidak ada paksaan (Q.S. al-Baqoroh:256).
Tantangan pendidikan multikultural:
1. Bagaimana pendidikan mampu meningkatkan produktivitas kerja nasional serta pertumbuhan dan pemerataan ekonomi sebagai upaya meningkatkan dan memelihari pembangunan bekelanjutan
2. Bagaimana membangun kemampuan melakukan research/kajian secara komprehensif di era reformasi dalam membangun kualitas sumber daya manusia
3. Bagaimana kemampuan meningkatkan daya saing bangsa dalam menghasilkan karya-karya kreatif yang berkualitas sebagai hasil pemikiran, penemuan dan penguasaan IPTEK dan seni dalam persaingan global
4. Bagaimana kemampuan menghadapi globalisasi bidang politik dan ekonomi
5. Bagaimana mempertahankan ideologi bangsa/mentalitas bangsa dalam berinteraksi dengan ideologi secara global
Peran guru dan sekolah dalam membangun paradigma keberagaman inklusif (Ainun, 2005:61):
1. Mampu bersikap demokratis. Dalam bersikap dan berbicara tidak diskriminatif (bersikap tidak adil/ menyinggung) murid yang beraga berbeda dengannya.
Contoh: dalam menjelaskan sejarah perang salib, guru mampu bersikap tidak memihak salah satu kelompok yang terlibat dalam perang
2. Peduli terhadap kejadian/peristiwa tertentu yang berkaitan dengan agama.
contoh: dalam peristiwa pengeboman hotel Mariot. Guru harus mampu menjelaskan, seharusnya pengeboman tidak terjadi. Karena setiap agama, mengajarkan umatnya
Pendidikan multikulturalisme sebagaimana dijelaskan di atas memerlukan pengenalan terhadap beragam kebudayaan yang dimiliki oleh umat manusia dari beragam suku bangsa, ras atau etnis, dan agama. Keragaman koleksi yang mencakup berbagai subjek dan aspek-aspeknya merefleksikan keterbukaan perpustakaan terhadap isu-isu pluralisme dan multikulturalisme.
Semakin akomodatif kebijakan suatu perpustakaan terhadap berbagai sumber-sumber informasi dari beragam kebudayaan maka berarti perpustakaan tersebut telah menunjukkan kepeduliannya terhadap pendidikan multikulturalisme.

kurikulum pend, islam

Pendidikan Islam identik dengan dasar ajaran Islam itu sendiri, yaitu Al-Quran dan Al-Hadis. Pendidikan Islam sebagai sebuah konsep, perumusan atau produk pikiran manusia dalam rangka pelaksaan pembinaan atau produk pikiran manusia dalam rangka pelaksaan pembinaan dan pengembangan potensi peserta didik tidak bersifat baku dan mutlak, tetapi bersifat relatif daya nalar manusia mengkaji kandungan, nilai dan makna wahyu Allah SWT.
Konsep pendidikan Islam yang membahas strategi, metode, media, sumber, lingkungan bahkah materi sekalipun memang harus bersifat elastis dalam arti sesuai tuntunan kebutuhan manusia yang selalu tumbuh dan berkembang. Elastis di sini, tidak berarti proses pendidikan Islam tidak memiliki dasar, tetapi sebagai sebuah proses tentu bukan merupakan suatu harga mati, final, dan tuntas terutama yang berhubungan dengan pendukung terjadinya proses dimaksud seperti strategi, metode, media, sumber dan sebagainya.
Al-Quran dan Hadis sebagai rujukan final telaah, kajian dan sumber teliti. Al-Quran merupakan kebenaran mutlak yang tidak mungkin dan tidak terjadi perubahan. Oleh karena itu, kedua wahyu Allah tersebut menjadi dasar pendidikan Islam. Dalam Al-Quran Surah al-Hijh [15] ayat 9
Yang Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Quran dan sesungguhnya Kami tetap memeliharanya”.
Disamping itu, pendidikan itu berhasil atau tidak, tidak lepas dari sebuah kurikulum. Kurikulum salah satu komponen yang sangat menentukan sistem pendidikan, karena itu kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan sekaligus pedoman dalam pelaksaan pengajaran pada semua jenis dan tingkat pendidikan.
Tujuan pendidikan di suatu bangsa atau negara ditentukan oleh falsafah dan pandangan hidup bangsa atau negara tersebut. Bedanya falsafah dan pandangan hidup suatu bangsa atau negara menyebabkan berbeda pula tujuan yang hendak dicapai dalam pendidikan tersebut dan sekaligus akan berpengaruh pula terhadap negara tersebut. Begitu pula perubahan politik pemerintahan suatu negara mempengaruhi pula bidang pendidikan, yang sering membawa akibat terjadinya perubahan kurikulum yang berlaku. Oleh karena itu, kurikulum senantisa bersifat dinamis guna lebih menyesuaikan dengan berbagai perkembngan yang terjadi.
Tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh kurikulim dalam pendidikan Islam adalah sejalan dengan tujuan pendidikan Islam dan juga dengan tujuan pendidikan, yaitu membentuk akhlah yang mulia dalam kaitannya dengan tujuan penciptaan manusia, yaitu mengabdi kepada Allah SWT.
Untuk mencapai tujuan dimaksud tidak dapat dilakukan sekaligus malinkan harus melaui tahap-tahap tertentu yang setiap tahap itu harus menuju ke sasaran yang sama, yaitu pengabdian (menyembah) kepada Allah SWT.
Pembahasan
Sebelum penulis membahas lebih jauh mengenai Pemikiran dan Perumusan Kurikulum dan Materi Pendidikan Islam. Sebaiknya penulis penjelaskan terlebih daluhu tentang apa itu kurikulun dan apa itu pendidikan Islam.
A. Pengertian Kurikulum
Kurikulum telah dikenal dalam dunia pendidikan, sebagai suatu istilah yang tidak asing lagi, secara etimologis, kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya pelari dan curere yang berarti tempat berpacu. Jadi, istilah kurikulum berasal dari dunia olah raga pada zaman Romawi kuno di Yunani, yang mengandung pengertian suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari garis start sampai garis finis.
Dalam bahasa Arab, kata kurikulum bisa diungkapkan dengan manhaj yang berati jalan yang terang dilalui oleh manusia pada berbagai bidang kehidupan, sedangkan arti “manhaj” / kurikulum dalam pendidikan Islam sebagai yang terdapat dalam kamus al-Tarbiyah adalah seperangkat perencanaan dan media yang dijadikan acuan oleh lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan.
Prof. Dr. Nasution MA, dalam karyanya; Kurikulum dan Pengajaran (1999:5). Ia menjelaskan lebih jauh mengenai kurikulum. “Macam-macam definisi yang diberikan tentang kurikulum. Lazimnya dipandang sebagai suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses belajar-mengajar di bawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya.”
Ada sejumlah ahli teori kurikulum yang berpendapat bahwa kurikulum bukan hanya meliputi semua kegiatan yang direncanakan melainkan juga peristiwa-peristiwa yang terjadi di bawah pengawasan sekolah. Jadi, selain kegiatan kulikuler yang formal juga kegiatan yang tak formal. Yang terkhir ini sering disebut kegiatan ko-kurikuler atau ekstra-kurikuler (co-curriculum atau extra-curriculum).
Kurikulum formal meliputi.
1. Tujuan pelajaran, umum dan spesifik.
2. Bahan pelajaran yang tersusun sistematis.
3. Strategi belajar-mengajar serta kegiatan-kegiatannya.
4. Sistem evaluasi untuk mengetahui hingga mana tujuan tercapai.
Kurikulum tak formal terdiri atas kegiatan-kegiatan yang juga direncanakan, akan tetapi tidak berkaitan langsung dengan pelajaran akademis dan kelas tertentu. Kurikulum ini dipandang sebagai pelengkap kurikulum formal. Yang termasuk kurikulum tak formal ini antara lain: pertunjukan sandiwara, pertandingan antarkelas atau antarsekolah, perkumpulan hobby, pramuka, dan lainya.
Ada lagi yang harus diperhitungkan, yaitu kurikulum “tersembunyi” (hidden currikulum). “Kurikulum” ini ataralain berupa “aturan tak tertulis” di kalangan siswa, misalnya “harus kompak terhadap guru” yang turut mempengaruhi suasana pengajaran dalam kelas. kurikulum tersembunyi ini dianggap oleh kalangan tertentu tidak termasuk kurikulum kerana tidak direncanakan.
Salah satu pegangan dalam pengembagan kurikulum, ialah prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh Ralph Tyler (1949). Ia mengemukakan kurikulum ditentukan oleh empat faktor atau asas utama, yaitu:
1. Falsafah bengsa, masyarakat, sekolah dan guru-guru (aspek filosofis).
2. Harapan dan kebutuhan masyarakat (orangtua, kebudayaan nmasyarakat, pemerintahan, agama, ekonomi, dan sebagainya).
3. Hakikat anak antara lain taraf perkembangan fisik, mental, psikologis, emosional, sosial serta cara anak belajar (aspek psikologis).
4. Hakikat pengetahuan atau disiplin ilmu (bahan pelajaran).
Asas-asaa kurikulum serta pengembagannya dapat kita lihat pada bagan berikut:
B. Pengertian Pendidikan Islam dan Pendidik
Istilah pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberinya awalan “pe” dan akhiran “kan”, mengandung arti “perbuatan” (hal, cara dan sebagainya). Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu “paedagogie”, yang berarti bimbingan yang di berikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan “education” yang berati pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini sering diterjemahkan dengan “Tarbiyah” yang berarti pendidikan.
Prof. DR. H. Ramayulis, dalam bukunya; Ilmu Pendidikan Islam. Ia menjelaskan. “Dalam perkembangan istilah pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Dalam perkembangan selanjutnya, pendidikan berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang atau kelompok orang agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental. Dengan demikian pendidikan berarti, segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.”
Di samping itu, menurut Ahmad D. Marimba (1989) pendidik adalah orang yang memikul pertanggungjawaban untuk mendidik, yaitu manusia dewasa yang karena hak dan kewajibannya bertanggung jawab tentang pendidikan si terdidik. Abuddin Nata (1997) menyebutkan, pendidik secara fungsional menunjukkan kepada seseorang yang melakukan kegiatan dalam memberikan pengetahuan, keterampilan, pendidikan, pengalaman dan sebagainya. Secara singkat Ahmad Tafsir (1994) mengatakan, pendidikan dalam Islam sama dengan teori Barat, yaitu siapa saja bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik.
Pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan Islam pada hakikatnya adalah mereka yang melaksanakan tugas dan tanggung jawab mendidik. Dalam Islam, pengertian mendidik tidak hanya dibatasi pada terjadinya interaksi pendidikan dan pembelajaran anatara guru dan peserta didik di muka kelas, tetapi mengajak, mendorong dan membimbing orang lain untuk memahami dan malaksanakan ajaran Islam merupakan bagian dari aktivitas pendidikan Islam. oleh karena itu, aktivitas pendidikan Islam dapat berlangsung kapan saja dan di mana saja, bahkan oleh sipa saja sepanjang yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat baik dilihat dari prinsip-prinsip pendidikan dan pembelajaran maupun ajaran Islam.
C. Perumusan Kurikulum
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat menetukan dalam sistem pendidikan, karena itu kurikulum merupakan alat untuk mencapai suatu sistem pendidikan dan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan tingkat pendidikan.
Kurikulum pendidikan Islam, selain harus berlandasan pada dasar-dasar dan juga harus menganut prinsip-prinsip yang akan mewarnai kurikulum itu sendiri. Untuk mencapai tujuan pendidikan Islam yang diharapkan makan sudah barang tentu kurikulum yang diformulasikannya pun harus mengacu pada dasar pemikiran yang Islami pula, serta dari pandangan hidup dan pandangan tentang manusia serta diarahkan pada tujuan pendidikan yang dilandasi oleh kaidah-kaidah Islami.
Disamping itu, dengan kurikulum memudahkan pula penyelenggaraan pendidikan Islam mengembangkan pembidangan keahlian dan keterampilan sesuai dengan sasaran dan tuntutan sumber daya manusia sebagai input, objek dan, subjek pendidikan Islam.
Menyadari strategisnya posisi dan fungsi kulikulum dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, maka perumusan kurikulum pendidikan Islam disamping harus mengacu kepada prinsip-prinsip dan ciri kurikulum pada umumnya juga harus mempertimbangkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai ajaran Islam. Dalam hal ini penulis akan memberikan beberapa contoh mengenai prinsip dan ciri kurikulum pendidikan Islam dikemukakan seperti berikut.
