Senin, 05 Maret 2012

moral


Memasuki tahun 2012 ini, Indonesia masih memiliki banyak “pekerjaan rumah” yang harus segera dirampungkan. Kasuskasus seperti korupsi di kalangan elite politik, tawuran antarpelajar,kriminalitas di angkutan umum, ataupun tragedi berdarah di Mesuji dan Bima baru-baru ini,semuanya itu terjadi tak lepas karena minimnya pendidikan moral di negeri ini.
Pendidikan moral sangat erat kaitannya dengan pembangunan bangsa.Pendidikan, tulis pedagog Jerman FW Foerster (1869–1966), bertujuan membentuk karakter (moral) yang terwujud dalam kesatuan esensial si subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, moral merupakan sesuatu yang mengualifikasi seseorang supaya tumbuh menjadi manusia yang bermartabat, mampu membedakan salah dan benar.
Hemat penulis, ada tiga elemen penting yang memiliki peran mendasar dalam membangun pendidikan moral. Pertama, pada lingkup terkecil,yakni keluarga.Keluarga merupakan lingkungan yang paling dekat dengan anak dan sudah pasti memiliki pengaruh besar dalam proses pembentukan moral. Dalam ajaran Islam disebutkan,keluarga bertanggung jawab atas pendidikan moral.
“Wahai orang-orang yang beriman,jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”(QS Attahrim/ 66:6). Kedua, pada lingkup agak luas, para ulama, kaum pendidik, serta cendekiawan juga sangat berperan dalam membangun pendidikan moral.Mereka adalah cermin bagi masyarakat.Apa yang mereka lakukan sejatinya akan cenderung ditiru dan dipraktikkan oleh masyarakat.
Keteladanan dan sikap etis harus selalu dipraktikkan bagi mereka,apalagi bagi para kaum pendidik. Ketiga, pada lingkungan yang lebih luas, yakni negara, yang bertanggung jawab atas pembinaan moral ini adalah pemerintah. Seorang pemimpin harus bisa menjadi teladan bagi segenap rakyatnya. Artinya, moral mulia sudah selayaknya terpancar dalam diri seorang pemimpin (umara).
Semoga upaya tersebut benar-benar terwujud, sehingga mampu menciptakan generasi Indonesia yang tidak hanya pintar secara intelektual, tetapi juga bermoral. Ini sebagaimana dikatakan Syauqi Beik dalam kata-kata hikmahnya, “Sesungguhnya umat dan bangsa itu sangat bergantung pada moralnya,jika baik,maka akan kuat bangsa itu,dan jika rusak maka akan bangsa itu.” (Sumber: Seputar Indonesia, 7
  hancurlah  Januari 2012).


 
KabarIndonesia - Akhir-akhir ini banyak masyarakat yang memandang bahwa proses pendidikan kita telah gagal menanamkan nilai-nilai moral pada setiap siswa. Asumsi ini muncul setelah kita menyaksikan begitu banyaknya siswa yang kurang memiliki moral yang sesuai dengan pandangan hidup masyarakat kita. Pendidikan moral merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pendidikan.

Terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan pendidikan moral, yakni:

1.  Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang bersentuhan langsung dengan perkembangan moral anak. Pendidikan karakter adalah proses mengajari anak dengan pengetahuan moral dasar untuk mencegah mereka melakukan tindakan-tindakan yang tidak bermoral yang membahayakan orang lain dan membahayakan dirinya sendiri seperti perilaku berbohong, menipu dan mencuri. dengan adanya proses pendidikan ini peserta didik dapat memahami bahwa perilaku tersebut merupakan perilaku yang keliru. Menurut pendidikan karakter setiap sekolah harus memiliki aturan moral yang kemudian dikomunikasikan dengan jelas kepada seluruh siswa. Setiap pelanggaran terhadap aturan harus dikenai sanksi sesuai dengan kesepakatan.

2.  Klarifikasi nilai adalah proses memberikan bantuan kepada setiap anak untuk memahami dan menyadari untuk apa hidup serta mengklarifikasi bentuk-bentuk perilaku apa yang layak dikerjakan. Dalam pendekatan ini, anak didorong untuk mendefinisikan nilai dari mereka sendiri dan memahami nilai diri orang lain.

3.  Pendidikan moral kognitif adalah pendekatan yang didasarkan pada keyakinan bahwa murid harus mempelajari hal-hal seperti demokrasi dan keadilan saat moral mereka sedang berkembang (santrock, 2007). Teori Kohlberg banyak mendasari pendidikan moral kognitif yakni menyadari bahwa atmosfer moral di sekolah sangat berpengaruh terhadap perkembangan moral anak. Dengan kata lain, iklim sekolah dalam pendidikan moral akan menentukan keberhasilan pendidikan moral.

Beberapa hal yang dapat membantu perkembangan moral anak dalam proses pendidikan di sekolah seperti yang dikemukakan Honig dan Wittmer (1996), adalah sebagai berikut:

a.  Hargai dan tekankan konsiderasi kebutuhan orang lain. Ini akan mendorong siswa untuk lebih terlibat dalam aktivitas membantu orang lain.

b.  Jadilah contoh perilaku prososial. Siswa meniru apa yang dilakukan guru. Misalnya, tindakan guru yang menghibur saat siswa stress kemungkinan akan ditiru oleh siswa lainnya. Ketika guru mengomeli semua siswa sambil berteriak-teriak, mereka kemungkinan akan menirunya dengan meneriaki teman-temannya.

c.   Berilah label dan identifikasi perilaku prososial dan perilaku antisosial. Artinya ketika siswa melakukan perilaku yang positif, jangan hanya mengatakan "bagus" saja, akan tetapi tunjukkan perilaku apa yang positif yang ditunjukkan siswa tersebut.

d.  Bantu siswa untuk menentukan sikap dan memahami perasaan orang lain.

e.  Kembangkan proyek kelas dan sekolah yang dapat meningkatkan alturisme. Bantulah siswa untuk menyusun dan mengembangkan proyek yang dapat membantu orang lain. Proyek ini mungkin berupa kegiatan membersihkan halaman sekolah, menulis surat pada anak yang sedang berada didaerah konflik, mengumpulkan mainan dan makanan untuk anak yang membutuhkan dan lain sebagainya.

Dengan demikian, guru yang berperan sebagai fasilitator dapat memenuhi kebutuhan dan motivasi siswanya semaksimal mungkin sehingga peserta didik mampu mengikuti proses pendidikannya sebaik mungkin. Dengan hal ini tentunya akan menumbuhkan moral yang baik dan sesuai dengan pandangan hidup masyarakat. (*)



Moral dan Manusia
Manusia tidak bisa lepas dari kata moral, karena hanya manusia yang mempunyai kesadaran untuk berbuat baik atau buruk. Masalah moral harus diperhatikan setiap orang di negeri ini, karena baik buruknya moral setiap pribadi menentukan kualitas suatu bangsa. Arus globalisasi dan modernisasi membuat generasi muda hanyut dalam gaya hidup dan sikap individualis, acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar dan tidak peduli dengan tanggung jawab moral. Tidaklah adil jika kemerosotan moral hanya ditimpakan sepenuhnya pada generasi muda. Hal demikian yang menimpa generasi muda merupakan korban kelalaian orang dewasa yang selalu berkonsentrasi pada urusan duniawi yang tiada habis-habisnya, padahal orang dewasa atau generasi tua sering dijadikan teladan oleh anak-anaknya.
Konsep Pemikiran Moral dalam Perspektif Sejarah
Diruntut dari sejarahnya, masalah moral telah lama menjadi masalah hidup manusia. Sebuah museum di Konstantinopel memiliki koleksi benda kuno berupa lempengan tanah liat yang berasal dari tahun 3800 SM. Lempengan itu bertuliskan We haven fallen upon evil times and the world has waxed very old and wicked. Politics are very corrupt. Children are longer respectful to their parents. Makna yang terkandung dari tulisan tersebut bahwa ketika itu masyarakat mengalami zaman gila dan dunia telah diliputi kemiskinan dan kejahatan. Politik sangat korupsi. Anak-anak sama sekali tidak hormat kepada orang tuanya (Cahyoto, 2002). Menurut beberapa pakar sejarah, tanah liat itu berasal dari zaman Babilonia. Memperhatikan aspek politik yang disebut-sebut itu menunjukan bahwa sistem pemerintahan negara kurang baik, sehingga mengakibatkan kesengsaraan bagi rakyatnya. Pendidikan moral juga sudah lama dipermasalahkan. Pertanyaan Meno kepada Socrates mungkin bisa menjadi contoh. Ketika Meno bertanya apakah moral itu bisa diajarkan? atau hanya bisa dicapai melalui praktik kehidupan sehari-hari? seandainya melalui pengajaran dan praktek tidak bisa dicapai, apakah nilai moral bisa dicapai secara alamiah? atau dengan cara lain?. Pertanyaan Meno sampai sekarang masih menjadi bahan perdebatan dikalangan ahli filsafat moral dan psikologi (Nurul Zuriah, 2007: 20). Apabila dikaitkan dengan keadaan masa kini, pertanyaan tersebut pada masa sekarang bisa dirumuskan menjadi: apakah pendidikan moral diartikan dengan pendidikan tentang moral, atau apakah moral dimaksudkan agar manusia belajar menjadi manusia yang bermoral?. Tanggung jawab moral memang menjadi tanggung jawab seluruh elemen masyarakat. Pemerintah, masyarakat, bahkan orang tua di rumah juga bertanggung jawab atas perkembangan moral generasi muda.
Makna Pendidikan Moral
Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukan bahwa perbuatan itu benar atau salah dan baik atau buruk. Moralitas mencakup pengertian tentang baik buruknya perbuatan manusia. Pendidikan moral bertujuan untuk mengembangkan pola perilaku seseorang sesuai dengan kehendak masyarakatnya. Kehendak ini berwujud moralitas atau kesusilaan yang berisi nilai-nilai dan kehidupan yang berada dalam masyarakat. Dengan demikian dalam pendidikan moral menyangkut dua aspek, yaitu nilai-nilai dan kehidupan nyata.
Menanamkan Pendidikan Moral Ibarat Orang Mandi
Penanaman moral yang paling efektif adalah dengan keteladanan. Ibarat orang yang sedang mandi, pasti akan menyiram dengan memulai dari bagian atas untuk selanjutnya ke bagian bawah. Dimulai dengan mengambil air segayung atau dengan selang yang disemprotkan ke bagian rambut, wajah, leher, badan, pinggul dan selanjutnya ke bagian bawah hingga kaki. Menyemprotkan dari atas ke bawah akan membuat mandi seseorang lebih efektif dan efisien, karena air yang jatuh dari atas bisa juga membasahi bagian bawahnya. Air yang sudah membersihkan bagian atas, dapat mengalir dan membersihkan bagian yang bawah pula. Berbanding terbalik jika kita melakukannya dari bawah. Menyiram dari bawah hanya membersihkan bagian yang bawah saja, sementara bagian yang atas sedikit mendapatkan air yang disiramkan dari bagian bawah. Cara kedua ini tidak efektif dan tidak efisien, karena bisa menghabiskan banyak air untuk membersihkan bagian bawah sampai ke bagian atas.
Perumpamaan di atas jika diterapkan dalam penanaman moral, maka semua harus dimulai dari atas untuk selanjutnya mengalir ke bawah. Contoh sederhananya penanaman moral lebih efektif jika seorang pemimpin memberikan keteladanan moral kepada yang dipimpin, seorang atasan memberikan keteladanan moral kepada bawahan, seorang guru memberikan keteladanan moral kepada muridnya, serta orang tua memberikan keteladanan moral kepada anak-anaknya. Dengan demikian proses penanaman moral akan berjalan lebih efektif dan efisien. Bandingkan jika semua dimulai dari bawah. Seorang bawahan selalu dituntut untuk berbuat baik, namun atasannya tidak pernah menghormati bawahannya. Bagaimana mungkin seorang anak menghargai orang tuanya, jika orang tuanya selalu berkata kasar dihadapan anaknya. Bagaimana mungkin rakyat menjadi madani, jika para pemimpinnya korupsi. Penanaman moral harus dimulai dari atas. Seperti Tuhan yang sudah mencontohkan dan memulai segalanya dengan kesempurnaan.








A.    Pengertian Moral Pendidikan
Sebelum kita membahas mengenai pengertian dari moral pendidikan, akan lebih baik jika kita terlebih dahulu memehami mengenai dua suku kata yang terkandung dalam moral pendidikan, kata pertama yaitu moral dan kata yang kedua yaitu pendidikan.
1.      Pengertian Moral
Secara etimologi istilah moral berasal dari bahasa Latin mos, moris (adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan) mores (adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak)[1]
Banyak ahli menyumbangkan pemikirannya untuk mengartikan kata moral secara terminologi.
Dagobert D. Runes
Moral adalah hal yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan-tindakan yang baik sebagai “kewajiban” atau “norma”.[2]
Helden (1977) dan Richards (1971)

Moral adalah suatu kepekaan dalam pikiran, perasaan, dan tindakan dibandingkan dengan tindakan-tindakan lain yang tidak hanya berupa kepekaan terhadap prinsip-prinsip dan aturan-aturan.

Atkinson (1969)
Moral merupakan pandangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan
Kamus besar bahasa Indonesia
       Moral diartikan sebagai keadaan baik dan buruk yang diterima secara umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti dan susila. Moral juga berarti kondisi mental yang terungkap dalam bentuk perbuatan. Selain itu moral berarti sebagai ajaran Kesusilaan. Kata morla sendiri berasal dari bahasa Latin “mores” yang berarti tata cara dalam kehidupan, adat istiadat dan kebiasaan.

Dalam terminology Islam
     Pengertian moral dapat disamakan dengan pengertian “akhlak” dan dalam bahasa Indonesia moral dan akhlak maksudnya sama dengan budi pekerti atau kesusilaan.
Kata akhlak berasal dari kata khalaqa (bahasa Arab) yang berarti perangai, tabi’at dan adat istiadat. Al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai suatu perangai (watak/tabi’at) yang menetap dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan tanpa dipikirkan atau direncanakan sebelumnya.
Pengertian akhlak seperti ini hampir sama dengan yang dikatakan oleh Ibn Maskawih. Akhlak menurutnya adalah suatu keadaan jiwa yang menyebabkan timbulnya perbuatan tanpa melalui pertimbangan dan dipikirkan secara mendalam. Apabila dari perangai tersebut timbul perbuatan baik, maka perbuatan demikian disebut akhlak baik. Demikian sebaliknya, jika perbuatan yang ditimbulkannya perbuatan buruk, maka disebut akhlak jelek.
Pendapat lain yang menguatkan persamaan arti moral dan akhlak adalah pendapat Muslim Nurdin yang mengatakan bahwa akhlak adalah seperangkat nilai yang dijadikan tolok ukur untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan atau suatu sistem nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan manusia.
       Dengan demikian pengertian moral dapat dipahami dengan mengklasifikasikannya sebagai berikut :
1.    Moral sebagai ajaran kesusilaan, berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan tuntutan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik dan meningalkan perbuatan jelekyang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dalam suatu masyarakat.
2.    Moral sebagai aturan, berarti ketentuan yang digunakan oleh masyarakat untuk menilai perbuatan seseorang apakah termasuk baik atau sebaliknya buruk.
2.      Pengertian Pendidikan
Ki Hajar Dewantara                                                              
Pendidikan adalah menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Undang-undang RI. Nomor 20 tahun 2003 (pasal 1 ayat 1)
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

3.      Pengertian Moral Pendidikan
Moral Pendidikan  adalah suatu kesepakatan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dengan tujuan untuk mengarahkan generasi muda atas nilai-nilai (values) dan kebajikan (virtues) yang akan membentuknya menjadi manusia yang baik (good people) (Nord and Haynes, 2002).[3]
Moral pendidikan merupakan salah satu pendekatan yang dianggap sebagai gerakan utama dalam pendidikan nilai secara komprehensif, moral pendidikan mencakup pengetahuan, sikap, keparcayaan, keterampilan mengatasi konflik, dan perilaku yang jujur, dan penyayang (kemudian dinyatakan dengan istilah “bermoral”).
Tujuan utama moral pendidikan adalah menghasilkan individu yang otonom, memahami nilai-nilai moral, dan memiliki komitmen untuk bertindak konsisten dengan nilai-nilai tersebut. Moral pendidikan mengandung beberapa komponen yaitu pengetahuan tentang moralitas, penelaran moral, perasaan kasih sayang dan mementingkan kepentingan orang lain.


[1] Bagus lorens, Kamus Filsafat, (jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 672
[2] Mungin Eddy Wibowo, Etika dan Moral dalam Pembelajaran, (Jakarta: Pusat Antar Universitas, 2001), hlm. 8
[3] Triyo Supriyatno, Pendidikan Moral dalam Pembentukan Individu Baru, artikel ini diakses pada 1 November 2011 dari http://kahmiuin.blogspot.com/2009/07/pendidikan-moral-dalam-pembentukan.html


Pemikiran Pendidikan Moral Harun Nasution

Diakui dalam diskursus wacana cendekiawan muslim bahwa pada ranah pemikiran pendidikan ada hubungan keterkaitan yang sangat erat antara pendidikan agama dan moral. Pendidikan Islam misalnya tidak terlepas dari upaya penanaman nilai-nilai serta unsur-unsur agama pada jiwa seseorang, yang diantaranya adalah nilai-nilai moral atau yang biasa disebut dengan Akhlaq. Nilai-nilai moral yang dimaksudpun tidak terlepas dari ajaran-ajaran normativitas agama Islam seperti yang telah dicontohkan oleh Rasul. Rasulullahpun bersabda dalam sebuah Hadits bahwa Beliau diutus kepada manusia adalah untuk menyempurnakan akhlaq/moral manusia.

Tentang eratnya hubungan agama dengan moral ini kita dapat menganalisa dari keseluruhan ajaran agama Islam itu sendiri, bahwa akhirnya akan berujung pada pembentukan moral. Perintah mengucapkan dua kalimat syahadat misalnya yang merupakan inti awal masuknya seseorang ke dalam agama Islam, mengandung pesan moral agar segala ucapan dan perbuatannya dimotivasi oleh nilai-nilai yang berasal dari Tuhan dan Rasul-Nya, mencontoh sifat-sifatnya dan sekaligus diarahkan untuk selalu mendapat keridhaannya. Selanjutnya perintah shalat ditujukan agar terhindar dari perbuatan yang keji dan mungkar (lihat Q.S. al-Angkabut,2:183). Perintah zakat ditujukan untuk menghilangkan sifat kikir dan menumbuhkan sikap kepedulian (lihat Q.S. al-Taubah,2:103). Perintah ibadah haji ditujukan agar menjauhi perbuatan keji,
pelanggaran secara sengaja (fasiq), dan bermusuh-musuhan (lihat Q.S. al- Baqarah,2:197). Kaitannya dengan uraian di atas Harun Nasution kemudian berkesimpulan bahwa sebenarnya ajaran normativitas agama Islam terdiri dari dua dimensi pokok yaitu: masalah-masalah ke-Tuhan-an atau ketauhidan dan masalah-masalah kebaikan serta keburukan atau moral. Dalam mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam ini maka diperlukan seperangkat proses maupun aturan sebagai media transformasi sekaligus internalisasi nilai-nilai ketauhidan dan moral yang dimaksud berupa proses dan perangkat pendidikan Islam.
Perangkat pendidikan Islam harus memiliki beragam komponen di antaranya adalah
pendidik, orang yang akan dididik, materi, tujuan, metode dan lain sebagainya. Tujuan pendidikan Islam menurut Harun Nasution adalah untuk membentuk manusia
yang bertaqwa, yang mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan- Nya. Bertaqwa yang dimaksud adalah seperti apa yang digambarkan dalam al-Qur’an yaitu, mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan shalat, menginfakkan sebagian rezeki, beriman kepada Al-qur’an dan kitab-kitab yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya serta yakin akan adanya hari kiamat (lihat Q.S. al- Baqarah,2:3-4).
Dari konsep tersebut akan dapat kita tangkap bahwa tujuan pendidikan Islam mengindikasikan kearah dua kutub yang berbeda namun saling berkaitan yaitu, di samping mengutamakan ketauhidan dengan segala persoalannya (teosentris), tetapi juga mengakomodasi pentingnya peran moral manusia dalam berinteraksi dengan
jenisnya (humanis).
Tentang dua indikasi ini Harun Nasution berpendapat bahwa pendidikan Islam sebaiknya memiliki bahan/materi pendidikan yang secara umum didasarkan pada tujuan spiritual, moral dan intelektual, yang kemudian oleh pakar pendidikan disebut dengan istilah Kecerdasan Spiritual, Intelektual, dan Emosional.
Meski begitu, Harun Nasution melihat lebih pentingnya penekanan terhadap aspek
pendidikan moral. Pendapat tersebut mengisyaratkan beberapa kemungkinan bahwa pendidikan moral akan dengan sendirinya mengarahkan manusia kepada konsep tauhid dalam Islam. Bahwa dengan aturan moral dapat ditarik hikmah akan adanya pencipta yang mengatur segalanya di bawah satu Pengatur yaitu Tuhan. Dan juga bahwa pendidikan moral merupakan bentuk lain dari pendidikan tauhid. Sampai di sini kiranya apa yang ingin ditafsirkan oleh Harun Nasution tentang hadits “Bu’itstu li utammima makaarimal akhlaaq”.
Pendapat ini seperti juga yang disampaikan oleh Ibn Miskawaih bahwa letak keutamaan pentingnya pendidikan moral adalah dalam urgensi nilainya yang cukup signifikan dalam membentuk kepribadian manusia. Bahwa semua krisis yang melanda manusia termasuk di dalamnya krisis spiritual lebih disebabkan oleh hancurnya pendidikan Akhlak. Minusnya moral (akhlaq) ini akan membuat predikat manusia yang mulia – dengan akhlaq dan taqwa – turun menjadi hina (lihat Q.S. al-Tin,95:5).
Karena penekanan pendidikan Islam adalah pendidikan moral, maka metode yang dipakai menurut Harun sebaiknya :
1. Pemberian contoh dan teladan
2. Pemberian nasehat
3. Pemberian bimbingan / tuntunan moral dan spiritual
4. Kerjasama antara tiga komponen pendidikan yaitu; sekolah, rumah (keluarga),
dan lingkungan (masyarakat)
5. Tanya jawab dan Diskusi
6. Kerjasama dengan pihak lain
Agar metode tersebut dapat berjalan dengan baik dan benar maka perlu untuk memperhatikan kondisi para pendidiknya. Kualitas pendidik Islam harus mencerminkan pendidik yang bertanggung jawab, penuh wibawa, cerdas, tangkas, beriman dan memiliki wawasan yang luas. Menurut Harun kualitas para pendidik Islam setidaknya memiliki kriteria :
1. Sanggup memberi contoh
2. Menguasai ilmu-ilmu pendidikan
3. Menguasai pengetahuan yang luas tentang agama
4. Menguasai pengetahuan umum
Kemudian apabila melihat kepada anak didik, Harun Nasution berpendapat bahwa pendidikan Islam yang menekankan pentingnya pendidikan moral ini harus dilaksanakan sejak anak masih bersih kalbunya dan belum ternodai oleh kebiasaankebiasaan tidak baik, kerena menurutnya apabila sudah ternoda akan susah untuk menghilangkannya.
Pendapat tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Ali Asyraf bahwa pendidikan moral harus ditanamkan terhadap seorang anak sejak dari tahap awal sekali walaupun realisasi spiritual yang sebenarnya merupakan pencapaian terakhir. Artinya pendidikan moral diusahakan dilaksanakan semenjak anak masih dini dan belum terlalu mengenal kehidupan lingkungan yang begitu luas.
Emile Durkhiem pun berpendapat demikian, bahwa kondisi perkembangan intelektual
anak-anak usia dini masih belum sempurna. Begitu juga kehidupan emosinalnya masih terlalu sederhana dan belum berkembang. Nah pada tahap inilah penanaman aspek dasar pendidikan moral sangat dipentingkan untuk dapat diserap oleh mereka. Sebaliknya apabila telah melewati tahap usia dini tetapi belum diletakkan dasar-dasar moral kepada mereka, maka dasar-dasar moral itu tidak akan pernah tertanam dalam diri si anak. Sampai di sini Harun Nasution kemudian menekankan pentingnya penekanan terhadap terminologi pendidikan itu sendiri dari sekedar pengajaran moral Islam. Hal tersebut penting karena di masyarakat telah terjadi salah kaprah tentang pendidikan itu sendiri. Titik tekan pendidikan moral diletakkan pada bagaimana si anak terdidik berpengetahuan moral, bukan bertujuan bagaimana mereka memiliki jiwa yang sangat bermoral secara Islami.

Pemikiran Pendidikan Moral Mukti Ali

Secara umum, Mukti Ali menyoroti masalah etika, akhlaq atau moral lebih pada
bagaimana ia dapat diakses dan diterapkan oleh golongan pelajar yang terbagi dua yaitu, golongan intelektual atau cendekiawan dan kaum praxis. Menurutnya kaum cendekiawan dengan kemampuan intelektualnya harus memiliki nilai-nilai moral dalam setiap ranah intelektual pengetahuannya. Ide-ide, konsep-konsepnya harus bisa lebih mendorong mereka untuk perbaikan-perbaikan, penyempurnaan-penyempurnaan dari sebuah keadaan yang sekarang dialami. Hal ini bukan berarti keadaan sekarang tidak lebih baik, tetapi bagaimana kegelisahan para cendekiawan tersebut dapat memberi sumbangan berarti terhadap keadaan moral masyarakat ke arah yang lebih baik. Untuk itu, menurut Mukti Ali, salah satu syarat seorang cendekiawan terutama cendekiawan muslim adalah bahwa ia harus memiliki kecakapan untuk melahirkan pikiran-pikiran tentang moral dalam kata-kata, baik lisan maupun tulisan.
Sedangkan kepada golongan praxis, yang lebih dituntut adalah bagaimana ia dapat
menerapkan praktek moral dalam kehidupan sehari-hari, yang sangat berkaitan dengan hal-hal yang kongkrit. Lebih jauh tugasnya adalah melakukan tindakantindakan untuk mengatasi persoalan-persoalan empirik. Sampai di sini, menurut hemat penulis, sebenarnya perbedaan antara kaum intelektualis dan kaum praxis ini hanyalah memiliki fungsi untuk memisahkan bidang garap masing-masing kaum itu sendiri, tidak lebih pada bagaimana keduanya samasama memiliki peran yang signifikan dalam proses kehidupan bermoral di masyarakat.
Atau lebih jelasnya pemisahan itu untuk memberikan batasan-batasan peran masingmasing
dalam memberikan sumbangan manfaat ke dalam kehidupan berinteraksi sosial. Untuk itu maka perbedaan tersebut mungkin lebih dikenal sebagai perbedaan dialektis daripada perbedaan dikotomis.
Perbedaan dialektis yang dimaksud adalah bahwa titik temu kedua terminology tersebut adalah bahwa kaum intelektualis dengan kritik sosial dan ide-ide moralnya dapat mampu menyumbangkan hal yang bermafaat dalam tataran praxis. Dan bahwa kaum praxis dengan sendirinya akan memberikan sumbangan berharga bagi pengamatan-pengamatan yang dilakukan oleh kaum intelektualis. Kemudian keluar dari permasalahan tersebut, seperti pendapat para cendekiawan muslim lainnya, Mukti Ali tidak menafikan akan adanya hubungan ‘organik’ antara pendidikan agama dan moral. Bahwa sistem agama, yang berupa oerientasi nilai, keyakinan, norma hukum, juga mempunyai saham yang tidak kecil dalam membentuk watak dan tingkah laku seseorang.
Lebih jauh menurutnya fungsi pokok agama adalah mengintegrasikan hidup. Bahwa
agama dengan nilai-nilai moralnya amat diperlukan dalam kehidupan manusia. Contoh kecil dari hubungan agama dan moral ini dapat dilihat dari fenomena dewasa ini tentang kekhawatiran masyarakat terhadap perubahan-perubahan sosial yang merugikan akhlak atau moral di kalangan penduduk kota-kota besar. Dalam hal ini nilai-nilai moral dalam agama dirasa penting untuk diterapkan.
Dalam Islam, al-Qur’an misalnya menginginkan untuk menegakkan kehidupan masyarakat yang egaliter, baik sosial,politik dan sebagainya yang ditegakkan pada dasar-dasar etika. Hal tersebut dapat dilihat dari ayat-ayat yang menyiratkan tentang “memakmurkan bumi” atau “menjauhi kerusakan di dunia”. Juga dapat dilihat dari ayat tentang tugas manusia yang dinyatakan dengan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Sampai di sini semakin jelalah akan adanya hubungan yang tak teroisakan antara nilai-nilai agama yang diinternalisakan kepada manusia dengan pendidikan agama dengan pendidikan moral.
Copy Rights : Munzaro.Blogspot.Com








·  ari berbagai sumber tentang pengertian pendidikan dapat diartikan sebagai berikut:
  1. Makna pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dengan demikian, bagaimanapun sederhananya peradaban suatu masyarakat, di dalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan. Karena itulah sering dinyatakan pendidikan telah ada sepanjang peradaban umat manusia. Pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha manusia melestarikan hidupnya. Dari pemaparan itu dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya yaitu rohani dan jasmani.
  2. Pendidikan adalah proses timbal balik dari tiap pribadi manusia dalam penyesuaian dirinya dengan alam, dengan teman, dan dengan alam semesta.
  3. Pendidikan adalah lembaga dan usaha pembangunan bangsa dan watak bangsa.
  4. Pendidikan adalah lembaga yang bertanggung jawab menetapkan cita-cita (tujuan) pendidikan, isi sistem, dan organisasi pendidikan (Dosen FIP-IKIP, 1980:7).
  5. Pendidikan adalah usaha manusia untuk mengembangkan dan mengarahkan fitrahnya agar dapat berkembang sampai titik optimal untuk menciptakan tujuan yang dicita-citakan (Arifin, 1988:12).
Dari berbagai sumber tersebut dapat disimpulkan pengertian pendidikan adalah usaha sadar maupun tidak sadar yang dapat diperoleh dalam lembanga formal maupun non formal di mana di dalamnya merupakan proses pengembangan diri. Pengembangan diri di sini bisa diartikan proses menjadi lebih baik pada jasmani maupun rohani. Dalam pembahasan ini lebih dipaparkan pada pendidikan moral jadi pembentukan dan pengembangan moral supaya lebih baik.
Selain pembahasan pendidikan juga kita fokuskan pada moral. Moral mempunyai arti yang sangat luas, dari berbagai sumber dapat diperoleh makna moral yaitu:
  1. Kata moral berasal dari kata latin yaitu “Mores” yang berarti tata cara, kebiasaan adat istiadat (Hurlock, 1989:74).
  2. Menurut Robert J. Havighurst moral yang bersumber dari adanya suatu tata nilai yakni a value is an obyect estate or affair wich is desired (suatu obyek rohani atas suatu keadaan yang di inginkan). Maka kondisi atau potensi internal kejiwaan seseorang untuk dapat melakukan hal-hal yang baik, sesuai dengan nilai-nilai value yang diinginkan itu (Sholeh, 2005:104).
  3. Moral adalah kata yang artinya dekat dengan etika karena moral berasal dari kata mores dari bahasa latin yang berarti adat atau kebiasaan sedangkan etika berasal dari kata ethos yaitu dari bahasa yunani yang memilki arti yang sama seperti moral yaitu kebiasaan atau adat (Bertens, 1997:5)
  4. Moral dapat diartikan mores yaitu mengungkapkan dapat atau tidaknya sesuatu perbuatan tindakan yang dapat diterima oleh sesamanya dalam hidup bermasyarakat. Dapat diterima atau ditolak suatu perbuatan itu, menisyaratkan adanya nilai-nilai tertentu yang dipakai sebagai pengukur. Nilai-nilai yang dapat diterima dan dapat diakui bersama mengatur tata cara saling berhubungan menjadi suatu kebiasaan yang bersangkutan (Daroeso ,1986:45).
Dari berbagai pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa moral adalah nilai-nilai atau kebiasaan baik buruk yang diterima yang terimplementasikan dalam perbuatan atau sikap dalam kehidupan sehari-hari.




















Strategi Pendidikan Agama dan Moral pada Era Gobal
Secara harfiah global berarti sedunia, sejagat. Kata ini selanjutnya menjadi istilah artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang meruuk kep artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id ada suatu kedaan dimana suatu negara dengan negara lain sudah menyatu. Batas-batas teritorial, kultural, dan sebagainya sudah bukan merupakan hambatan lagi untuk melakukan penyatuan tersebut. Situasi ini tercipta berkat artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id adanya dukungan teknlogi canggih dibidang komunikasi seperti radio, televisi, telepon, faxsimile, internet, dan sebagainya. Melalui berbagai peralatan tersebut berbagai peristiwa atau kejadian artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang terjadi di belahan dunia artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang lain dapat dengan mudah diketahui bahkan diaskes. Semakin banyak manusia menggunakan peralatan tersebut semakin banyak informasi artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang dapat diketahui. Selanjutnya mengingat arus informasi tersebut demikian banyak dan p artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id adat, maka tingkat kecpeatan untuk mendapatkan informasi tersebut semakin tinggi.
Munculnya situasi global tersebut di samping menimbulkan dampak positif, yaitu semakin mudahnya mendapatkan informasi dalam waktu artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang singkat, juga menimbulkan dampak negatif, yaitu mankala informasi artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang dimuat dalam berbagai peralatan budaya hubungan serba bebasantara lawan jenis, model pakaian artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yangtidak mengindahkan batas-batas aurat , tingkah laku kekerasan, gambar-gambar porno dan sebagainya dapat dengan mudah dijumpai melalui berbaai peralatan teknologi tersebut, dan keberdayaanya sudah sangat sulit dikontrol. Berbagai peralatan tersebut telah semakin membuka peluang atau menambah subur bagi terciptanya moral artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang buruk. Hal artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang demikian di rasakan lebih menarik lagi bagikalangan generasi muda artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang serba ingin tahu.
Masyarakat sekarang artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang tinggal di era global ini sudah tidak bisa menyembunyian dirinya lagi. Kemanapun ia pergi pasti dikejar. Persoalanya bagaimanakah langkah-langkah strategis pendidikan agama dan moral dalam situasi artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang demikian itu. Uraian dibawah ini akan mencoba menjawabnya.

  • Pertama, pendidikan moral dapat dilakukan dengan memantapkan pelaksanaan pendidikan agama, karena sebagaimanatelah diuraikan diatas, bahwa nilai-nilai dan ajaran agama p artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id ada akhirnya ditujukan untuk membentuk moral artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang baik.
  • Kedua, pendidikan agama artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang dapat menghasilkan perbaikan moral harus dirobah dari model pengajaran agama kep artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id ada pendidikan agama. Pengajaran agama dapat berarti transfer of religion knowledge mengalihkan pengetahuan agama atau mengisi anak dengan penetahuan tentang agama, sedangkan pendidikan agama dapat berarti mambina dan mewujudkan prilaku manusia artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang sesuai dengan tuntutan agama, sedangkan pendidikan agama dapat dilakukan dengan membiasakan anak berbuat artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang baik dan sopan santun tentang berbagai hal mulai sejak kecil sampai dewasa. Seorang anak dibiasakan makan, minum, tidur, berjalan, berbicara, berhubungan dengan orang sesuai ketentuan agama. Ketika makan dan minum dibiasakan memakan makanan dan meminum minuman artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang halal, baik dan sehat, cara makan artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang baik, bardo’a sebelum dan sesu artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id adah makan dan seterusnya. Ketika tidur dibiasakan cara tidur artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang baik, berdo’a sebelum dan sesudah bangun tidur. Ketika berjalan dibiasakan cara berjalan artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang baik, berdo’a ketika akan bepergian dan ketika sampai p artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id ada tujuan. Selanjutnya ketika berbicara dibiasakan berbicara artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang baik, apa artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang boleh dibicarakan bersikap baik dan sopan kep artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id ada lawan bicara artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang berbeda-beda tingkatanya. Ketika bergaul dengan orang lain dibiasakan juga sikap rendah hati, tawdlu, dan bersahabat dengan orang lain. Selanjutnya dibiasakan juga bersikap jujur, adil, konsekuen, ikhlas, pema’af, sabar, berbaik sangka dan sebagainya dalam berbagai aspek kehidupan.
  • Ketiga, pendidikan moral, dapat dilakuan dengan pendekatan artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang bersifat intregrated, yaitu dengan melibatkan seluruh disiplin ilmu pengetahuan. Pendidikan moral bukan hanya terdapat dalam pendidikan agama saja, melainkan juga terdapat p artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id ada pelajaran bahasa, logika, matematika, fisika, biaologi, sejarah dan sebagainya. Pelajaran bahasa misalnya melatih dan mendidik manusia agar berbicara artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang lurus. Pelajaran manthiq (logika) mendidik manusai agar berfikir artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yanglurus. Pelajaran matematika mendidik manusaia berpikir artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang sistimatik dan logis, obyektif, jujur, ulet dan tekun. Pelajaran fisika mendidik manusia agar mensyukuri nikmat- nikmat Tuhan artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang terdapat p artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id ada ciptaan-Nya. Pelajaran biologi mendidik manusia agar bekerja teratur. Dan pelajaran sejarah mendidik manusia agar selalu berpihak kep artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id ada kebenaran.
  • Keempat, sejalan dengan cara artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang ketiga terebut diatas, pendidikan moral harus melibatkan seluru guru. Pendidikan moral bukan hanya menjadi tangung jawab guru agama seperti artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang selama ini ditentukan, melainkan menjadi tanggung jawab seluruh guru.
  • Kelima, pendidikan moral harus didukung oleh kemauan, kerjasama artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang kompak danusaha artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang sungguh-sungguh dari keluarga / rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Orang tua dirumah harus meningkatkan perhatianya terh artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id adap anak-anaknya, dengan meluangkan waktu untuk memberi bimbingan, tel artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id adan dan pembiasaan artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang baik. Orang tua harus berupaya menciptakan rumahtangga artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang harmonis, tenang dan tentram sehingga si anak merasa tenang jiwanya dan dengan mudah dapat diarahkan kep artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id ada hal-hal artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang positif. Sekolah jug harus berupya menciptakan lingkungan artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang bernuansa religius, seperti membiasakan solat berjama’ah, menegakan disiplin dalam keberesiahan, ketertiban, kejujuran, tolong-menolong, sehingga nilai-nilai agama menjadi kebiasaan, tradisi atau budaya seluruh siswa. Sikap dan prilaku guru artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang kurang dapat ditel artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id adani atau menyimpang hendaknya tidak segan-segan diambil tindakan. Semantara itu masyarakat juga harus berupaya menciptakan lingkungan artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang kondusif bagi pementukan akhlak, seperti membiasakan solat berjama’ah, gotong royong, kerja bakti, memelihara ketertiban dan keberesihan, menjauhi hal-hal artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id yang dapat merusak moral, ikut serta mengawasi dan mengambil tindakan terh artikel ini disalin dari website http://blog.tp.ac.id adap para pengedar peredaran obat-obat terlarang. Gambar-gambar porno, perkumpulan perjudian, dan sebagainya. Masyarakat harus membantu menyiapkan tempat bagi kepentingan pengembangan bakat, hobi dan keterampilan para remaja, seperti lapangan olah raga, balai-balai latihan, dan sebagainya.
  • Keenam, pendidikan moral harus menggunakan seluruh kesempatan, berbagai sarana termasuk teknologi modern. Kesempatan berkreasi, pameran, kunjungan, berkemah dan sebagainya harus digunakan sebagai peluang untuk membina moral. Demikian pula berbagai sarana seperti masjid, mushala, lembaga-lembaga pendidikan, surat kabar, majalah, radio, televisi, intrnet dan sebagainya dapat digunakan untuk membina moral.









Langkah Strategis Merumuskan Pendidikan Karakter

05 Jun
Peliknya problem bangsa ini mengisyaratkan bahwa untuk memulihkannya membutuhkan energi yang besar yang disertai visi yang mampu membawa nilai-nilai etika dan moralitas sebagai jiwa bangsa. Nah, karena itulah, salah satu lahan persemaian nilai-nilai etika dan moralitas bermula dari dunia pendidikan.
Dunia pendidikan yang tentunya mengajarkan aspek nilai bukan pengetahuan belaka. Dunia pendidikan yang menempa peserta didik untuk berlaku jujur dan percaya diri dengan kapasitasnya. Dunia pendidikan yang melahirkan pribadi-pribadi unggul, bermoral dan berakhlak.
Menurut Thomas Lickona Pendidikan karakter yang baik, harus melibatkan bukan saja aspek “pengetahuan yang baik” (moral knowing), tetapi juga “merasakan dengan baik” atau loving the good” (moral feeling), dan “perilaku yang baik” (moral action). Artinya, Pendidikan karakter adalah perangkat pengajaran yang membawahi berbagai aspek yang menyangkut pengendalian emosi, pengembangan kognisi, pendidikan moral dan etika, pendidikan keterampilan hidup.
Secara lebih gamblang pendidikan karakter harus mampu menyentuh pilar yang saling kait-mengait, yaitu: responsibility (tanggung jawab); respect (rasa hormat); fairness (keadilan); courage  (keberanian);  honesty (kejujuran); citizenship (kewarganegaraan); self-discipline (disiplin diri); caring (peduli), dan perseverance (ketekunan). Karena begitu pentingnya pendidikan karakter. Tugas pembentukan karakter tidak hanya dibebankan pada satu mata pelajaran khusus.
Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah yang sistematis agar pendidikan karakter terintegrasi dalam skala yang luas. Langkah pertama adalah dengan melakukan internalisasi melalui setiap matapelajaran dalam kegiatan belajar mengajar. Artinya, pembentukan karakter mutlak menjadi tanggung jawab seluruh guru mata pelajaran. Pendidikan karakter tidak perlu ditempatkan dalam sudut tertentu yang seolah memberikan kemewahan tersendiri.
Langkah kedua, melakukan pembiasaan dalam sekolah melalui pertautan antara pengetahuan moral dengan perilaku aktual. Pemberlakuan kantin kejujuran bisa jadi sebuah contoh bagaimana siswa menerapkan nilai-nilai kejujuran. Selain itu pentingnya agar seluruh guru dan perangkat dari sekolah untuk menjadi tauladan dalam membentuk karakter siswa. Peran ketauladan sangat penting untuk menularkan contoh pada siswa.
Langkah ketigaagar pendidikan karakter dapat menjadi panduan bagi peserta didik dalam mengarungi kehidupan nyata adalah peran keluarga dan orang tua. Kondusifnya situasi keluarga akan sangat mempengaruhi watak kepribadian seorang anak. Hal ini dikarenakan keluarga merupakan tempat pertama dan utama dalam pendidikan. Dalam keluargalah penanaman nilai, moral dan akhlak untuk pertamakali dikenalkan.
Dalam keluarga pendidikan akan tumbuh dari sikap saling asuh dan kasih sayang yang ditunjukkan orang tua pada anak. Oleh karena itu, tidak salah bila menyebut keluarga merupakan lahan subur pengembangan mental dalam membangun pribadi yang utuh. (*)

·  Beberapa metode pendidikan moral menurut muhammad Quthb diantaranya adalah sebagai berikut :
  1. Metode nasihat. Metode nasihat adalah memberikan masukan kepada anak mana yang baik an mana yang buruk. Jika anak membuat kesalahan orang tua akan memberikan peringatan agar anak tidak salah menentukan sikap.
  2. Metode hukuman. Metode hukuman adalah pemberian hukuman pada anak apabila anak melakukan kesalahan dengan tujuan anak tidak melakukan kesalahan lagi (IAIN Walisongo, 2004:126).
·  Sedangkan menurut Abdurrahman an Nahlawi metode ditambah sebagai berikut:
  1. ·  Metode pembiasaan diri dan pengalaman. Metode pembiasaan diri dan pengalaman ini penting untuk diterapkan, karena pembentukan moral anak tidaklah cukup nyata dan pembiasaan diri sejak usia dini. Untuk terbiasa hidup teratur, disiplin dan sebagainya.
  2. Metode pengambilan pelajaran dan peringatan. Betapapun usaha pendidikan dilakukan jika anak tidak mengetahui akibat positif atau negatif maka pendidikan kurang bermakna. Anak jika mengerjakan kebaikan maka akan merasa senang dan anak yang melakukan kejelekan pasti akan merasa sedih.
  3. Metode targhib dan tarhid. Metode yang dapat membuat senang dan takut. Dengan metode ini kebaikan dan keburukan yang disampaikan kepada seseorang dapat mempengaruhi dirinya agar terdorong untuk berbuat baik.

Dalam penelitian ini memang lebih disorot pada pendidikan moral pada keluarga single parent walaupun hanya ada orang tua tunggal tetapi harus bisa berperan ekstra dalam pemberian contoh yang baik pada anak, sehingga anak akan menyerap moralitas orang tua yang baik lewat sikapnya setiap hari saat bersama anak. Beberapa metode ini akan sangat membantu para orang tua single untuk lebih memperhatikan pendidikan moral anak. Karena metode yang sesuai pada anak akan lebih membantu penyerapan pendidikan pada anak yang akan terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari.
Orang tua tunggal bisa dikarenakan perceraian atau salah satu ada yang meninggal, sehingga memaksa istri atau suami untuk bertugas sendiri dalam mendidik anak, dalam keluarga single parent memiliki serangkaian masalah yang tidak sama dengan keluarga yang utuh. Hal ini kita kembalikan pada fungsi keluarga yaitu memaksimalkan peran orang tua dalam pembentukan kepribadian, potensi dan moral pada anak. Karena sesungguhnya anak dilahirkan dalam keadaan fitrah dan membawa potensi masing-masing, tugas orang tua adalah memberikan kebaikan pada anak sehingga anak juga akan terbentuk menjadi anak yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar