Senin, 19 September 2011

metode ilmu pendidikan islam

Metode Pendidikan Islam
          Ahmad Tafsir dalam karyanya Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan metode pendidikan di sini ialah semua cara yang digunakan dalam usaha mendidik anak didik. Karena mengajar adalah salah satu bentuk usaha mendidik, maka metode yang dimaksud di sini mencakup juga metode mengajar. Ada banyak sekali metode mngajar seperti ceramah, diskusi, tanya-jawab, sosiodrama, pemberian tugas, dll. Metode mengajar akan terus berkembang sesuai dengan kemajuan teori-teori pengaajaran.
          Hal yang lebih penting daripada jenis-jenis cara mengajar ialah cara melaksanakan pengajaran. Untuk lebih tegasnya, apa yang dapat membantu seseorang untuk mampu mengajar bukanlah penguasaan metode-metode, tetapi yang lebih penting lagi ialah petunjuk umum tentang bagaimana merancang langkah-langkah pengajaran secara sistematis. Untuk tujuan ini diperlukan sejumlah faktor penunjang, antara lain:
1.     Tujuan pengajaran yang hendak dicapai pada jam pelajaran tertentu. Sebagai contoh, penyajian pelajaran pada jam tertentu yang bertujuan untuk menanamkan pemahaman terhadap suatu konsep tentu akan berbeda dengan tujuan untuk menumbuhkan keterampilan praktis.
2.     Kemampuan guru (pengajar-pendidik). Sebagai contoh, guru yang pandai berbicara, sebaiknya dia banyak menggunakan metode ceramah.
3.     Ketersediaan alat-alat pengajaran. Sebagai contoh, bila metode eksperimen yang akan digunakan dalam suatu pengajaran, maka alat-alat penunjangnya harus terlebih dahulu disediakan.
4.     Jumlah murid. Bila, misalnya, dalam suatu kelas jumlah muridnya banyak, maka metode ceramah lebih baik daripada metode diskusi.
Menurut al-Nahlawi, pendidikan Islam bagi anak-anak maupun orang dewasa dapat diterapkan dengan beberapa metode sebagai berikut.
  1. Metode dialog (hiwar)
  2. Metode kisah Qur’ani dan Nabawi
  3. Metode pemberian perumpamaan (amtsal)
  4. Metode keteladanan yang baik (uswah hasanah)
  5. Metode pembiasaan
  6. Metode perenungan fenomena alam atau peristiwa sejarah (i’tibar) untuk memperoleh pelajaran (‘ibrah).
  7. Metode nasehat (mau’izah)
  8. Metode pemberian ganjaran dan hukuman (targhib dan tarhib).
  1. Metode Dialog (hiwar)
Hiwar adalah percakapan timbal-balik (silih berganti) antara dua pihak atau lebih mengenai suatu topik tertentu dan dengan sengaja diarahkan kepada suatu tujuan yang dikehendaki oleh guru. Tidak soal apakah percakapan tersebut mencapai suatu kesimpulan atau tidak. Hiwar sangat berpengaruh baik bagi pembicara maupun pendengar karena beberapa sebab. Pertama, dialog brlangsung secara dinamis karena kedua belah pihak terlibat langsung dalam suatu pembicaraan dan kedua belah pihak saling memperhatikan. Dialog Nabi Isa dengan Hawariyun, Nabi Muhammad dengan para Sahabatnya dan Socrates dengan para muridnya merupakan contoh hiwar yang berguna. Kedua, pendengar tertarik untuk mengikuti terus pembicaraan itu karena dia ingin mengetahui kesimpulannya. Itu sebabnya dialog sering didengarkan oleh mitra pendengarnya dengan penuh semangat. Ketiga, metode ini dapat membangkitkan perasaan dan menanamkan kesan dalam jiwa yang dapat membantu mengarahkan seseorang untuk menemukan sendiri kesimpulannya. Keempat, bila dialog dilakukan dengan baik, tegasnya memenuhi ahlak tuntunan Islam, maka cara berdialog, sikap orang yang terlibat, itu akan mempengaruhi peserta sehingga menimbulkan pengaruh berupa pendidikan ahlak, sikap dalam berbicara, menghargai pendapat orang lain, dan sebagainya. Ada beberapa macam hiwar, yaitu hiwar khitabi atau ta’abudi, hiwar washfi, hiwar qisasi, hiwar jadali.
          Hiwar khitabi atau ta’abudi merupakan dialog yang diambil dari dialog antara Tuhan dengan hamba-Nya. Tuhan memanggil para hamba-Nya dengan ungkapan: “Wahai orang-orang beriman!” Terhadap seruan seperti itu, para hamba-Nya menjawab secara implisit atau eksplisit dengan ungkapan: “Kami sambut seruan-Mu, wahai Tuhan kami!” Dalam sebuah Hadits riwayat Muslim disebutkan bahwa bila para hamba Allah mengucapkan ungkapan bernada dialogis seperti: “Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam!” Allah pun menjawab dengan ungkapan seperti: “Hamba-Ku telah memuji-Ku.”   Singkatnya, ungkapan-ungkapan berupa kalimat-kalimat mulia (kalimah thayyibah) seperti takbir, tahmid, tasbih dan istighfar merupakan hiwarkhitabi atau ta’abudi. Melalui metode hiwar jenis ini, al-Qur’an berusaha menanamkan aspek-aspek berikut:
-          Agar tanggap terhadap persoalan yang diajukan al-Qur’an, merenungkannya, menghadirkan jawaban sekurang-kurangnya di dalam kalbu.
-          Menghayati makna kandungan al-Qur’an.
-          Mengarahkan tingkah laku agar sesuai dengan petunjuk al-Qur’an.
-          Menanamkan rasa bangga pada jiwa manusia karena dipanggil Tuhan.
Hiwar washfi (dialog deskriptif) adalah dialog antara Tuhan dengan malaikat atau dengan mahluk gaib lainnya sebagaimana tersurat dalam kisah nominasi Adam sebagai khalifah pada QS. 2:30-35. Dialog jenis ini juga terkadang memuat gambaran (deskripsi) tentang penguni sorga dan neraka sebagaimana tersurat dalam Surat as-Shafat: 20-23; 27-28; 50-57. Dialog jenis ini bertujuan menanamkan kesan pada pembaca betapa menyedihkannya nasib ahli neraka dan betapa menyenangkannya nasib ahli sorga. Sedemikian mendalam tertanamnya kesan tersebut sampai-sampai seolah-olah pembaca kisah deskriptif itu merasakannya di alam nyata.
Hiwar qisasi (dialog naratif) adalah jenis dialog berupa cerita seperti kisah Nabi Syu’aib dengan kaumnya sebagaimana tersurat dalam Surat Hud. Sepuluh ayat pertama dalam Surat ini merupakan dialog naratif. Dialog jenis ini berdampak sangat besar terhadap kejiwaan pembaca dan pendengarnya karena:
-          Dialog jenis ini menekankan pada pengisyaratan bahwa pendirian oran-orang kafir/zalim itu lemah dan bahwa pendirian Allah, lewat Nabi-Nya, adalah kuat.
-          Dialog jenis ini menyajikan kisah secara berseling untuk memperkuat penanaman kesan dari kisah yang disajikan.
Hiwar jadali (dialog argumentatif) adalah dialog untuk memantapkan hujjah sebagaimana disajikan dalam Surat al-Najm ayat 1-5. Dialog jadali biasanya dilakukan dalam bentuk a tanya jawab. Diantara dampak psikologis dari dialog jenis ini ialah:
-          Mendidik manusia untuk menegakan kebenaran dengan menggunakan argumen yang kuat.
-          Mendidik manusia untuk menolak argumen lemah yang dipakai oleh pembela kebatilan.
-          Mendidik manusia untuk berpikir jernih-kritis, berpikir dengan menggunakan akal sehat (common sense).
Hiwar nabawi  adalah dialog antara Nabi dengan (pengikutnya).
  1. Metode Kisah Qurani dan Nabawi
Dalam pendidikan Islam, kisah sebagai metode pendidikan sangat penting karena beberapa alasan:
-          Kisah selalu memikat karena mengundang pembaca atau pendengar untuk mengikuti alur kisah peristiwanya dan merenungkan maknanya. Makna ini selanjutnya akan memberikan kesan dalam hati pembaca atau pendengar tersebut.
-          Kisah Qurani dan Nabawi dapat menyentuh hati manusia karena kisah menampilkan tokoh dalam konteksnya yang menyeluruh. Karena tokoh cerita ditampilkan dalam konteks menyeluruh, maka pembaca atau pendengar dapat ikut menghayati atau merasakan kisah itu, seakan-akan dia sendiri sebagai tokohnya. Diantara kelebihan kisah Qurani dan Nabawi ialah bahwa kisah ini bukan saja sangat mengesankan tetapi juga indah dan tidak mengotori pikiran pembaca atau pendengarnya. Sebagai contoh, kita dapat merenungkan kisah Yusuf.
-          Kisah Qurani mendidik perasaan keimanan dengan cara membangkitkan beragam perasaan seperti pengharapan (raja’), ketakutan (khauf), kerelaan (rida) dan cinta (hubb) dan dengan cara melibatkan pembaca atau pendengar ke dalam kisah itu sehingga dia merasa terlibat langsung secara emosional. Diantara tujuan utama kisah Qurani ialah: (a) untuk mengungkapkan kemantapan wahyu dan risalah. Tegasnya, untuk memantapkan perasaan dalam menerima al-Qur’an dan risalah Rasul-Nya. Kisah-kisah itu menjadi bukti kebenaran wahyu dan kebenaran risalah rasul-Nya; (b) untuk menjelaskan secara keseluruhan bahwaal-din itu datang dari Allah; (c) untuk menjelaskan bawa Allah akan selalu menolong dan mencintai Rasul-Nya dan juga menjelaskan bahwa kaum mukminin adalah umat yang satu dan Allah adalah Tuhan mereka; (d) untuk memperkuat keimanan kaum mukminin dan menghibur mereka di kala ditimpa musibah; (e) untuk mengingatkan bahwa musuh orang mukmin adalah setan; permusuhan abadi itu disajikan melalui kisah sehingga tampak lebih jelas dan hidup. Kisah Nabawi merupakan penjabaran lebih rinci dari kisah Qurani seperti mengenai pentingnya keikhlasan dalam beramal, pentingnya bersedekah dan mensyukuri nikmat Allah.
Disamping kisah yang bersumber langsung dari al-Quran dan Hadits, cerita-cerita buatan/rekayasa – baik fiktif maupun historis – yang tidak bersumber kepada kedua sumber tersebut, sangatlah penting artinya bagi pendidikan anak selama kisah-kisah tersebut baik cara penyajian maupun kandungan cerita serta inti pesannya tidak bertentangan dengan norma-norma agama Islam. Cerita atau kisah dapat disajikan dalam beragam bentuk penyajian: roman, novel, dongeng, mitos, (cerita tentang asal-usul suatu tempat (legenda), atau cerita tentang binatang (fabel). Berikut ini disajikan beberapa ringkasan fragmen cerita yang sarat dengan muatan pendidikan Islami.
Kisah Bangau dan Kura-kura
            Ketika kubangan tempat mandi kura-kura kekeringan, datanglah burung bangau untuk menyelamatkannya. Burung bangau bersedia menolong kura-kura dengan satu syarat, yaitu ketika dia dibawa terbang tidak boleh tertawa. Bila tertawa, sang bangau akan menjatuhkannya. Kura-kura menyanggupi syarat yang diajukan oleh sang bangau.
          Sang bangau mencengram kura-kura lalu membawanya terbang menuju kubangan yang masih banyak airnya. Namun di tengah perjalanan, warga kampung melihat apa yang terjadi. Warga kampung berteriak: “Kura-kura bisa terbang…kura-kura bisa terbang…!” Mendengar teriakan itu sang kura-kura merasa sangat tersanjung. Dia tertawa kegirangan. Sesuai mupakat, sang bangau pun melepaskan cengkraman kakinya. Maka si kura-kura mati terjatuh.
          Diantara inti pesan dari fabel ini ialah bahwa manusia jangan suka disanjung sebab acap kali sanjungan dapat membuat orang lupa janji, bahkan diri. Selain itu, sanjungan acap kali membuat manusia lupa terhadap orang lain yang berjasa terhadap dirinya [kura-kura bisa terbang hanya karena kebajikan sang bangau!].
Kisah Ular, Tupai dan Burung Gagak
            Ada sebuah pohon yang sangat tinggi menjulang dan berbuah sangat lebat. Buahnya sangat disukai oleh tiga binatang, yaitu ular, tupai dan burung gagak. Ketiga binatang itu berusaha untuk mendapatkan buah dari pohon tersebut. Ular memanjat dengan merayap perlahan-lahan. Dia akhirnya berhasil memperoleh buah pohon itu. Tupai memanjat dengan merayap pula, namun lebih cepat daripada ular. Dia juga berhasil memperoleh buah pohon itu. Burung gagak memperoleh buah dari pohon itu lebih cepat lagi daripada tupai, hanya dalam sekejap saja, sebab dia bisa terbang.
          Sepintas lalu, cerita seperti ini kurang menarik. Namun bila direnungkan lebih mendalam, kita akan dapat menarik banyak pelajaran. Pertama, ular tidak iri terhadap kemampuan tupai yang jauh lebih unggul daripada kemampuannya. Begitu pula tupai, dia tidak iri terhadap kemampuan burung gagak. Kedua, tupai tidak sombong dan tidak menghina ular. Burung gagak pun tidak sombong dan tidak menghina menghina tupai, apa lagi menghina ular.
          Dengan cerita seperti ini, pendidik harus berusaha menanamkan kesadaran pada diri anak didik bahwa dalam hidup ini setiap orang menjalani takdirnya sendiri-sendiri. Setiap orang memiliki kemampuan sendiri yang sering kali berbeda dari kemampuan orang lain. Dalam kata lain, kemampuan manusia tidaklah sama. Bagaimana pun, tidak boleh ada rasa iri dengki atau merasa lebih unggul dari orang lain sebab setiap orang membutuhkan bantuan orang lain. Itulah hakikat kehidupan sebab manusia adalah mahluk sosial, mahluk yang tidak bisa hidup sendirian. Seseorang dikatakan unggul atau pintar hanyalah pada bidang yang diketahuinya (dikuasainya). Sebaliknya, seseorang dikatakan lemah atau bodoh hanyalah pada bidang yang tidak dikuasainya. Jadi, tidak ada seorang pun yang unggul dalam segala bidang. Sebaliknya, tidak ada seorang pun yang lemah dalam segala bidang. Itu karena pengetahuan dan kemampuan semua manusia ada batasnya. Hanya Allah yang memiliki pengetahuan dan kemampuan (kekuasaan) yang tidak terbatas. Singkatnya, keunggulan dan kelemahan pada manusia bersipat relatif.
          Cerita tentang tiga binatang itu mirip dengan cerita tentang pemburu dan tukang dagang minyak tanah. Ringkasannya begini.
          Sebuah warga kampung geger melihat seorang pemburu berhasil menangkap harimau dan menggendong hasil tangkapannya itu untuk dipertontonkan kepada masyarakat. Semua orang mengaguminya dan memujinya, kecuali tukang dagang minyak tanah. Heran melihat sikap tukang dagang minyak tanah itu, si pemburu bertanya: “Mengapa Anda tidak menyanjung dan memujiku seperti orang-orang pada umumnya?” Si tukang dagang minyak tanah menjawab dengan tenang: “Anda jangan sombong sebab apa yang Anda capai adalah hal biasa bagi Anda. Anda belum tentu mampu melakukan apa yang dapat saya lakukan.” “Apa itu?” tanya si pemburu penasaran. “Saya mampu menuangkan seliter minyak tanah ke dalam jarigen hanya dengan sekali tuang tanpa alat bantu corong sekalipun, namun tanpa tumpah setetes pun.” Kemampuan itu segera ditunjukan oleh tukang dagang minyak tanah. Sepintas lalu, kemampuan itu sangat sepele. Si pemburu mencobanya. Ternyata benar bahwa hanya sedikit saja minyak tanah yang dituangkan itu yang bisa masuk ke dalam jarigen. Sebagian besar tumpah ke tanah!
Kisah Raja Midas
            Raja Midas merupakan tokoh legendaris dalam mitos Yunani kuno. Namun dia benar-benar pernah ada dan hidup pada sekitar tahun 700 SM di suatu negeri yang kini merupakan bagian dari wilayah Turki. Namun cerita berikut adalah fiktif. Ringkasan ceritanya begini [diadaptasi dari Komarudin Hidayat, Tragedi Raja Midas].   
          Suatu ketika, Raja Midas berkhayal ingin memiliki kemampuan yang melebihi siapa pun. Tidak tanggung-tanggung, dia ingin mampu merubah segala sesuatu yang disentuh tangannya menjadi emas. Dia berguru kepada dewa (batara guru) yang bernama Dionysius.
          Singkat cerita, apa yang diidamkannya tercapai. Apa pun yang disentuh tangannya berubah seketika menjadi emas, termasuk istana dan pekarangan di sekitarnya.
          Namun suatu hari dia membelai anaknya dan seketika itu pula anaknya berubah menjadi emas. Tidak ada seorang pun yang mampu mengembalikan wujud asli anaknya itu. Terlalu lama berpikir dan selalu menemui kebuntuan ditambah dengan rasa penyesalan yang mendalam, akhirnya Raja Midas menjadi gila.
          Diantara inti pesan moral dari cerita ini ialah bahwa manusia seyogyanya membatasi keinginannya. Tegasnya, keinginan harus disesuaikan dengan kemampuan. Bila tidak, akan celaka. Pesan kedua ialah bahwa di dalam mempelajari suatu ilmu harus sampai tuntas, jangan setengah-setengah. Seandainya Raja Midas mempelajari pula ilmu tentang cara mengembalikan sesuatu kepada wujud semula setelah sesuatu itu dia rubah menjadi emas, niscaya tragedi itu tidak akan terjadi.
          Pentingnya mempelajari ilmu sampai tuntas dilukiskan pula dalam sebuah pantun Melayu yang berbunyi:
          Berburu ke padang datar
          Mengejar singa belang kaki
          Berguru kepalang ajar
          Bagaikan kembang buah tak jadi
Kisah Kancil dan Buaya
            Ketika kaki kancil digigit buaya, si kancil tidak panik. Dipikirnya trik apa yang yang harus dibuat. Kata kancil: “Tunggu dulu, sobat! Tak ada gunanya menyantapku sebab perutmu tidak akan kenyang. Aku akan berikan kepadamu daging kerbau yang lebih lezat dan mengenyangkan, bukan saja untuk perutmu tetapi juga untuk kawan-kawanmu. Namun sebelum daging kerbau itu aku berikan, tolong lepaskan dulu kakiku dari gigitanmu! Sebab mana mungkin aku bisa memperolehnya bila kakiku masih engkau gigit.” Terpikat oleh iming-iming yang menggiurkan itu, sang buaya segera melepaskan gigitannya. Si kancil pun lepas dan…kabur menyelamatkan diri ke semak belukar.
          Inti pesan dari fabel seperti ini ialah bahwa kita jangan panik dalam menghadapi situasi kritis. Tenangkan emosi dan gunakanlah pikiran yang cerdas. Kecerdasan selalu membawa keselamatan. Kedua, segala sesuatu yang menggiurkan biasanya mencelakakan. Ketiga, nikmatilah yang ada dulu. Setelah itu, barulah mencari yang belum ada. Peribahasa Arab mengatakan: “Telur hari ini lebih berharga daripada ayam besok hari.” Dalam peribahasa Sunda dikatakan: “Ulah moro julang ngaleupaskeun peusing [Hanya karena tergiur untuk memburu burung julang, trenggiling yang sudah berada dalam genggaman dilepaskan].” Akibatnya, burung tidak tertangkap. Trenggiling lepas. Ya, nihil!
Kisah kancil dan Kura-kura
          Ringkasan ceritanya begini.
            Dengan angkuhnya sang kancil menantang balap lari kepada kura-kura. Kancil yakin, dia akan menang sebab tidak pernah ada – baik dalam cerita apa lagi dalam kenyataan – bahwa kura-kura bisa berlari cepat. Kedua mahluk itu sepakat. Garis start dan finish sudah ditentukan. Demikian pula halte-halte tempat berhenti.
          Balap lari dimulai. Kancil melesat dengan cepat. Kura-kura merayap bagaikan semut saja. Kancil sudah melewati beberapa halte. Namun dilihatnya kura-kura masih belum nampak juga. Kancil yakin bahwa kura-kura tidak akan mampu mengejarnya. Dia menunggu di suatu halte sambil berleha-leha, sedemikian rupa sehinga dia tertidur.
          Sementara itu, kura-kura menceburkan diri ke sungai dan berhasil tiba di garis finish. Dilihatnya sang kancil belum tampak. Di lain pihak, kancil sudah bangun dan segera lari menuju garis finisih. Namun betapa terkejutnya si kancil begitu melihat si kura-kura sudah mendahuluinya di garis finish itu. Ya, si kancil kalah!
          Diantara inti pesan dari fabel seperti ini ialah bahwa kesombongan selalu menyeret manusia ke dalam jurang kebinasaan. Karena itu, jangan menganggap remeh kemampuan orang lain. Pesan kedua ialah bahwa akal pikiran [yang dalam kisah ini digunakan kura-kura] senantiasa mengalahkan tenaga [yang dalam kisah ini digunakan oleh kancil]. Mesti selalu ditanamkan pada kesadaran anak didik bahwa dilihat dari segi tenaga, semua manusia itu lemah – bahkan lebih lemah daripada kerbau. Namun bila menggunakan kecerdasan akal, segala mahluk dapat manusia tundukan [perhatikan QS. al-Jatsiyah:13].
Kisah Malin Kundang
            Malin Kundang adalah seorang anak miskin. Dia pergi merantau dan di perantauan berubah menjadi orang kaya raya. Suatu ketika, di pelabuhan ibunya datang dari kampung yang sangat jauh untuk menemuinya. Malin Kundang malu mengakui ibunya di hadapan anak buahnya. Bahkan Malin Kundang memperlakukan ibunya dengan kasar. Tentu saja hati ibunya sangat tersayat-sayat oleh prilaku anaknya yang durhaka itu. Ibunya mengutuknya menjadi batu.
          Inti pesan dari legenda seperti ini ialah bahwa harta kekayaan sering kali membuat manusia sombong dan bahkan lupa terhadap ibunya sendiri. Kedua, durhaka kepada orang tua merupakan dosa yang tak terperikan dan dapat menyeret manusia ke jurang kebinasaan. Kisah Malin Kundang dari negeri Melayu ini mirip dengan kisah Dalem Boncel di tanah Pasundan. Durhaka kepada orang tua [ibu] dikisahkan pula dalam legenda tanah Pasundan dalam legenda Gunung Tangkuban Parahu di Bandung dengan tokoh utama Sangkuriang dan Dayang Sumbi [ibu Sangkuriang sendiri].
Kisah tentang Sphinx
            Sphinx merupakan mahluk fantasi dalam mitologi Mesir kuno. Ia dijadikan sebagai simbol kematian. Itu sebabnya patung sphinx biasanya ditaruh di depan pekuburan. Sphinx digambarkan sebagai mahluk berkepala manusia dan berbadan serta berekor singa dan memiliki sayap burung raksasa. Patung sphinx raksasa yang terbuat dari batu – dengan panjang badan 240 kaki dan dengan kepala menjulang setinggi 66 kaki di atas permukaan pasir – merupakan salah satu monumen terkenal di Mesir sampai sekarang. Menurut perhitungan para ahli arkeologi, monumen ini telah berusia lebih dari 5000 tahun dan berada di pintu masuk Lembah Nil. Tentang sphinx ini ada kisah menarik. Ringkasannya begini.
          Menurut legenda Yunani kuno, di luar kota Thebes terdapat sphinx yang buas dan kejam. Mahluk menakutkan ini hidup di atas hamparan cadas terjal. Setiap orang yang melewati tempat itu akan ditangkap dan dibunuhnya dengan cara dilemparkan dengan keras dari atas tebing cadas ke permukaan cadas yang terjal. Hanya satu syarat yang dapat menyelamatkan manusia dari kekejaman mahluk tersebut, yaitu harus mampu menjawab teka-teki. Teka-teki itu berbunyi: “Binatang apakah yang di pagi hari berjalan dengan empat kaki, di siang hari dengan dua kaki dan di senja hari dengan tiga kaki?” Tidak ada seorang pun yang dapat menjawab teka-teki itu. Karena itu, setiap yang melewati Thebes akan menjadi korban kekejaman sphinx tersebut.
          Suatu hari, Oedipus bermain ke tempat sphinx tersebut. Rupanya dia lupa pesan ayahnya – yakni, raja Thebes – bahwa siapa pun tidak boleh mendekati tempat tinggal sphinx. Setibanya di tempat yang menyeramkan itu, dengan serta merta sphinx muncul dan mengajukan teka-teki tadi. Namun bukan putra raja bila tak mampu menjawab persoalan seperti itu. Oedipus menjawab singkat: “Manusia!” “Mengapa?” tanya sphinx. Oedipus beralasan: “Sebab manusia itu di waktu kecil [dalam bahasa sphinx: pagi hari] berjalan merangkak dengan dua kaki dan dua tangannya. Jadi, sebut saja dia berjalan dengan empat kaki. Setelah dewasa [dalam bahas sphinx: siang hari] dia berjalan dengan dua kakinya. Sedangkan setelah tua [dalam bahasa sphinx: senja hari] dengan dua kaki ditambah satu tongkat.” Mendengar jawaban Oedipus yang tepat itu, sang sphinx dengan secepat kilat melompat dan menjatuhkan dirinya dari atas tebing cadas sampai mati. Ini sudah sumpahnya, yaitu bila teka-teki yang diajukannya terjawab dengan tepat, dia akan bunuh diri. Sejak itu, keadaan kota Thebes menjadi aman, tidak menyeramkan lagi. Atas jasanya yang besar itu, masyarakat mengangkat Oedipus menjadi raja setelah ayahnya meninggal.
          Diantara inti pesan dari kisah legenda seperti ini ialah bahwa manusia dituntut untuk berpikir teliti, kritis. Dengan berpikir kritis inilah manusia dapat memahami tamsil-tamsil. Dalam kisah di atas, manusia ditamsilkan sebagai binatang sebab menurut ahli pikir [filusuf] manusia tak lain daripada hewan yang berpikir, hayawan natiq (homo sapiens). Lalu, masa kecil ditamsilkan dengan pagi hari, masa dewasa ditamsilkan dengan siang hari dan masa tua ditamsilkan sebagai senja hari. Sekali lagi, kecerdasan menjamin keselamatan dan kedunguan menyeret manusia ke dalam jurang kebinasaan.
Kisah tentang Grifun
            Di sebuah wilayah dekat India tersimpan harta karun dan tambang emas yang potensial (belum digali). Tidak ada seorang pun yang mampu mendapatkan limpahan emas itu sebab selalu mati diterkam dan dicabik-cabik oleh monster raksasa yang menjaganya. Monster yang kejam dan menakutkan itu bernama Grifun (gryphon). Kepala, leher, sayap dan kaki depan mahluk ini mirip elang. Sedangkan tubuh, ekor dan kaki belakangnya adalah singa.
          Menurut legenda di Abad Pertengahan, Grifun biasa mengembangkan kedua sayapnya yang amat lebar itu di kala matahari mulai terbit. Dia mengembangkan sayapnya untuk menangkap sinar surya itu. Setelah itu, dia terbang di angkasa sampai senja hari. Di malam hari dia tidur di sarangnya. Konon, sarangnya saja terajut dari emas. Kalaulah ada manusia yang mendapatkan satu sarangnya saja, dipastikan dia akan kaya raya seumur hidup. Namun tak ada seorang pun yang berhasil mengambilnya sebab selalu mati dicabik-cabik dengan cakarnya yang sangat tajam.
          Kisah legenda seperti ini pun sarat dengan tamsil. Coba kita analisa. Mata elang artinya pengamatan yang tajam. Cakar yang tajam artinya kemampuan yang handal untuk melakukan penggalian barang tambang. Sayap yang lebar yang mampu menangkap sinar surya artinya wawasan pengetahuan yang luas sebab hanya pengetahuan yang dapat menerangi jalan hidup manusia. Terbang mengangkasa sampai senja artinya menuntut ilmu untuk memperluas wawasan yang hanya dapat diperoleh dengan belajar sungguh-sungguh setiap hari dari pagi sampai petang. Tubuh singa artinya ketahanan fisik yang handal. Itulah modal utama untuk menjadi orang sukses!
Kisah tentang Kokatris
            Kokatris (cockatrice) adalah monster yang sangat kejam dan menakutkan. Ia terlahir dari telur ayam jantan. Tidak ada seorang pun di alam kenyataan yang meragukan bahwa ayam jantan pun bisa bertelur. Namun kasus ini sangat jarang.
Kepala Kokatris adalah kepala ayam jantan, matanya menonjol seperti kodok besar, sayapnya lebar dan ekornya berwarna kuning melingkar seperti ular bersisik. Panjang badannya hanya dua kaki. Karena ukuran tubuhnya yang kecil itulah maka dia mudah bersembunyi sehingga dapat menyerang secara tiba-tiba tanpa aba-aba. Serangannya sangat fatal. Malah tatapan matanya saja dapat membunuh manusia. Sebagian orang mengatakan bahwa hembusan napasnya pun dapat membunuh manusia.
Hanya ada satu cara untuk membunuh monster ini, yaitu dengan menggunakan cermin karena tatapan mata Kokatris yang tajam itu tidak hanya mematikan bagi manusia tetapi juga dapat membunuh dirinya sendiri.
Kisah mitos-legenda yang fantastis seperti ini pun sarat dengan tamsil. Antara lain, di dalam kehidupan ini bisa saja sesuatu terjadi di luar kebiasaan, sekalipun kasus itu jarang sekali. Namun orang yang memiliki keistimewaan yang jarang dimiliki orang lain pada umumnya tidak boleh sombong dan memanfaatkan keistimewaannya itu untuk keserakahan dan kerusakan. Kesombongan baru akan disadari bila manusia mau bercermin diri. Dan orang sombong akan binasa dengan kesombongannya sendiri.
Sedemikian pentingnya pemberian tamsil-tamsil sehingga ia dijadikan metode pendidikan seperti diuraikan di bawah ini.
3. Metode Perumpamaan (amtsal)
            Sering kali Tuhan memberikan pelajaran kepada manusia melalui perumpamaan-perumpamaan sebagaimana tersurat dalam al-Ankabut ayat 41 dimana Allah mengumpamakan tuhan selain Allah sebagai sarang laba-laba. Maksudnya, bahwa tuhan selain Allah itu merupakan sesembahan yang sangat rapuh (palsu). Contoh lain perumpamaan sebagai metode untuk mendidik manusia supaya jadi insan yang dermawan adalah sebagaimana termaktub dalam al-Baqarah ayat 261. Diantara keistimewaan metode perumpamaan adalah sebagai berikut.
-          Mempermudah siswa dalam memahami konsep abstrak. Ini terjadi karena perumpamaan mengambil benda konkrit sebagai medium untuk mewakili konsep abstrak.
-          Perumpamaan dapat merangsang kesan terhadap makna yang tersirat dalam perumpamaan tersebut. Ketika menjelaskan kata darb dalam al-Baqarah ayat 26, Muhammad Abduh berkomentar bahwa penggunaan kata darb dimaksudkan untuk mempengaruhi dan memperkuat penanaman kesan, seakan-akan si pembuat perumpamaan “menjewer” atau “menampar” telinga pembaca dengan perumpamaan itu sehingga pengaruh tamparan itu meresap ke dalam kalbunya.
-          Mendidik manusia [khususnya pendidik] agar dalam menyajikan perumpamaan, maka perumpamaan itu harus logis dan praktis, mudah dipahami dan diamalkan. Dalam kata lain, perumpamaan harus memperjelas konsep, bukan sebaliknya.
-          Amtsal Qurani dan Nabawi memberikan motivasi kepada pendengarnya untuk beramal baik dan menjauhi kejahatan.
4. Metode keteladanan (uswah)
          Murid cenderung meniru perilaku pendidiknya. Alasannya ialah bahwa secara psikologis anak didik memang senang meniru, tidak saja yang baik tetapi juga yang buruk sekalipun. Dikatakan dalam sebuah hadits riwayat ‘Aisyah bahwa akhlak Rasul adalah al-Quran. Maksudnya, perilaku Nabi merupakan interpretasi al-Quran secara nyata. Perilaku Nabi merupakan teladan tidak hanya dalam praktik ibadah, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana ditegaskan di dalam al-Qur’an (QS. 33:21). Mengenai pentingnya metode keteladanan ini, Anwar al-Judi menegaskan bahwa anak-anak lebih banyak mengambil pelajaran dengan cara meniru perilaku gurunya. Cara ini jauh lebih berpengaruh kepada anak-anak daripada melalui metode nasehat dan petuah lisan.
5. Metode Pembiasaan
          Kebiasan timbul dari pengulangan. Bila, misalnya, guru setiap masuk kelas mengucapkan salam, itu dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk membiasakan penyebaran salam dan sekaligus sebagai contoh bagi semua siswanya. Bila, sebaliknya, ada siswa yang masuk kelas tanpa mengucapkan salam, maka gurunya harus mengingatkannya tentang perlunya membiasakan diri mengucapkan salam.   
Dalam pembinaan sikap, metode pembiasaan sangat efektif. Anak-anak yang oleh orang tuanya dibiasakan bangun pagi, misalnya, akan menjadikan bangun pagi itu sebagai suatu kebiasaan hidupnya sehingga pekerjaan tersebut tidak lagi memberatkan dirinya dan tidak dipandang sebagai suatu kewajiban lagi tetapi hanya sebagai kebiasaan. Rasa berat, enggan atau marasa terpaksa melakukan suatu perbuatan pada intinya disebabkan belum terbiasa melakukannya. Sebaliknya, kemudahan yang dirasakan orang dalam melakukan suatu perbuatan disebabkan oleh kebiasaan orang tersebut di dalam melakukannya. Dari sini timbul peribahasa: “Tuhan bisa karena kuasa dan manusia bisa karena terbiasa.”
          Pembiasaan tidak hanya penting bagi anak-anak tetapi juga bagi orang dewasa. Orang dewasa yang belum mampu mengendarai sepeda motor, misalnya, mesti terlebih dahulu membiasakan diri berlatih mengendarainya sebelum dia menjadi mahir. Namun demikian, para ahli psikologi sepakat bahwa pembiasaan sejak dini baik dalam bidang menguasai keahlian praktis maupun memahami konsep-konsep teoritis akan lebih besar pengaruhnya daripada pembiasaan sudah dewasa. Peribahasa mengatakan: “Belajar di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu, sedangkan belajar setelah dewasa bagaikan mengukir di atas air.” Perlu ditekankan sekali lagi bahwa kebiasaan timbul dari pengulangan. Karena itu, pembiasaan sejak dini tingkat pengulangannya akan jauh lebih sering daripada sesudah dewasa. Peribahasa Latin menyebutkan: repititio ist mater studiorum (intinya belajar adalah pengulangan).
6. Metode ‘ibrah
            Menurut an-Nahlawi, ‘ibrah [pelajaran] – yang diperoleh lewat perenungan [i’tibar] atas fenomena alam atau peristiwa sejarah – merupakan suatu kondisi psikis yang mengantarkan manusia kepada intisari dari sesuatu yang disaksikan, didengar, dan dihadapi dengan menggunakan pemahaman nalar yang menyebabkan hati mengakuinya.
          Penggunaan ‘ibrah  di dalam al-Qur’an dan Sunnah banyak sekali ragamnya tergantung pada objeknya. Al-Qur’an menekankan sekali pentingnya memikirkan (ber-i’tibar) agar dengan cara itu manusia mendapatkan banyak pelajaran (‘ibrah). Penyampaian pesan dalam bentuk ‘ibrah menggunakan beberapa medium, antara lain: kisah (seperti kisah para Rasul), tamsil (seperti binatang) dan fenomena alam. Sedemikian pentingnya mengambil pelajaran itu sehingga Allah berulang kali menyerukan kepada manusia untuk terus-menerus beri’tibar (perhatikan, misalnya, perintah yang tertera pada Surat al-Hasyr:2). Pengambilan ‘íbrah dari suatu kisah, tamsil atau fenomena alam hanya akan dapat dicapai oleh orang yang berpikir dengan akal sehat sebagaimana Allah tegaskan: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat ‘ibrah bagi orang-orang yang menggunakan akal sehatnya” (QS. Yusuf: 111). Lebih tegas lagi dinyatakan: “Hanya orang-orang berpikir yang akan mendapatkan pelajaran” (Ali Imran:7). Mengenai pentingnya memikirkan, mengkaji dan meneliti fenomena alam, sebagai contoh, Allah melukiskan dalam Surat yang sama yang berbunyi: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya siang dan malam terdapat banyak fenomena untuk menunjukan kebesaran Allah bagi orang-orang yang berpikir. [Diantara ciri orang berpikir] yaitu orang-orang yang senantiasa mengingat Allah baik dalam keadaan berdiri, duduk maupun sedang berbaring/tidur…” (Ali Imran: 190-191).
          Sedemikian indahnya Allah swt menyampaikan pesan ini sampai-sampai kita dapat menyimpulkan bahwa ternyata segala fenomena alam baik di langit maupun di bumi merupakan “materi pelajaran” yang disajikan oleh Mahaguru semesta alam kepada segenap penghuninya. Pengkajian terhadap fenomena alam itu dimaksudkan untuk menciptakan kesejahtraan bagi manusia sendiri, bukan untuk Allah. Dus, pengembangan sains dan teknologi merupakan tugas bagi setiap orang. Sebagaimana dinyatakan dalam ayat tersebut, bahwa ciri orang berpikir adalah selalu mengingat Allah. Maksudnya, kurang lebih, orang seperti itu selalu ingat akan tugas yang Allah bebankan kepadanya, yaitu memikirkan fenomena alam supaya manusia dapat meraih kebahagiaan. Disamping itu, agar manusia semakin sadar akan kebesaran dan kekuasaan Allah. Mengingat betapa pentingnya menelaah fenomena alam sampai-sampai Allah menyajikan beberapa contoh fenomena alam yang harus dikaji seperti guruh (al-ra’d), gua (al-kahf), cahaya (an-nur), kabut (ad-dukhan), bukit-bukit (al-ahqaf), angin taufan (ad-dzariyat), matahari (as-syams), bulan (al-qamar), bintang (an-njam), konstelasi planet (al-buruj), waktu subuh (al-falaq), fajar (al-fajr), negeri (al-balad), luapan api (al-lahb), sampai pepohonan dan buah-buahan seperti pohon/buah Tin dan Zaitun. Bahkan Allah menyruh manusia untuk mengkaji dan menggali bahan-bahan tambang seperti besi (al-hadid). Fenomena alam yang harus dijadikan objek pengkajian seperti itu hanyalah sekedar contoh. Pengembangan lebih lanjut untuk mengkaji fenomena lainnya adalah tangungjawab manusia. Jadi, patut direnungkan berulang-ulang, apakah Allah masih kurang memberikan pelajaran?
          Kisah pun, sebagaimana diutarakan di atas, sarat dengan pelajaran bila dipikirkan, direnungkan dan dikaji maknanya. Inti pesan [pelajaran] dari kisah nabi Yusuf, misalnya, adalah bahwa Allah berkuasa untuk menyelamatkan Yusuf setelah dia dilemparkan ke dalam sumur yang gelap oleh saudara-saudaranya. Kedua, Allah juga berkuasa untuk mengangkat martabat Yusuf sekalipun dia telah dijebloskan ke dalam penjara. Singkat kata, Allah berkuasa atas segala sesuatu. Pelajaran seperti ini hanya dapat diperoleh [dicapai] oleh orang yang berpikir jernih, berpikir kritis dengan akal sehatnya.
          Pendidikan Islam, terutama sekali bagi anak-anak, menekankan sekali pentingnya metode ‘ibrah dari kisah-kisah sebagaimana dipaparkan di dalam al-Quran sebab kisah-kisah itu berbeda dari dongeng atau legenda dan tidak sekedar merupakan wacana sejarah, tetapi juga sengaja diceritakan Tuhan sebagai petunjuk atau cermin hidup bagi manusia.
7. Metode Nasehat (mau’izah)
          Mau’izah adalah nasihat bijaksana yang dapat diterima oleh pikiran dan perasaan orang yang menerimanya. Rasyid Rida, ketika menjelaskan al-Baqarah ayat 232 berkesimpulan bahwama’izah adalah nasehat yang disajikan dengan cara yang dapat menyentuh kalbu. Inilah yang lazim disebut nasihat baik (mau’izah hasanah).
Kata mau’izah memiliki dwi-arti. Pertama, iaberarti nasehat, yaitu penyajian kebenaran dengan maksud mengajak orang yang dinasehati untuk mengamalkannya. Nasihat yang baik tentu saja harus bersumber dari Yang Mahabaik, yaitu Allah. Untuk itu, pemberi nasihat juga harus terlepas pula dari kepentingan-kepentigan pribadi dan duniawi. Nasihat yang dia berikan harus semata-mata bermotifkan mencari keiridaan Allah [ikhlas] sebagaimana ditegaskan di dalam as-Syu’ara ayat 109, 127, 145, 164 dan 180 bahwa pemberi nasihat atau pengajak kepada kebenaran harus selalu berpegang pada prinsip bahwa “Upahku hanya dari Tuhan semesta alam.” Nasehat Luqman al-Hakim kepada putranya merupakan contoh nasehat yang baik di mana Luqman menasehati anaknya untuk tidak mempersekutukan Allah, tidak suka berbuat jahat, menagakan shalat, menganjurkan kebajikan dan mencegah kerusakan, nasehat untuk bersabar dalam menjalani musibah, nasehat untuk tidak bersikap congkak dan sombong, serta tentang pentingnya tatakrama di dalam bertutur kata (QS. 31: 13, 16-19). Dengan menampilkan Luqman sebagai pemberi nasehat di dalam ayat ini, seakan-akan Allah memberikan pesan kepada kita (kaum pendidik) bahwa keikhlasan seorang pemberi nasehat itu harus seperti keikhlasan orang tua dalam memberikan nasehat kepada anaknya.
Kedua, mau’izah berarti peringatan (tadzkir). Pemberi nasehat harus berulang kali mengingatkan agar nasihat itu berkesan sehingga yang dinasehati tertarik untuk mengikutinya. Dus, suatu nasihat harus disajikan secara ikhlas dan berulang-ulang. Dalam sebuah Hadits diriwayatkan bahwa Nabi saw. pernah memberikan nasehat yang sangat menyentuh perasaan orang yang dinasehatinya sehingga penerima nasehat itu memandang nasehat tersebut seolah-olah sebagai wasiat.
8. Metode targhib dan tarhib
Targhib [lit.: pembangkitan harapan] adalah usaha pendidik untuk membangkitkan minat ataua pengharapan terhadap sesuatu yang sangat didambakan seperti kesenangan, keselamatan, kemenangan, kejayaan, dll. Dalam kata lain, targhib adalah usaha pembangkitan minat dan hasrat manusia untuk memperoleh apa yang dia idamkan. Dalam terminologi pendidikan, targhib  adalah usaha membangkitkan hasrat manusia untuk mendapatkan ganjaran (reward) yang dijanjikan untuk suatu prestasi yang telah dicapai (amal saleh) yang dalam istilah agama disebut sorga. Sedangkan tarhib adalah kebalikan dari targhib. Tegasya,tarhib adalah usaha pendidikan untuk membuat anak didik takut terhadap ancaman hukuman (punishment) yang dijanjikan untuk suatu perbuatan jahat (amal salah) yang dalam istilah agama disebut neraka. Berulang kali disebutkan di dalam al-Qur’an bahwa orang-orang beriman dan berbuat baik akan diberi ganjaran besar berupa sorga. Sedangkan bagi orang-orang kafir dijanjikan neraka. Dwi-ungkapan di dalam al-Quran ini merupakan contoh aplikasi metodetarghib dan tarhib.
          Dalam pendidikan Islam, metode targhib dan tarhib memiliki keistimewaan yang jauh lebih ungguldaripada metode ganjaran dan hukuman (reward and punishment) karena:
-          Targhib dan tarhib senantiasa bersandar pada petunjuk al-Qur’an dan Sunnah untuk menumbuhkan dan memperkokoh keimanan.
-          Targhib dan tarhib  senantiasa dikaitkan langsung dengan janji dan ancaman dari Allah berupa sorga dan neraka sehingga dapat menimbulkan rasa kedekatan kepada Tuhan dan rasa penuh pengharapan (raja’) terhadap apa yang Allah janjikan. Metode reward and punishment, di lain pihak, hanya mengandalkan ganjaran dan hukuman fisik di dunia ini saja.
Terhadap metode-metode tersebut, Prof. Ahmad Tafsir (1994:148-9) menambahkan dua metode lainnya, yaitu metode pepujian dan wiridan. Dalam parafrase saya, beliau berpendapat bahwa pepujian merupakan salah satu metode pendidikan yang mampu menggetarkan kalbu, membangunkan kesadaran yang tertidur. Secara harfiah, kata pepujian sinonim dengan puji-pujian. Disebut demikian sebab untaian kalimat yang didendangkan biasanya memuat pujian terhadap Allah (tahmid) atau dalam istilah gerejanya hymne.  Namun dalam perkembangan selanjutnya, untaian shalawat kepada Nabi Muhammad saw., istighfar atau bahkan doa-doa lainnya pun disebut juga pepujian. Pelajaran tentang sejarah [misalnya, sejarah kenabian] dan peringatan akan kematian atau tadzkiratul maut (Sunda: pepeling) juga tergolong ke dalam pepujian. Dalam uraian di Bab II di bawah ini disajikan contoh pepeling dan sejarah kenabian dalam bentuk pepujian. Di perkampungan yang agamis,  terutama di dunia pesantren tradisional seperti di wilayah Tasikmalaya, Garut dan sekitarnya, pepujian didendangkan dalam bentuk nazom dengan untaian bait-bait syair yang harmonis dan dengan irama yang indah sehingga sangat enak didengar. Di bawah ini contoh pepujian yang biasa penulis dendangkan di masa kanak-kanak dan kini masih tetap lestari.
          Nun Gusti, abdi hampura [Ya Allah, hamba mohon ampunan]
          Dosa kangjeng ibu rama [Atas dosa ayah dan bunda hamba]
          Sareng guru-guru mulya [Begitu pula dosa guru-guru hamba yang mulia]
          Oge Muslimin sadaya [Juga seluruh kaum Muslimin]
Perhatikan keselarasan syair pada bait-bait pepujian ini. Fragmen pepujian ini memuat pelajaran tentang permohonan ampunan kepada Allah (istighfar). Kita perhatikan lagi contoh lain di bawah ini.
          Nun Gusti Pangeran abdi [Ya Allah, ya Tuhan hamba]
          Abdi estu tos nyiksa diri [Hamba sungguh telah menganiaya diri sendiri]
          Taya welas asih Gusti [Tanpa belas kasih Engkau]
          Tangtos abdi bakal rugi [Tentu hamba akan merugi]
Bait-bait pada nazoman ini merupakan versi lain dari doa taubat yang dipanjatkan nabi Adam, yang dalam al-Quran termaktub dalam bentuk kalimat:
          Rabbanâ, innanâ zalamnâ anfusanâ
          Wa-in lan taghfirlanâ
          Wa tarhamnâ
          Lanakunanna minal-khâsyirîn
Contoh lain lagi adalah pepujian dalam bentuk nazoman seperti di bawah ini:
          Nun Gusti abdi sanes ahli sawarga (Ya Allah, hamba memang bukan ahli surga]
          Nanging abdi moal kiat di naraka [Namun hamba tidak akan kuat di neraka]
Mugi Gusti kersa nampi tobat abdi [Semoga Engkau berkenan menerima tobat hamba]
Ngahapunten samudaya dosa abdi [Memaafkan segala dosa hamba]
Pupujian ini merupakan versi lain dari sajak-sajak penyesalan Abu Nawas yang berbunyi:
          Ilahî, lastu lil-firdausi ahlâ
          Walâ aqwâ ‘alâ nâril-jahîmi
          Fa hablî taubatan waghfir zunûbî
          Fa-innaka ghâfiru dzanbil ‘azîmi
Bait-bait shalawat kepada Nabi Muhammad saw. sebagaimana termaktub di dalam Kitab Barjanji sering pula dinazomkan dalam pepujian yang di kampung penulis disebut Marhabaan.Nazoman ini sarat dengan muatan pelajaran sejarah kenabian dan merupakan suatu usaha pendidikan untuk menanamkan rasa cinta dan kekaguman kepada Nabi Muhammad saw. dan keluarga beliau. Untuk anak-anak, pada khususnya, pelajaran ini sangat penting. Karena itu, tidaklah bijaksana untuk memandang nazoman seperti ini sebagai bid’ah. Nazoman ini sekedar salah satu metode pendidikan. Tidak masuk akal bila pelajaran mengenai kebajikan dikatakanbid’ah. Justru sebaliknya, mendiskreditkan orang lain merupakan bid’ah, bahkan kezaliman.
          Selanjutnya, Prof. Tafsir menuturkan bahwa wirid adalah pengucapan doa-doa secara berulang-ulang. Ada pula wirid berupa dzikir yang juga dibaca berulang-ulang dalam jumlah bilangan tertentu. Kalimah thayyibah  biasanya dijadikan wiridan yang lumrah. Namun terkadang nama-nama Allah yang indah (asma husna) juga diwiridkan. Metode ini lazim digunakan di kalangan kaum Sufi, yang terkadang disebut kaum tarikat. Kata tarikat itu sendiri berasal dari bahasa Arab thariqah yang secara harfiah berarti “jalan”, “cara” atau “metode”. Seperti pepujian, wiridan pun berpengaruh besar terhadap pembinaan mental. Bahkan konon di kalangan kaum tarikat, wiridan dapat mengantarkan manusia ke tingkat pemahaman tertinggi tentang ketuhanan (musyahadah) sehingga, pada gilirannya, manusia dapat mengenal Tuhanya secara hakiki melalui indera batinnya (ma’rifah). Tahap peralihan kondisi mental manusia dari ketidaktahuan kepada pengetahuan tentang Tuhannya ini dalam istilah tarikat disebut tahap terbuka hijab. Sampai di sini kita akhiri uraian mengenai metode-metode pendidikan Islam.
[dm]237[/dm]

1 komentar:

  1. http://sutisna.com/artikel/artikel-kependidikan/metode-pendidikan-islam/

    BalasHapus