1. Kurikulum harus sejalan dengan idelitas Islam, yaitu kurikulum yang mengandung materi ilmu pengetahuan yang mampu berfungsi sebagai alat untuk mecapai tujuan kehidupan yang Islami.
2. Kurikulum yang Islami harus diproses/diaktualisasikan dengan metode yang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam tujuan pendidikan Islam.
3. Antara kurikulum, motode, dan tujuan pendidikan Islam harus saling berkaitan (releven) dengan produk/hasil yang diinginkan
4. Cakupan dan kandungannya harus luas dan menyeluruh, sehingga mencerminkan semangat, pemikiran, dan ajaran Islam yang mendalam serta memperhatikan pengembangan dan bimbingan segala aspek pribadi siswa, intelektual, psikologi, sosial dan spiritual.
5. Selalu disesuaikan dengan bakat dan minat peserta didik.
Bila dikaji secara cermat dan mendalam, prinsip dasar kurikulum pendidikan Islam di atas sudah ideal, baik dilihat dari perancangan sebuah kurikulum maupun kemungkinan pencapaian hasil pendidikan Islam apabila racangan kurikulum dimaksud dapat diaplikasikan dengan konsisten dan efektif.
Pendidikan Islam sebagai bagian dari pendidikan secara umum sejak masa lalu telah mengembangkan, merumuskan, dan mempedomani kurikulum dalam peyelenggaraan pendidikan Islam, walaupun susunan dan orientasinya juga mengalami perubahan dan perkembangan sesuai tututan perkembangan dunia pendidikan.
D. Materi Pendidikan Islam
Materi pendidikan Islam pada dasarnya terdiri dari Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang dikembangkan dengan ijtihat.
Al-Quran ialah firman Allah SAW berupa wahyu yang disampaikan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek kehidupan manusia. Ajaran yang terkandung dalam Al-Quran itu sendiri dari dua prinsip, yaitu yang berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut AQIDAH dan yang berhubungan dengan amal yang disebut SYARI’AH.
Di dalam Al-Quran terdapat banyak ajaran yang berisi prinsip-prinsip berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan itu. Sebagai contoh dapat dibaca kisah Lukman mengajari anaknya dalam surat Lukman ayat 12-19. Cerita itu mengariskan prinsip materi pendidikan yang terdiri dari masalah iman, akhlah ibadah, sosial dan ilmu pegetahuan. Ayat lain menceritakan tujuan hidup dan tentang nilai sesuatu kegiatan dan amal saleh. Itu berarti bahwa kegiatan pendidikan Islam harus menggunakan Al-Quran sebgai sumber utama dalam merumuskan berbagai teori tentang Pendidikan Islam. dengan kata lain, pendidikan Islam harus berlandaskan ayat-ayat Al-Quran yang penafsirannya dapat dilakukan bedasarkan ijtihat disesuaikan dengan perubahan dan pembaharuan.
Sunnah merupakan sumber ajaran kedua sesudah Al-Quran, seperti Al-Quran, Sunnah juga berisi aqidah dan syariah. Sunnah berisi petunjuk (pedoman) untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk membina umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang bertakwa. Untuk itu Rasul Allah menjadi guru pertama dan pendidik utama.
Oleh karena itu, Sunnah merupakan landasan bagi cara pembinaan pribadi manusia muslim. Sunnah selalu membuka kemungkinan penafsiran berkembang. Itulah sebabnya, megapa ijtihat perlu diingkatkan dalam memahaminya termasuk sunnah yang berkaitan degan pendidikan.
Ijtihad adalah istilah para fuqaha, yaitu berpikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuan syari’at Islam untuk menetapkan/menentukan sesuatu hukum Syariat Islam dalam hal-hal yang ternyata belum ditegaskan oleh Al-Quran dan Sunnah
Ijtihat dalam pendidikan harus tatap bersumber dari Al-Quran dan Sunnah yang diolah oleh akal yang sehat dari para ahli pendidikan Islam. Ijtihad tersebut haruslah dalam hal-hal yang berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup di suatu tempat pada kondisi dan situasi tertentu. Teori-teori pendidikan baru berhasil ijtihad harus didekatakan dengan ajaran Islam dan kebutuhan hidup.