Selasa, 09 Agustus 2011

Wara'


WARA’
Wara’ mengandung pengertian menjaga diri atau sikap hati-hati dari hal yg syubhat & meninggalkan yg haram. Lawan dari Waro adalah subhat yg berarti tidak jelas apakah hal tsb halal atau haram.

"Sesungguhnya yg halal itu jelas & yg haram itu jelas. Di antara keduanya ada yg syubhat, manusia tidak banyak mengetahui. Siapa yg menjaga dari syubhat, maka selamatlah agama & kehormatannya. Dan siapa yg jatuh pada syubhat, maka jatuh pada yg haram." (HR Bukhari & Muslim).

Contoh: Seseorang meninggalkan kebiasaan mendengarkan & memainkan musik karena dia tahu bahwa bermusik atau mendengarkan musik itu ada yg mengatakan halal & ada yg mengatakan haram.
Wara’ adalah suatu sikap meninggalkan perkara yang
syubhat (samar atau tidak jelas halal haramnya) karena
khawatir terjatuh ke dalam perkara yang diharamkan. (At-
Ta‘rifat, Al-Jurjani, 1/325, Subulus Salam, 2/261).
Berkata Abu Abdirrahman Al-Umari Az-Zahid: “Apabila
seorang hamba memiliki sifat wara`, niscaya dia akan
meninggalkan perkara yang
meragukannya menuju kepada
perkara yang tidak
meragukannya.” (Jami`ul Ulum, 1/281)
Sementara Hassan bin Abi Sinan rahimahullah mengatakan:
“Tidak ada sesuatu yang lebih ringan/mudah daripada sikap wara`. Apabila ada sesuatu yang meragukanmu maka tinggalkanlah.” (Jami`ul Ulum,1/281).
Ahmad bin Abdurrahman bin
Qudamah Al-Maqdisi
rahimahullah di dalam Mukhtashar Minhajil Qashidin hal. 88 berkata: “Wara’ itu
memiliki empat tingkatan:
1. Berpaling dari setiap perkara yang dinyatakan keharamannya.
2. Wara‘ dari setiap perkara syubhat yang sebenarnya tidak
diwajibkan untuk dijauhi, namun disenangi baginya untuk meninggalkannya. Dalam perkara ini Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
“Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada
perkara yang tidak
meragukanmu.”
3. Wara‘ dari sebagian perkara yang halal karena khawatir jatuh
kepada perkara yang haram.
4. Wara‘ dari setiap perkara yang tidak ditegakkan karena Allah dan ini merupakan wara‘nya
para shiddiqin (orang-orang yang benar imannya).”
Sikap wara’ secara mendetail hanya dapat direalisasikan oleh orang yang istiqamah jiwanya
(dalam mengerjakan kewajiban dan meninggalkan perkara yang
dilarang), seimbang amalannya dalam takwa dan wara‘. Adapun orang yang suka berbuat
keharaman secara zhahir, kemudian ia ingin bersikap wara’ dalam berbagai syubhat yang rinci dan tersamar, maka
hal ini tidak akan mungkin baginya, bahkan sikapnya ini
diingkari (sekedar omong kosong). Karena itulah Ibnu
‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengingkari orang-orang dari penduduk Iraq yang
bertanya kepadanya tentang hukum darah nyamuk. Beliau
berkata: “Mereka bertanya kepadaku tentang darah
nyamuk sementara mereka telah
menumpahkan darah Al-Husain
radhiyallahu ‘anhu, padahal aku telah mendengar
Rasulullah bersabda:
“Keduanya (Al-Hasan dan Al-Husain) adalah kembangku yang
semerbak dari penduduk dunia”. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3753) [Jami‘ul Ulum,1/283]
Contoh Sikap Wara‘
Jika membaca perjalanan hidup
pendahulu kita yang shalih, kita dapati mereka adalah orang-
orang yang menyandang seluruh akhlak Islam yang mulia, baik akhlak yang wajib maupun
yang sunnah. Betapa kalam (ucapan) Allah dan Rasul-Nya (Al
Qur’an dan As Sunnah)
menancap di hati-hati mereka dan mengakar di sanubari mereka. Dan tidak cukup
dengan itu, kita dapati juga mereka adalah orang yang
bersemangat dalam
mengamalkan apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya itu
dalam kehidupan mereka sehari-hari. Salah satu akhlak
yang bisa kita lihat dari amalan mereka adalah wara‘ . Kisah
wara‘ mereka di antaranya:
1. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pernah mencicipi
makanan yang diberikan oleh
budaknya. Maka budak tadi berkata kepadanya: “Apakah
engkau tahu dari mana aku dapatkan makanan ini?” Abu
Bakar radhiyallahu ‘anhu bertanya: “Dari mana engkau mendapatkannya?”
Budaknya menjawab: “Dulu di masa jahiliyah aku pernah
meramal untuk seseorang, sebenarnya aku tidak pandai meramal namun aku cuma
menipunya. Lalu orang itu menemuiku dan memberiku upah atas ramalanku. Inilah
hasilnya, apa yang engkau makan sekarang.” Mendengar
hal tersebut Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu segera
memasukkan tangannya ke dalam mulutnya untuk
memuntahkan makanan yang
terlanjur masuk ke dalam kerongkongannya, kemudian ia
memuntahkan semua makanan itu. (Shahih, HR. Al-Bukhari no.
3842)
2. Nafi‘ berkata: ‘Umar Ibnul
Khaththab radhiyallahu ‘anhu menetapkan subsidi
rutin bagi para shahabat dari
kalangan Muhajirin yang awal berhijrah sebanyak 4000
sementara putranya ia tetapkan sebesar 3500. Kemudian ada
yang berkata kepada ‘Umar:
“Bukankah Ibnu ‘Umar termasuk dari kalangan Muhajirin,
mengapa engkau mengurangi
subsidinya?” Umar menjawab:
“Ayahnya-lah yang
membawanya berhijrah. Dia tidak sama dengan orang yang berhijrah sendiri (yang tidak dibawa oleh orang tuanya).” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3912)
3. Yazid bin Zurayi‘ rahimahullah
mewarisi harta ayahnya sebesar 500 ribu namun ia tidak
mengambilnya. Ayahnya bekerja
untuk para sultan, sedangkan Yazid bekerja membuat
keranjang dari daun kurma, dan dari penghasilan itulah yang digunakannya untuk makan sehari-hari sampai beliau rahimahullah
meninggal dunia. (Al-Wara‘, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, hal. 7)
Banyak lagi bisa kita dapatkan kisah-kisah wara‘ mereka yang
bisa dilihat pada perjalanan hidup mereka di kitab-kitab
biografi para ulama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar