ASPEK-ASPEK EPISTEMOLOGI DALAM MEMBANGUN ILMU PENDIDIKAN ISLAM
Dari berbagai efistemologi yang dipaparkan sebelumnya, dapat dipaparkan bahwa semua efistemologi dalam filsafat ilmu dapat diterapkan dengan baik sesuai dengan bidang masing-masing dan menutupi kelemahan yang ada di dalamnya untuk membuat sebuah bangunan keilmuan, termasuk Ilmu Pendidikan Islam.
Sebelum membangun ilmu pendidikan Islam dengan menggunakan efistemologi yang ada, maka terlebih dahulu perlu diketahui apakah yang dimaksud dengan pendidikan Islam. Ahmad D. Marimba menyatakan bahwa Pendidikan Islam merupakan bimbingan jasmani berdasarkan hukum Islam menuju terbentuknya kepribadian menurut ukuran Islam.[1] Selanjutnya M.Arifin menambahkan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan jasmani dan rohani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengajarkan, mengarahkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.[2] Dari sini, dapat diketahui bahwa pendidikan Islam dan segala hal yang berhubungan dengannya harus didasarkan pada ajaran Islam itu sendiri yang menurut Nur Uhbiati berlandaskan pada Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam dan juga hadits Nabi SAW.[3]
Hal ini mengindikasikan bahwa dalam membangun ilmu pendidikan Islam harus berorientasi kepada Al-Qur’an dan Hadits yang statusnya adalah wahyu. Dalam tulisannya, M.Solly Lubis, menyatakan bahwa dasar pengetahuan ada beberapa macam, yaitu wahyu, intuisi, dan penalaran (cirinya adalah logis dan analisis).[4] Menurutnya, wahyu dan intuisi termasuk dasar pengetahuan yang non analitis. Melalui wahyu yang disampaikan Tuhan kepada para utusan-Nya dengan perantaraan malaikat dan diteruskan kepada umat manusia, sehingga mereka memperoleh pengetahuan melalui keyakinan dan kepercayaan bahwa apa yang diwahyukan itu adalah suatu kebenaran. Demikian juga intuisi menjadi dasar pengetahuan, meskipun tidak mempunyai logika dan pola pikir tertentu.[5]
Dalam hal ini, M.Solly Lubis kembali menjelaskan bahwa seseorang harus bisa membedakan antara kebenaran ilmu atau filsafat dengan kebenaran agama. Berbeda dengan ilmu, agama juga mempermasalahkan objek-objek diluar pengalaman manusia, baik sebelum manusia berada di bumi maupun sesudah kematiannya. Perbedaan lingkup permasalahannya juga menyebabkan berbedanya metode dalam memecahkan masalah. Hal ini harus diketahui dengan benar agar mampu menempatkan keduanya dalam perspektif yang sungguh-sungguh. Dengan menguasai hakikat ilmu dan dengan secara baik, maka kedua pengetahuan tersebut justru akan bersifat saling melengkapi (komplementaristis).[6]
Mengingat landasan ilmu pendidikan Islam ini adalah normativitasi yang terangkum dalam sebuah teks kitab suci, maka sisi ontologi dan aksiologi dalam hal ini lebih dominan, meskipun sisi epistemologi juga perlu diperhatikan. Berbicara tentang epistemologi, berarti berbicara tentang bagaimana cara menyusun ilmu pengetahuan yang benar atau yang diistilahkan Hardono Hadi denganfilsafat pengetahuan, salah satu cabang filsafat yang mempelajari dan menentukan kodrat dan spoke pengetahuan.[7] Maka dari aspek epistemologi tersebut, hermeneutik nampaknya bisa diterapkan untuk bangunan ilmu ini.
Hermeneutik adalah kiat untuk memahami teks-teks keagamaan dalam pencarian melalui pencarian makna dari susunan kalimat, konteks budaya, tafsir transendensi dan yang lainnya. Menurut Noeng Muhadjir, konsep teoritiknya berangkat dari linguistik, narasi bahasa, historis, hukum, etika dan lain-lain.[8]
Al-Qur’an yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan Islam perlu untuk diinterpretasikan dalam pencarian kebenaran kontekstual. Dalam hermeneutik, Arkoun membagi model-model teks menjadi dua, yaitu teks pembentuk (naskah al-Qur’an), dan teks penjelas/hermeneutik (literatur-literatur yang memberikan interpretasi dan penjelasan terhadap teks pembentuk yang dimunculkan oleh para pemikir Islam sejak empat abad pertama hijriah hingga sekarang termasuk juga hadits Nabi SAW).[9]
Dengan berangkat dari hermeneutik sebagai efistemologinya, maka rangka bangunan ilmu pendidikan Islam akan menjadi kuat dan sesuai dengan tujuan pendidikan Islam itu sendiri, yaitu untuk membentuk kepribadian muslim sejati yang status sebagai Hamba Allah dan Khalifah-Nya di muka bumi ini.
Satu hal yang harus diperhatikan bahwa hermeneutik bisa diterapkan pada aspek-aspek tertentu, seperti keiman, ibadah (termasuk hukum), dan moral atau akhlak. Meskipun dalam Islam, wahyu merupakan dasar pengetahuan yang utama, tetapi dalam wahyu (al-Qur’an) itu sendiri mengisyaratkan bahwa kebenaran juga bisa diperoleh melalui penalaran dan perenungan yang mendalam terhadap alam ciptaan-Nya.
Arkoun kembali menyatakan bahwa naskah al-Qur’an secara hukum dan kandungannya diakui sebagai ungkapan otentik ajaran Tuhan, namun secara faktual telah dieksploitasi pada lima tataran pokok seperti layaknya sebuah karya manusia yaitu tataran etis yuridis (tauhid, fiqh dan akhlak); tataran metafisik ilmiah (antropologi, psikologi, astronomi, astrobiologi dan geobiologi); tataran historis (sejarah keagamaan bangsa semit yang kemudian diperluas menjadi sejarah dunia); tataran gramatikal dan tataran sastra (tata bahasa dan retorika).[10]
Untuk tataran etis yuridis, kebenaran bisa diperoleh dari wahyu dan juga intuisi. Oleh karena itu, dalam pendidikan keimanan, ibadah dan moral, maka normativitaslah yang menjadi sandarannya dengan hermeneutik dan realisme metaphisik sebagai epistemologinya melalui hermeneutik, anak didik diajarkan untuk memiliki keyakinan dan iman yang kokoh, ibadah yang mantap dan budi pekerti yang mulia (akhlak al-Karimah) dengan pemahaman makna agama yang terkandung dalam nash al-Qur’an. Selain itu, dapat juga dipakai realisme metaphisik yang mengandalkan intuisi dan rasio, terutama untuk hal yang berhubungan dengan moral dan spritual. Epistemologi ini dapat membantu anak didik untuk memahami kebenaran rasional dan sekaligus menggali nilai-nilai yang transendental dalam mencapai kebenaran suprarasional, holistik dan universal dalam ajaran Islam. Dalam prediksinya Noeng Muhadjir menyatakan bahwa kehadiran realisme metaphisik ini menggoyahkan paradigma sains Barat sekuler saat ini dan membuka peluang untuk diterimanya paradigma transendentalisme Islam dalam kancah sains pasca modern.[11]
Pada tataran ilmiah al-Qur’an, juga dapat diterapkan beberapa epistemologi. Positivistik misalnya untuk kajian keislaman yang mengarah kepada ilmu-ilmu kealaman, seperti biologi, fisika, astronomi yang sifatnya kuantitatif empirik dapat diterapkan dalam mencari pemahaman yang tepat terhadap nash al-Qur’an yang menyinggung persolan-persoalan tersebut. Tidak sedikit ayat al-Qur’an yang berbicara tentang kejadian alam semesta, ilmu perbintangan (falak), proses penciptaan makhluk dan perkembangannya, mulai dari manusia, hewan dan tumbuhan. Ilmu-ilmu tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Nico Syukur Dister, adalah berpangkal dan bertolak dari fakta-fakta pengalaman, kemudian sasarannya adalah suatu intelgibilitas (yang jelas) dan dapat dikontrol secara diverifikasi (dibuktikan) oleh fakta pengalaman.[12] Semua itu memerlukan pendekatan positivistik dalam memahaminya, sehingga kebenaran yang dicari itu memang memiliki standar yang bisa diuji. Oleh karena itu, dalam dunia penafsiran al-Qur’an, ada dikenal istilah tafsir ilmi yang menggunakan kajian positivistik (pengamatan lahiriah), meskipun jenis tafsir ini masih diperdebatkan ulama.
Selanjutnya untuk kajian antropologi, psikologi, sosial budaya, keberagamaan masyarakat yang sifatnya ekploratif, maka phenomenologik sebagai epistemologinya bisa diterapkan melalui proses intuisi yang intens dalam mencapai kebenaran hakiki yang sesuai dengan kesadaran murni, tanpa adanya reduksi ilmiah. Kalau positivistik menggunakan pengamatan lahiriah, maka phenomenologik menggunakan pengamatan batiniah. Banyak ayat al-Qur’an yang menyinggung tentang umat manusia, baik pada sisi kebudayaan, psikologinya, perilakunya yang semua ini memerlukan pendekatan phenomenologik yang tolak ukurnya adalah fenomena (gejala). Dalam penafsiran al-Qur’an, dikenal bentuk tafsir adabi ijtima’i yang menggunakan kajian phenomenologik untuk memahami sekian banyak ayat yang menyinggung masalah sosial. Selain itu, pada tataran gramatikal, sastra maupun sejarah dan segala yang bersifat deduktif kualitatif bisa dipergunakan rasionalistik sebagai epistemologinya. Untuk kajian ilmiah keislamanpun rasionalistik dapat diterapkan pada aspek ini. Dalam al-Qur’an sendiri Allah menyuruh manusia untuk menggunakan akal (rasio) nya dalam menangkap isyarat ilahi yang ada di alam. Dengan epistemologi ini, anak didik dilatih penalaran rasionalitasnya.
Dari uraian ini, jelas bahwa dalam ilmu pendidikan Islam dapat saja diterapkan berbagai epistemologi sesuai dengan aspeknya masing-masing dalam arti semua epistemologi tersebut dapat saling melengkapi kekurangan yang ada antara satu epistemologi dengan yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad D.Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung : Al Ma’arif, 1987.
M.Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1993.
Nur Uhbiati, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung : Pustaka Setia, 1997.
M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Pendidikan, Bandung : Mandar Maju, 1994.
Hardono Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta : Kanisus, 1994.
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu Telaah Sistematis Fungsional Komperatif, Yogyakarta : Rake Sarasin, 1998.
M.Arkoun, Membedah Pemikiran Islam, diterjemahkan oleh Hidayatullah, Bandung : Pustaka, 2000.
Nico Syukur Dister, Filsafat kebebasan, Yogyakarta : Kanisus, 1993.
https://sites.google.com/site/websitemubarak/catatan-terbaru/pesantanpajudul
BalasHapus