PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM PADA MASA BANI UMAYYAH I ( DAMASKUS )
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Daulah
Bani Umayah yang ibukota pemerintahannya terletak di Damaskus,
berlangsung selama lebih kurang 91 tahun diperintah oleh 14 orang
khalifah. Kejayaan Bani Umayah dimulai pada masa Abdul Malik dan
berakhir pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Sepeninggal Umar,
kekhalifahan mulai melemah dan akhirnya tumbang. Penyebabnya adalah para
khalifah lebih mengutamakan kepentingan pribadi dari pada kepentingan
umum. Walaupun demikian, kemajuan-kemajuan di bidang arsitektur,
kesenian dan perdagangan berhasil dicapai pada masa Bani Umayah.
Tentunya
sangat menarik dalam mengkaji dinamika khilafah Bani Umayah ini. Sebab
selain khilafah ini berada pada masa transisi, berbagai intrik menarik
terjadi di zaman ini. Mulai dari banyaknya khalifah yang tidak berpihak
pada rakyat sampai pembunuhan Husein bin Ali di Karbala. Semoga dengan
mengkaji perkembangan Islam pada kurun ini akan memperkaya wacana kita
terutama dalam hal politik Islam.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dibahas di sini adalah:
1.
C. Landasan Masalah
Makalah
ini didasarkan dari buku-buku yang mempelajari tentang Sejarah
Peradaban Islam dan khususnya mengenai perkembangan peradaban Islam pada
Masa Bani Umayah I ( Damaskus ).
BAB II
PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM
PADA MASA BANI UMAYYAH I ( DAMASKUS )
A. Situasi Sosial Dan Dinamika Politik Sepeninggal Khalifah Ali
Pada
saat ‘Ali r.a. menjabat sebagai khalifah, banyak terjadi pemberontakan.
Diantaranya dari Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (yang pada saat itu menjabat
sebagai gubernur di Damaskus, Siria) dan didukung oleh sejumlah mantan
pejabat tinggi yang telah dipecat ‘Ali r.a. Disini timbul indikasi
fitnah atau perang saudara karena Mu’awiyah menuntut balas bagi Utsman
(keponakannya) dan atas kebijaksanaan-kebijaksanaan ‘Ali.
Tatkala
‘Ali beserta pasukannya bertolak dari Kuffah menuju Siria, mereka
bertemu dengan pasukan Mu’awiyah di tepi sungai Eufrat atas, Shiffin
(657).1 Terjadi
lah perang yang disebut perang Shiffin. Perang ini tidak wajar sehingga
terjadi kebuntuan yang akhirnya mengarah pada tahkim atau arbitrase.
Dalam majlis tahkim ini ada dua mediator atau penengah. Mediator dari
pihak Ali adalah Abu Musa al-Asy’ari (gubernur Kuffah), sedangkan
mediator dari pihak Mu’awiyah adalah ‘Amr ibn al-Ash. Namun tahkim pun
tetap tidak menyelesaikan masalah.
Menurut
Ibnu Khaldun, setelah fitnah antara ‘Ali - Mu’awiyah, jalan yang
ditempuh adalah jalan kebenaran dan ijtihad. Mereka berperang bukan
untuk menyebar kebatilan atau menimbulkan kebencian, tapi sebatas
perbedaan dalam ijtihad dan masing-masing menyalahkan hingga timbul
perang. Walaupun yang benar adalah ‘Ali, Mu’awiyah tidak melakukan
tindakan berlandaskan kebatilan, tetapi orientasinya dalam kebenaran.
Partai
‘Ali terpecah menjadi dua golongan, yaitu Khawarij (orang-orang yang
keluar dari barisan ‘Ali sekaligus menentang tahkim) dan Syi’ah (para
pengikut setia ‘Ali). Sementara itu, Mu’awiyah melakukan strategi dengan
menaklukkan Mesir dan mengangkat ‘Amr ibn al-Ash sebagai khalifah di
sana.
Jadi, di akhir masa pemerintahan ‘Ali, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik; Mu’awiyah, Syi’ah, dan Khawarij.2
Kemunculan Khawarij semakin memperlemah partai ‘Ali, di sisi lain
Mu’awiyah semakin kuat. Mu’awiyah memproklamirkan dirinya sebagai
khalifah di Yerusalem (660). Kemudian ‘Ali wafat karena dibunuh oleh Ibn
Muljam, salah seorang anggota Khawarij (661).
Lalu,
kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya (Hasan bin
Ali) selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan ternyata sangat lemah,
sementara pengaruh Muawiyah semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian
damai. Syarat-syarat yang diajukan Hasan dalam perjanjian tersebut
adalah :
1. Agar Mu’awiyah tidak menaruh dendam terhadap seorangpun dari penduduk Irak.
2. Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka.
3. Agar pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepadanya dan diberikan tiap tahun.
4. Agar Mu’awiyah membayar kepada saudaranya, yaitu Husain, dua juta dirham.
5. Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pemberian kepada Bani Abdi Syams.4
Perjanjian
itu berhasil mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan
politik, di bawah pimpinan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Dengan kata lain,
Hasan telah menjual haknya sebagai khalifah kepada Mu’awiyah. Akibat
perjanjian itu menyebabkan Mu’awiyah menjadi penguasa absolut
(otoriter). Naiknya Mu’awiyah menjadi khalifah pada awalnya tidak
melalui forum pembai’atan yang bebas dari semua umat. Mu’awiyah dibai’at
pertama kali oleh penduduk Syam karena memang berada di bawah
kekuasaannya, kemudian ia dibai’at oleh umat secara keseluruhan setelah
tahun persatuan atau ‘am jama’ah (661). Pembai’atan tersebut
tidak lain hanyalah sebuah pengakuan terpaksa terhadap realita dan dalam
upaya menjaga kesatuan umat. Maka, di sini telah masuk unsur kekuatan
dan keterpaksaan menggantikan musyawarah. Karenanya dapat dikatakan
bahwa telah terjadi perceraian antara idealisme dan realita.5
Dengan demikian telah berakhirlah masa Khulafa’ur Rasyidin dan dimulailah kekuasaan Bani Umayah dalam sejarah politik Islam.
B. Kelahiran Bani Umayah
Umayah
adalah salah satu putra ”Abdi Syam ibn Abdi Manaf” yang merupakan
bangsawan arab yang sangat terkenal karena memimpin kabilah Quraisy di
zaman jahiliyah, Umayah selalu bersaing dengan pamannya Hasyim ibn Abdi
Manaf dalam memperebutkan pimpinan dan kehormatan pada masyarakat dan
bangsanya. Dalam persaingan ini keluarga Umayah lebih unggul karena
secara adat, masa itu ia memiliki persyaratan cukup sebagai pimpinan
Quraisy.
Sesudah
Islam datang, persaingan antara Bani Umayah dan Bani Hasyim mengarah
pada persaingan yang bersifat konfrontasi (permusuhan). Dua keluarga ini
berpegang teguh pada fahamnya yang bertentangan. Keluarga Bani Hasyim
adalah pendukung Rasulullah sedangkan keluarga Umayah menentang
Rasulullah kecuali Usman bin Affan RA.
Dari
silsilah di bawah ini dapat dilihat hubungan yang erat antasa
Rasulullah dengan keluarga Bani Umayah yang bersatu dalam silsilah Abdul
Manaf.
C. Pengangkatan Yazid Dan Perubahan Sistem Pemerintahan
Sistem kekhalifahan mengalami perubahan baru, yaitu sistem monarki (kerajaan) atau monarchiheredetis
(kerajaan turun menurun). Suksesi kepemimpinan seperti ini terjadi
ketika Mu’awiyah menitahkan untuk mewariskan jabatan kekhalifahan kepada
anaknya, Yazid ibn Mu’awiyah. Maka mulai masuk prinsip warisan jabatan
dalam sistem kekhalifahan.
Ide
awal pewarisan kekhalifahan ini sebenarnya berasal dari al-Mughirah ibn
Syu’bah (gubernur Kufah). Ia menyarankan agar Mu’awiyah mengangkat
Yazid. Kemudian Mu’awiyah mengikuti saran al-Mughirah karena beberapa
alasan yang menurutnya kuat, meski harus mengabaikan saran Ziyad
(gubernur Bashra).
Mu’awiyah mempunyai beberapa alasan mengenai pengangkatan Yazid, yaitu: Pertama,
Yazid adalah satu-satunya orang yang bisa diterima orang-orang Siria,
karena apabila dari keluarga lain akan membawa ke dalam keluarga dan
marganya sesuatu yang mengganggu keseimbangan kekuatan-kekuatan rawan
yang telah dikembangkan oleh Mu’awiyah. Latar belakang pengangkatan
Yazid sebagai putra mahkota dan bukan yang lainnya adalah untuk menjaga
kemashlahatan rakyat dalam kesatuan dan kebersatuan aspirasi mereka,
dengan kesepakatan Bani Umayyah. Alasannya bahwa Bani Umayyah tidak rela
bila khalifah bukan dari kalangan dalam mereka dalam kapasitas mereka
sebagai elit masyarakat Quraisy dan para penganut Islam secara
keseluruhan, sekaligus kelompok yang paling berkuasa diantara mereka. Kedua, faktor usia Mu’awiyah yang sudah tua mendesaknya untuk cepat memilih siapa penggantinya. Ketiga, Mu’awiyah khawatir akan terjadi fitnah sebagaimana fitnah petumpahan darah sejak kematian Khalifah Utsman.
Atas
dasar itu, Mu’awiyah meminta dikirimkan delegasi-delegasi dari
kota-kota besar. Kemudian delegasi yang datang dari kota Bashra, Kufah,
dan Madinah berkumpul dalam sebuah konferensi yang pada akhirnya mereka
sepakat mendukung pembai’atan Yazid.
Yang
perlu dikritisi di sini ialah Mu’awiyah telah membuat tradisi baru yang
mengubah karakter sistem pemerintahan dalam Islam. Sistem warisan telah
menggantikan posisi sistem permusyawaratan, dan hal itu nampaknya
berdampak abadi dalam sejarah.
Deklarasi
pengangkatan Yazid bin Muawiyah sebagai putra mahkota menyebabkan
munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat. Akibatnya terjadi
perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan. Dalam hal ini
Abdurrahman bin Abu Bakar berpendapat bahwa pengangkatan ini tak ubahnya
sebuah heracliusisme, yaitu ketika seorang heraclius meninggal
akan digantikan oleh heraclius yang lain. Pelanggaran terhadap
perjanjian yang disepakati antara Hasan bin Ali dan Muawiyah telah
terjadi dalam hal ini. Sebab dalam perjanjian itu disebutkan bahwa
persoalan penggantian pemimpin setelah Muawiyah diserahkan kepada umat
Islam.
Ketika
Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau
menyatakan setia kepadanya. Yazid kemudian mengirim surat kepada
Gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah
setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali
Husein bin Ali dan Abdullah bin Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi’ah
(pengikut Ali) melakukan konsolidasi kekuatan kembali. Perlawanan
pertama dimulai oleh Husein bin Ali. Pada tahun 680 M, ia pindah dari
Makkah ke Kufah atas permintaan golongan Syi’ah yang ada di Irak.
Sedangkan umat Islam di daerah ini tidak mengakui Yazid. Dan mereka
mengangkat Husein sebagai khalifah. Dalam sebuah pertempuran tidak
seimbang di Karbala, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein kalah
dan Husein sendiri terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke
Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala.
Pemerintahan
Yazid tak henti menuai pemberotakan. Puncaknya ketika Abdullah bin
Zubair dan gerakan oposisinya yang dibina di Makkah menyatakan menolak
sumpah setia terhadap Yazid. Tentara Yazid kemudian mengepung Makkah.
Dua pasukan bertemu dan pertempuran tak dapat dihindarkan. Namun,
pertempuran itu terhenti karena Yazid wafat.
D. Perkembangan Dan Kemajuan Peradaban Islam Pada Masa Bani Umayah
Pemindahan
ibukota dari Madinah ke Damaskus melambangkan zaman imperium baru
dengan menggesernya untuk selama-lamanya dari pusat Arabia, yakni
Madinah yang merupakan pusat agama dan politik kepada sebuah kota yang
kosmopolitan. Dari kota inilah daulat Umayyah melanjutkan ekspansi
kekuasaan Islam dan mengembangkan pemerintahan sentral yang kuat, yaitu
sebuah imperium Arab.6
Ekspansi
yang berhasil dilakukan pada masa Mu’awiyah antara lain ke
wilayah-wilayah: Tunisia, Khurasan sampai ke sungai Oxus, Afganistan
sampai ke Kabul, serangan ke ibukota Bizantium (Konstantinopel).
Kemudian ekspansi ke timur dilanjutkan oleh khalifah Abdul Malik yang
berhasil menaklukkan Balkh, Sind, Khawarizm, Fergana, Samarkand, dan
India. Ekspansi ke barat dilanjutkan pada masa al-Walid ibn Abdul Malik
dengan mengadakan ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju barat daya,
benua Eropa. Wilayah lainnya yang berhasil ditaklukan adalah al-Jazair,
Maroko, ibukota Spanyol (Cordova), Seville, Elvira, dan Toledo. Di
zaman Umar ibn Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Perancis. Selain itu,
wilayah kekuasaan Islam meliputi Spanyol, Afrika Utara, Siria,
Palestina, Jazirah Arab, Irak, dan sebagian Asia Tengah.
Jasa-jasa
dalam pembangunan di berbagai bidang banyak dilakukan Bani Umayyah.
Mu’awiyah mendirikan dinas pos, menertibkan angkatan bersenjata,
mencetak mata uang, dan jabatan Qadhi (hakim) mulai berkembang menjadi
profesi sendiri. Abdul Malik ibn Marwan adalah khaifah yang pertama kali
membuat mata uang dinar dan menuliskan di atasnya ayat-ayat al-Qur’an.7
Ia juga melakukan pembenahan administrasi pemrintahan dan mmberlakukan
bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Pada
masa khalifah Al-Walid ibn Abdul Malik di bangun panti-panti untuk orang
cacat, membangun jalan-jalan raya, pabrik-pabrik, gedung pemerintahan
dan masjid-masjid yang megah. Khalifah Umar ibn Abdul Aziz
memprioritaskan pembangunan dalam negeri, keberhasilannya antara lain
ialah menjalin hubungan baik dengan golongan Syi’ah, memberi kebebasan
kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya,
pungutan pajak diperingan, dan kedudukan mawali (non Arab)
disejajarkan dengan muslim Arab. Dengan keberhasilan dan keteladanannya,
maka Umar ibn Abdul Aziz sering disebut-sebut sebagai khalifah kelima
setelah Ali ibn Abi Thalib. Di bidang keilmuan atau pendidikan, cakupan
keilmuannya tentang teologi dan keagamaan, misalnya legalisasi
penyusunan al-Qur’an pada masa Utsman yang telah disusun oleh Abu Bakar.
Di bidang kesastraan, muncul para penyair terkenal, seperti Umar ibn
Abi Rabi’ah, Tuwais, Ibnu Suraih, dan Al-Garidh.
Selain
itu, jenis atau pola pemerintahan terdahulu mulai berubah sejak zaman
Mu’awiyah. Mu’awiyah bermaksud mengikuti gaya pemerintahan monarki di
Persia dan Bizantium. Ia tetap memakai istilah khalifah, namun memberi
interprestasi baru. Ia menyebut dirinya “khalifah Allah” dalam
pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah. Menurut beberapa ahli
sejarah, pola pemerintahan yang dipakai pada masa Bani Umayyah adalah
Otokrasi.8 Walaupun telah berbentuk kerajaan, Bani Umayyah tetap membuktikan eksistensinya dengan terus membuat kemajuan-kemajuan.
Pada
masa Bani Umayah beberapa kemajuan di berbagai sektor berhasil dicapai.
Antara lain dibidang arsitektur, perdagangan, organisasi militer dan
seni.
1. Arsitektur
Pada
masa Bani Umayah bidang arsitektur maju pesat. Terlihat dari
bangunan-bangunan artistik serta masjid-masjid yang memenuhi kota. Kota
lama pun dibangun menjadi kota modern. Mereka memadukan gaya Persia
dengan nuansa Islam yang kental di setiap bangunannya.
Adapun
pada masa Walid dibangun sebuah masjid agung yang terkenal dengan
sebutan Masjid Damaskus yang diarsiteki oleh Abu Ubaidah bin Jarrah.
Sedangkan kota baru yang dibangun di zaman ini adalah Kota Kairawan.
Didirikan oleh Uqbah bin Nafi ketika dia menjabat sebagai gubernur.
2. Organisasi militer
Di
zaman ini militer dikelompokkan menjadi 3 angkatan. Yaitu angkatan
darat (al-jund), angkatan laut (al-bahiriyah) dan angkatan kepolisian.
3. Perdagangan
Setelah
Bani Umayah berhasil menaklukkan bebagai wilayah, jalur perdangan jadi
semakin lancar. Ibu kota Basrah di teluk Persi pun menjadi pelabuhan
dagang yang ramai dan makmur, begitu pula kota Aden.
4. Kerajinan
Ketika
khalifah Abdul Malik menjabat, mulailah dirintis pembuatan tiras
(semacam bordiran), yakni cap resmi yang dicetak pada pakaian khalifah
dan para pembesar pemerintahan.
E. Keruntuhan Bani Umayyah
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Bani Umayyah lemah dan
membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain adalah :[2]
- Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru (bid’ah) bagi tradisi Islam yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidak jelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.
- Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syi'ah (para pengikut Abdullah bin Saba’ al-Yahudi) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
- Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puas karena status mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
- Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Disamping itu, para Ulama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
- Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan dan kaum mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Bani Umayah dimulai
dengan pengangkatan Muawiyah sebagai khalifah dengan cara yang tidak
demokratis pada tahun 41 H. Selanjutnya sistem kepemimpinan
dilangsungkan secara monarchiheridetis (kerajaan turun temurun)
selama 91 tahun. Peristiwa penting yang terjadi pada masa itu antara
lain terbunuhnya Husein bin Ali di Karbala pada masa pemerintahan Yazid
bin Muawiyah.
Meski
demikian, Bani Umayah mencatatkan beberapa kemajuan, terutama di bidang
arsitektur, perdagangan, militer dan kesenian. Adapun masa keemasan
terjadi ketika tampak kepemimpinan berada di tangan Abdul Malik bin
Marwan sampai Umar bin Abdul Aziz.
B. Saran
Setelah
melalui studi pustaka dan diskusi kelompok selesailah makalah kami
tentang perkembangan Islam pada masa Bani Umayah. Sepenuhnya kami sadar
akan banyaknya kekurangan di beberapa titik. Banyak
penafsiran-penafsiran serta pendapat yang berbeda dan itu semua tidak
lepas dari sifat fitrah dari penulis sebagai manusia yang memiliki
banyak keterbatasan. Jadi maklumlah kiranya, jika terdapat berbagai
pendapat yang penulis simpulkan. Oleh semua itu, jika sampai terdapat
beberapa perbedaan pendapat, tentunya bisa di pelajari. Maka, besar
harapan kami adanya respon dari pembaca terhadap makalah ini.
Lepas
dari itu semua kami berharap makalah ini dapat memberikan pengetahuan
baru bagi siapapun pembacanya. Selanjutnya kami ingin berterima kasih
kepada dosen pembimbing dan rekan-rekan yang telah membantu kami dalam
menyelesaikan makalah sederhana ini. Syukron. . . . . . .
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun. 2008. Teologi Islam. UI-Press. Jakarta.
Syalabi, A. 2003. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Pustaka Al-Husna Baru. Jakarta.
Yatim, Badri. 2004. Sejarah Peradaban Islam. PT Raja Grafindo Pustaka. Bandung.
HODGSON, Marshall G.S.; 1999, THE VENTURE OF ISLAM, Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia; Jilid Pertama: Masa Klasik Islam; Buku Pertama: Lahirnya Sebuah Tatanan Baru. Jakarta: PARAMADINA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar