Sabtu, 03 Maret 2012

Memasuki tahun 2012 ini, Indonesia masih memiliki banyak “pekerjaan rumah” yang harus segera dirampungkan. Kasuskasus seperti korupsi di kalangan elite politik, tawuran antarpelajar,kriminalitas di angkutan umum, ataupun tragedi berdarah di Mesuji dan Bima baru-baru ini,semuanya itu terjadi tak lepas karena minimnya pendidikan moral di negeri ini.
Pendidikan moral sangat erat kaitannya dengan pembangunan bangsa.Pendidikan, tulis pedagog Jerman FW Foerster (1869–1966), bertujuan membentuk karakter (moral) yang terwujud dalam kesatuan esensial si subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, moral merupakan sesuatu yang mengualifikasi seseorang supaya tumbuh menjadi manusia yang bermartabat, mampu membedakan salah dan benar.
Hemat penulis, ada tiga elemen penting yang memiliki peran mendasar dalam membangun pendidikan moral. Pertama, pada lingkup terkecil,yakni keluarga.Keluarga merupakan lingkungan yang paling dekat dengan anak dan sudah pasti memiliki pengaruh besar dalam proses pembentukan moral. Dalam ajaran Islam disebutkan,keluarga bertanggung jawab atas pendidikan moral.
“Wahai orang-orang yang beriman,jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”(QS Attahrim/ 66:6). Kedua, pada lingkup agak luas, para ulama, kaum pendidik, serta cendekiawan juga sangat berperan dalam membangun pendidikan moral.Mereka adalah cermin bagi masyarakat.Apa yang mereka lakukan sejatinya akan cenderung ditiru dan dipraktikkan oleh masyarakat.
Keteladanan dan sikap etis harus selalu dipraktikkan bagi mereka,apalagi bagi para kaum pendidik. Ketiga, pada lingkungan yang lebih luas, yakni negara, yang bertanggung jawab atas pembinaan moral ini adalah pemerintah. Seorang pemimpin harus bisa menjadi teladan bagi segenap rakyatnya. Artinya, moral mulia sudah selayaknya terpancar dalam diri seorang pemimpin (umara).
Semoga upaya tersebut benar-benar terwujud, sehingga mampu menciptakan generasi Indonesia yang tidak hanya pintar secara intelektual, tetapi juga bermoral. Ini sebagaimana dikatakan Syauqi Beik dalam kata-kata hikmahnya, “Sesungguhnya umat dan bangsa itu sangat bergantung pada moralnya,jika baik,maka akan kuat bangsa itu,dan jika rusak maka akan hancurlah bangsa itu.” (Sumber: Seputar Indonesia, 7 Januari 2012).


 KabarIndonesia - Akhir-akhir ini banyak masyarakat yang memandang bahwa proses pendidikan kita telah gagal menanamkan nilai-nilai moral pada setiap siswa. Asumsi ini muncul setelah kita menyaksikan begitu banyaknya siswa yang kurang memiliki moral yang sesuai dengan pandangan hidup masyarakat kita. Pendidikan moral merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pendidikan.

Terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan pendidikan moral, yakni:

1.  Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang bersentuhan langsung dengan perkembangan moral anak. Pendidikan karakter adalah proses mengajari anak dengan pengetahuan moral dasar untuk mencegah mereka melakukan tindakan-tindakan yang tidak bermoral yang membahayakan orang lain dan membahayakan dirinya sendiri seperti perilaku berbohong, menipu dan mencuri. dengan adanya proses pendidikan ini peserta didik dapat memahami bahwa perilaku tersebut merupakan perilaku yang keliru. Menurut pendidikan karakter setiap sekolah harus memiliki aturan moral yang kemudian dikomunikasikan dengan jelas kepada seluruh siswa. Setiap pelanggaran terhadap aturan harus dikenai sanksi sesuai dengan kesepakatan.

2.  Klarifikasi nilai adalah proses memberikan bantuan kepada setiap anak untuk memahami dan menyadari untuk apa hidup serta mengklarifikasi bentuk-bentuk perilaku apa yang layak dikerjakan. Dalam pendekatan ini, anak didorong untuk mendefinisikan nilai dari mereka sendiri dan memahami nilai diri orang lain.

3.  Pendidikan moral kognitif adalah pendekatan yang didasarkan pada keyakinan bahwa murid harus mempelajari hal-hal seperti demokrasi dan keadilan saat moral mereka sedang berkembang (santrock, 2007). Teori Kohlberg banyak mendasari pendidikan moral kognitif yakni menyadari bahwa atmosfer moral di sekolah sangat berpengaruh terhadap perkembangan moral anak. Dengan kata lain, iklim sekolah dalam pendidikan moral akan menentukan keberhasilan pendidikan moral.

Beberapa hal yang dapat membantu perkembangan moral anak dalam proses pendidikan di sekolah seperti yang dikemukakan Honig dan Wittmer (1996), adalah sebagai berikut:

a.  Hargai dan tekankan konsiderasi kebutuhan orang lain. Ini akan mendorong siswa untuk lebih terlibat dalam aktivitas membantu orang lain.

b.  Jadilah contoh perilaku prososial. Siswa meniru apa yang dilakukan guru. Misalnya, tindakan guru yang menghibur saat siswa stress kemungkinan akan ditiru oleh siswa lainnya. Ketika guru mengomeli semua siswa sambil berteriak-teriak, mereka kemungkinan akan menirunya dengan meneriaki teman-temannya.

c.   Berilah label dan identifikasi perilaku prososial dan perilaku antisosial. Artinya ketika siswa melakukan perilaku yang positif, jangan hanya mengatakan "bagus" saja, akan tetapi tunjukkan perilaku apa yang positif yang ditunjukkan siswa tersebut.

d.  Bantu siswa untuk menentukan sikap dan memahami perasaan orang lain.

e.  Kembangkan proyek kelas dan sekolah yang dapat meningkatkan alturisme. Bantulah siswa untuk menyusun dan mengembangkan proyek yang dapat membantu orang lain. Proyek ini mungkin berupa kegiatan membersihkan halaman sekolah, menulis surat pada anak yang sedang berada didaerah konflik, mengumpulkan mainan dan makanan untuk anak yang membutuhkan dan lain sebagainya.

Dengan demikian, guru yang berperan sebagai fasilitator dapat memenuhi kebutuhan dan motivasi siswanya semaksimal mungkin sehingga peserta didik mampu mengikuti proses pendidikannya sebaik mungkin. Dengan hal ini tentunya akan menumbuhkan moral yang baik dan sesuai dengan pandangan hidup masyarakat. (*)




Moral dan Manusia
Manusia tidak bisa lepas dari kata moral, karena hanya manusia yang mempunyai kesadaran untuk berbuat baik atau buruk. Masalah moral harus diperhatikan setiap orang di negeri ini, karena baik buruknya moral setiap pribadi menentukan kualitas suatu bangsa. Arus globalisasi dan modernisasi membuat generasi muda hanyut dalam gaya hidup dan sikap individualis, acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar dan tidak peduli dengan tanggung jawab moral. Tidaklah adil jika kemerosotan moral hanya ditimpakan sepenuhnya pada generasi muda. Hal demikian yang menimpa generasi muda merupakan korban kelalaian orang dewasa yang selalu berkonsentrasi pada urusan duniawi yang tiada habis-habisnya, padahal orang dewasa atau generasi tua sering dijadikan teladan oleh anak-anaknya.
Konsep Pemikiran Moral dalam Perspektif Sejarah
Diruntut dari sejarahnya, masalah moral telah lama menjadi masalah hidup manusia. Sebuah museum di Konstantinopel memiliki koleksi benda kuno berupa lempengan tanah liat yang berasal dari tahun 3800 SM. Lempengan itu bertuliskan We haven fallen upon evil times and the world has waxed very old and wicked. Politics are very corrupt. Children are longer respectful to their parents. Makna yang terkandung dari tulisan tersebut bahwa ketika itu masyarakat mengalami zaman gila dan dunia telah diliputi kemiskinan dan kejahatan. Politik sangat korupsi. Anak-anak sama sekali tidak hormat kepada orang tuanya (Cahyoto, 2002). Menurut beberapa pakar sejarah, tanah liat itu berasal dari zaman Babilonia. Memperhatikan aspek politik yang disebut-sebut itu menunjukan bahwa sistem pemerintahan negara kurang baik, sehingga mengakibatkan kesengsaraan bagi rakyatnya. Pendidikan moral juga sudah lama dipermasalahkan. Pertanyaan Meno kepada Socrates mungkin bisa menjadi contoh. Ketika Meno bertanya apakah moral itu bisa diajarkan? atau hanya bisa dicapai melalui praktik kehidupan sehari-hari? seandainya melalui pengajaran dan praktek tidak bisa dicapai, apakah nilai moral bisa dicapai secara alamiah? atau dengan cara lain?. Pertanyaan Meno sampai sekarang masih menjadi bahan perdebatan dikalangan ahli filsafat moral dan psikologi (Nurul Zuriah, 2007: 20). Apabila dikaitkan dengan keadaan masa kini, pertanyaan tersebut pada masa sekarang bisa dirumuskan menjadi: apakah pendidikan moral diartikan dengan pendidikan tentang moral, atau apakah moral dimaksudkan agar manusia belajar menjadi manusia yang bermoral?. Tanggung jawab moral memang menjadi tanggung jawab seluruh elemen masyarakat. Pemerintah, masyarakat, bahkan orang tua di rumah juga bertanggung jawab atas perkembangan moral generasi muda.
Makna Pendidikan Moral
Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukan bahwa perbuatan itu benar atau salah dan baik atau buruk. Moralitas mencakup pengertian tentang baik buruknya perbuatan manusia. Pendidikan moral bertujuan untuk mengembangkan pola perilaku seseorang sesuai dengan kehendak masyarakatnya. Kehendak ini berwujud moralitas atau kesusilaan yang berisi nilai-nilai dan kehidupan yang berada dalam masyarakat. Dengan demikian dalam pendidikan moral menyangkut dua aspek, yaitu nilai-nilai dan kehidupan nyata.
Menanamkan Pendidikan Moral Ibarat Orang Mandi
Penanaman moral yang paling efektif adalah dengan keteladanan. Ibarat orang yang sedang mandi, pasti akan menyiram dengan memulai dari bagian atas untuk selanjutnya ke bagian bawah. Dimulai dengan mengambil air segayung atau dengan selang yang disemprotkan ke bagian rambut, wajah, leher, badan, pinggul dan selanjutnya ke bagian bawah hingga kaki. Menyemprotkan dari atas ke bawah akan membuat mandi seseorang lebih efektif dan efisien, karena air yang jatuh dari atas bisa juga membasahi bagian bawahnya. Air yang sudah membersihkan bagian atas, dapat mengalir dan membersihkan bagian yang bawah pula. Berbanding terbalik jika kita melakukannya dari bawah. Menyiram dari bawah hanya membersihkan bagian yang bawah saja, sementara bagian yang atas sedikit mendapatkan air yang disiramkan dari bagian bawah. Cara kedua ini tidak efektif dan tidak efisien, karena bisa menghabiskan banyak air untuk membersihkan bagian bawah sampai ke bagian atas.
Perumpamaan di atas jika diterapkan dalam penanaman moral, maka semua harus dimulai dari atas untuk selanjutnya mengalir ke bawah. Contoh sederhananya penanaman moral lebih efektif jika seorang pemimpin memberikan keteladanan moral kepada yang dipimpin, seorang atasan memberikan keteladanan moral kepada bawahan, seorang guru memberikan keteladanan moral kepada muridnya, serta orang tua memberikan keteladanan moral kepada anak-anaknya. Dengan demikian proses penanaman moral akan berjalan lebih efektif dan efisien. Bandingkan jika semua dimulai dari bawah. Seorang bawahan selalu dituntut untuk berbuat baik, namun atasannya tidak pernah menghormati bawahannya. Bagaimana mungkin seorang anak menghargai orang tuanya, jika orang tuanya selalu berkata kasar dihadapan anaknya. Bagaimana mungkin rakyat menjadi madani, jika para pemimpinnya korupsi. Penanaman moral harus dimulai dari atas. Seperti Tuhan yang sudah mencontohkan dan memulai segalanya dengan kesempurnaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar