Selasa, 01 Mei 2012

mts e

PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM PADA MASA BANI UMAYYAH I ( DAMASKUS )


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Daulah Bani Umayah yang ibukota pemerintahannya terletak di Damaskus, berlangsung selama lebih kurang 91 tahun diperintah oleh 14 orang khalifah. Kejayaan Bani Umayah dimulai pada masa Abdul Malik dan berakhir pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Sepeninggal Umar, kekhalifahan mulai melemah dan akhirnya tumbang. Penyebabnya adalah para khalifah lebih mengutamakan kepentingan pribadi dari pada kepentingan umum. Walaupun demikian, kemajuan-kemajuan di bidang arsitektur, kesenian dan perdagangan berhasil dicapai pada masa Bani Umayah.
Tentunya sangat menarik dalam mengkaji dinamika khilafah Bani Umayah ini. Sebab selain khilafah ini berada pada masa transisi, berbagai intrik menarik terjadi di zaman ini. Mulai dari banyaknya khalifah yang tidak berpihak pada rakyat sampai pembunuhan Husein bin Ali di Karbala. Semoga dengan mengkaji perkembangan Islam pada kurun ini akan memperkaya wacana kita terutama dalam hal politik Islam.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dibahas di sini adalah:
1.       

C.     Landasan Masalah
Makalah ini didasarkan dari buku-buku yang mempelajari tentang Sejarah Peradaban Islam dan khususnya mengenai perkembangan peradaban Islam pada Masa Bani Umayah I ( Damaskus ).


BAB II
PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM
PADA MASA BANI UMAYYAH I ( DAMASKUS )

A.     Situasi Sosial Dan Dinamika Politik Sepeninggal Khalifah Ali
Pada saat ‘Ali r.a. menjabat sebagai khalifah, banyak terjadi pemberontakan. Diantaranya dari Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (yang pada saat itu menjabat sebagai gubernur di Damaskus, Siria) dan didukung oleh sejumlah mantan pejabat tinggi yang telah dipecat ‘Ali r.a. Disini timbul indikasi fitnah atau perang saudara karena Mu’awiyah menuntut balas bagi Utsman (keponakannya) dan atas kebijaksanaan-kebijaksanaan ‘Ali. 
Tatkala ‘Ali beserta pasukannya bertolak dari Kuffah menuju Siria, mereka bertemu dengan pasukan Mu’awiyah di tepi sungai Eufrat atas, Shiffin (657).1 Terjadi lah perang yang disebut perang Shiffin. Perang ini tidak wajar sehingga terjadi kebuntuan yang akhirnya mengarah pada tahkim atau arbitrase. Dalam majlis tahkim ini ada dua mediator atau penengah. Mediator dari pihak Ali adalah Abu Musa al-Asy’ari (gubernur Kuffah), sedangkan mediator dari pihak Mu’awiyah adalah ‘Amr ibn al-Ash. Namun tahkim pun tetap tidak menyelesaikan masalah.
Menurut Ibnu Khaldun, setelah fitnah antara ‘Ali - Mu’awiyah, jalan yang ditempuh adalah jalan kebenaran dan ijtihad. Mereka berperang bukan untuk menyebar kebatilan atau menimbulkan kebencian, tapi sebatas perbedaan dalam ijtihad dan masing-masing menyalahkan hingga timbul perang. Walaupun yang benar adalah ‘Ali, Mu’awiyah tidak melakukan tindakan berlandaskan kebatilan, tetapi orientasinya dalam kebenaran.
Partai ‘Ali terpecah menjadi dua golongan, yaitu Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan ‘Ali sekaligus menentang tahkim) dan Syi’ah (para pengikut setia ‘Ali). Sementara itu, Mu’awiyah melakukan strategi dengan menaklukkan Mesir dan mengangkat ‘Amr ibn al-Ash sebagai khalifah di sana.
Jadi, di akhir masa pemerintahan ‘Ali, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik; Mu’awiyah, Syi’ah, dan Khawarij.2 Kemunculan Khawarij semakin memperlemah partai ‘Ali, di sisi lain Mu’awiyah semakin kuat. Mu’awiyah memproklamirkan dirinya sebagai khalifah di Yerusalem (660). Kemudian ‘Ali wafat karena dibunuh oleh Ibn Muljam, salah seorang anggota Khawarij (661).
Lalu, kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya (Hasan bin Ali) selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan ternyata sangat lemah, sementara pengaruh Muawiyah semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai. Syarat-syarat yang diajukan Hasan dalam perjanjian tersebut adalah :
1.       Agar Mu’awiyah tidak menaruh dendam terhadap seorangpun dari penduduk Irak.
2.       Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka.
3.       Agar pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepadanya dan diberikan tiap tahun.
4.       Agar Mu’awiyah membayar kepada saudaranya, yaitu Husain, dua juta dirham.
5.       Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pemberian kepada Bani Abdi Syams.4
Perjanjian itu berhasil mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah pimpinan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Dengan kata lain, Hasan telah menjual haknya sebagai khalifah kepada Mu’awiyah. Akibat perjanjian itu menyebabkan Mu’awiyah menjadi penguasa absolut (otoriter). Naiknya Mu’awiyah menjadi khalifah pada awalnya tidak melalui forum pembai’atan yang bebas dari semua umat. Mu’awiyah dibai’at pertama kali oleh penduduk Syam karena memang berada di bawah kekuasaannya, kemudian ia dibai’at oleh umat secara keseluruhan setelah tahun persatuan atau ‘am jama’ah (661). Pembai’atan tersebut tidak lain hanyalah sebuah pengakuan terpaksa terhadap realita dan dalam upaya menjaga kesatuan umat. Maka, di sini telah masuk unsur kekuatan dan keterpaksaan menggantikan musyawarah. Karenanya dapat dikatakan bahwa telah terjadi perceraian antara idealisme dan realita.5
Dengan demikian telah berakhirlah masa Khulafa’ur Rasyidin dan dimulailah kekuasaan Bani Umayah dalam sejarah politik Islam.

B.     Kelahiran Bani Umayah
Umayah adalah salah satu putra ”Abdi Syam ibn Abdi Manaf” yang merupakan bangsawan arab yang sangat terkenal karena memimpin kabilah Quraisy di zaman jahiliyah, Umayah selalu bersaing dengan pamannya Hasyim ibn Abdi Manaf dalam memperebutkan pimpinan dan kehormatan pada masyarakat dan bangsanya. Dalam persaingan ini keluarga Umayah lebih unggul karena secara adat, masa itu ia memiliki persyaratan cukup sebagai pimpinan Quraisy.
Sesudah Islam datang, persaingan antara Bani Umayah dan Bani Hasyim mengarah pada persaingan yang bersifat konfrontasi (permusuhan). Dua keluarga ini berpegang teguh pada fahamnya yang bertentangan. Keluarga Bani Hasyim adalah pendukung Rasulullah sedangkan keluarga Umayah menentang Rasulullah kecuali Usman bin Affan RA.
Dari silsilah di bawah ini dapat dilihat hubungan yang erat antasa Rasulullah dengan keluarga Bani Umayah yang bersatu dalam silsilah Abdul Manaf.
 Image[1]

C.     Pengangkatan Yazid Dan Perubahan Sistem Pemerintahan
Sistem kekhalifahan mengalami perubahan baru, yaitu sistem monarki (kerajaan) atau monarchiheredetis (kerajaan turun menurun). Suksesi kepemimpinan seperti ini terjadi ketika Mu’awiyah menitahkan untuk mewariskan jabatan kekhalifahan kepada anaknya, Yazid ibn Mu’awiyah. Maka mulai masuk prinsip warisan jabatan dalam sistem kekhalifahan.
Ide awal pewarisan kekhalifahan ini sebenarnya berasal dari al-Mughirah ibn Syu’bah (gubernur Kufah). Ia menyarankan agar Mu’awiyah mengangkat Yazid. Kemudian Mu’awiyah mengikuti saran al-Mughirah karena beberapa alasan yang menurutnya kuat, meski harus mengabaikan saran Ziyad (gubernur Bashra).
Mu’awiyah mempunyai beberapa alasan mengenai pengangkatan Yazid, yaitu: Pertama, Yazid adalah satu-satunya orang yang bisa diterima orang-orang Siria, karena apabila dari keluarga lain akan membawa ke dalam keluarga dan marganya sesuatu yang mengganggu keseimbangan kekuatan-kekuatan rawan yang telah dikembangkan oleh Mu’awiyah. Latar belakang pengangkatan Yazid sebagai putra mahkota dan bukan yang lainnya adalah untuk menjaga kemashlahatan rakyat dalam kesatuan dan kebersatuan aspirasi mereka, dengan kesepakatan Bani Umayyah. Alasannya bahwa Bani Umayyah tidak rela bila khalifah bukan dari kalangan dalam mereka dalam kapasitas mereka sebagai elit masyarakat Quraisy dan para penganut Islam secara keseluruhan, sekaligus kelompok yang paling berkuasa diantara mereka. Kedua, faktor usia Mu’awiyah yang sudah tua mendesaknya untuk cepat memilih siapa penggantinya. Ketiga, Mu’awiyah khawatir akan terjadi fitnah sebagaimana fitnah petumpahan darah sejak kematian Khalifah Utsman.
Atas dasar itu, Mu’awiyah meminta dikirimkan delegasi-delegasi dari kota-kota besar. Kemudian delegasi yang datang dari kota Bashra, Kufah, dan Madinah berkumpul dalam sebuah konferensi yang pada akhirnya mereka sepakat mendukung pembai’atan Yazid.
Yang perlu dikritisi di sini ialah Mu’awiyah telah membuat tradisi baru yang mengubah karakter sistem pemerintahan dalam Islam. Sistem warisan telah menggantikan posisi sistem permusyawaratan, dan hal itu nampaknya berdampak abadi dalam sejarah.
Deklarasi pengangkatan Yazid bin Muawiyah sebagai putra mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat. Akibatnya terjadi perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan. Dalam hal ini Abdurrahman bin Abu Bakar berpendapat bahwa pengangkatan ini tak ubahnya sebuah heracliusisme, yaitu ketika seorang heraclius meninggal akan digantikan oleh heraclius yang lain. Pelanggaran terhadap perjanjian yang disepakati antara Hasan bin Ali dan Muawiyah telah terjadi dalam hal ini. Sebab dalam perjanjian itu disebutkan bahwa persoalan penggantian pemimpin setelah Muawiyah diserahkan kepada umat Islam.
Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid kemudian mengirim surat kepada Gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein bin Ali dan Abdullah bin Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi’ah (pengikut Ali) melakukan konsolidasi kekuatan kembali. Perlawanan pertama dimulai oleh Husein bin Ali. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Makkah ke Kufah atas permintaan golongan Syi’ah yang ada di Irak. Sedangkan umat Islam di daerah ini tidak mengakui Yazid. Dan mereka mengangkat Husein sebagai khalifah. Dalam sebuah pertempuran tidak seimbang di Karbala, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala.
Pemerintahan Yazid tak henti menuai pemberotakan. Puncaknya ketika Abdullah bin Zubair dan gerakan oposisinya yang dibina di Makkah menyatakan menolak sumpah setia terhadap Yazid. Tentara Yazid kemudian mengepung Makkah. Dua pasukan bertemu dan pertempuran tak dapat dihindarkan. Namun, pertempuran itu terhenti karena Yazid wafat.

D. Perkembangan Dan Kemajuan Peradaban Islam Pada Masa Bani Umayah
Pemindahan ibukota dari Madinah ke Damaskus melambangkan zaman imperium baru dengan menggesernya untuk selama-lamanya dari pusat Arabia, yakni Madinah yang merupakan pusat agama dan politik kepada sebuah kota yang kosmopolitan. Dari kota inilah daulat Umayyah melanjutkan ekspansi kekuasaan Islam dan mengembangkan pemerintahan sentral yang kuat, yaitu sebuah imperium Arab.6
Ekspansi yang berhasil dilakukan pada masa Mu’awiyah antara lain ke wilayah-wilayah: Tunisia, Khurasan sampai ke sungai Oxus, Afganistan sampai ke Kabul, serangan ke ibukota Bizantium (Konstantinopel). Kemudian ekspansi ke timur dilanjutkan oleh khalifah Abdul Malik yang berhasil menaklukkan Balkh, Sind, Khawarizm, Fergana, Samarkand, dan India. Ekspansi ke barat dilanjutkan pada masa al-Walid ibn Abdul Malik dengan mengadakan ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju barat daya, benua Eropa. Wilayah lainnya yang berhasil ditaklukan adalah al-Jazair, Maroko, ibukota Spanyol (Cordova), Seville, Elvira, dan Toledo. Di zaman Umar ibn Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Perancis. Selain itu, wilayah kekuasaan Islam meliputi Spanyol, Afrika Utara, Siria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, dan sebagian Asia Tengah.
Jasa-jasa dalam pembangunan di berbagai bidang banyak dilakukan Bani Umayyah. Mu’awiyah mendirikan dinas pos, menertibkan angkatan bersenjata, mencetak mata uang, dan jabatan Qadhi (hakim) mulai berkembang menjadi profesi sendiri. Abdul Malik ibn Marwan adalah khaifah yang pertama kali membuat mata uang dinar dan menuliskan di atasnya ayat-ayat al-Qur’an.7 Ia juga melakukan pembenahan administrasi pemrintahan dan mmberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Pada masa khalifah Al-Walid ibn Abdul Malik di bangun panti-panti untuk orang cacat, membangun jalan-jalan raya, pabrik-pabrik, gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah. Khalifah Umar ibn Abdul Aziz memprioritaskan pembangunan dalam negeri, keberhasilannya antara lain ialah menjalin hubungan baik dengan golongan Syi’ah, memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya, pungutan pajak diperingan, dan kedudukan mawali (non Arab) disejajarkan dengan muslim Arab. Dengan keberhasilan dan keteladanannya, maka Umar ibn Abdul Aziz sering disebut-sebut sebagai khalifah kelima setelah Ali ibn Abi Thalib. Di bidang keilmuan atau pendidikan, cakupan keilmuannya tentang teologi dan keagamaan, misalnya legalisasi penyusunan al-Qur’an pada masa Utsman yang telah disusun oleh Abu Bakar. Di bidang kesastraan, muncul para penyair terkenal, seperti Umar ibn Abi Rabi’ah, Tuwais, Ibnu Suraih, dan Al-Garidh.
Selain itu, jenis atau pola pemerintahan terdahulu mulai berubah sejak zaman Mu’awiyah. Mu’awiyah bermaksud mengikuti gaya pemerintahan monarki di Persia dan Bizantium. Ia tetap memakai istilah khalifah, namun memberi interprestasi baru. Ia menyebut dirinya “khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah. Menurut beberapa ahli sejarah, pola pemerintahan yang dipakai pada masa Bani Umayyah adalah Otokrasi.8 Walaupun telah berbentuk kerajaan, Bani Umayyah tetap membuktikan eksistensinya dengan terus membuat kemajuan-kemajuan.
Pada masa Bani Umayah beberapa kemajuan di berbagai sektor berhasil dicapai. Antara lain dibidang arsitektur, perdagangan, organisasi militer dan seni.
1.      Arsitektur
Pada masa Bani Umayah bidang arsitektur maju pesat. Terlihat dari bangunan-bangunan artistik serta masjid-masjid yang memenuhi kota. Kota lama pun dibangun menjadi kota modern. Mereka memadukan gaya Persia dengan nuansa Islam yang kental di setiap bangunannya.
Adapun pada masa Walid dibangun sebuah masjid agung yang terkenal dengan sebutan Masjid Damaskus yang diarsiteki oleh Abu Ubaidah bin Jarrah. Sedangkan kota baru yang dibangun di zaman ini adalah Kota Kairawan. Didirikan oleh Uqbah bin Nafi ketika dia menjabat sebagai gubernur.
2.      Organisasi militer
Di zaman ini militer dikelompokkan menjadi 3 angkatan. Yaitu angkatan darat (al-jund), angkatan laut (al-bahiriyah) dan angkatan kepolisian.
3.      Perdagangan
Setelah Bani Umayah berhasil menaklukkan bebagai wilayah, jalur perdangan jadi semakin lancar. Ibu kota Basrah di teluk Persi pun menjadi pelabuhan dagang yang ramai dan makmur, begitu pula kota Aden.
4.      Kerajinan
Ketika khalifah Abdul Malik menjabat, mulailah dirintis pembuatan tiras (semacam bordiran), yakni cap resmi yang dicetak pada pakaian khalifah dan para pembesar pemerintahan.




E.  Keruntuhan Bani Umayyah
Ada beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain adalah :[2]
  1. Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru (bid’ah) bagi tradisi Islam yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidak jelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.
  2. Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syi'ah (para pengikut Abdullah bin Saba’ al-Yahudi) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
  3. Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puas karena status mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
  4. Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Disamping itu, para Ulama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
  5. Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan dan kaum mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Bani Umayah dimulai dengan pengangkatan Muawiyah sebagai khalifah dengan cara yang tidak demokratis pada tahun 41 H. Selanjutnya sistem kepemimpinan dilangsungkan secara monarchiheridetis (kerajaan turun temurun) selama 91 tahun. Peristiwa penting yang terjadi pada masa itu antara lain terbunuhnya Husein bin Ali di Karbala pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah.
Meski demikian, Bani Umayah mencatatkan beberapa kemajuan, terutama di bidang arsitektur, perdagangan, militer dan kesenian. Adapun masa keemasan terjadi ketika tampak kepemimpinan berada di tangan Abdul Malik bin Marwan sampai Umar bin Abdul Aziz.

B. Saran
Setelah melalui studi pustaka dan diskusi kelompok selesailah makalah kami tentang perkembangan Islam pada masa Bani Umayah. Sepenuhnya kami sadar akan banyaknya kekurangan di beberapa titik. Banyak penafsiran-penafsiran serta pendapat yang berbeda dan itu semua tidak lepas dari sifat fitrah dari penulis sebagai manusia yang memiliki banyak keterbatasan. Jadi maklumlah kiranya, jika terdapat berbagai pendapat yang penulis simpulkan. Oleh semua itu, jika sampai terdapat beberapa perbedaan pendapat, tentunya bisa di pelajari. Maka, besar harapan kami adanya respon dari pembaca terhadap makalah ini.
Lepas dari itu semua kami berharap makalah ini dapat memberikan pengetahuan baru bagi siapapun pembacanya. Selanjutnya kami ingin berterima kasih kepada dosen pembimbing dan rekan-rekan yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah sederhana ini. Syukron. . .  . . . .


DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun. 2008. Teologi Islam. UI-Press. Jakarta.
Syalabi, A. 2003. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Pustaka Al-Husna Baru. Jakarta.
Yatim, Badri. 2004. Sejarah Peradaban Islam. PT Raja Grafindo Pustaka. Bandung.
HODGSON, Marshall G.S.; 1999, THE VENTURE OF ISLAM, Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia; Jilid Pertama: Masa Klasik Islam; Buku Pertama: Lahirnya Sebuah Tatanan Baru. Jakarta: PARAMADINA.
Muhammad Syu'ub, Sejarah Bani Umayyah, Penerbit PT. Bulan Bintang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar