Senin, 09 Januari 2012

budaya menulis

Pikiran Rakyat dan Budaya Menulis

 
 
 
 
 
 
1 Votes
Oleh Enjang Muhaemin*
menulisMenumbuhkan budaya tulis-menulis di kalangan masyarakat kampus memiliki nilai urgensitas yang sangat penting. Bukan hanya akan mendorong lahirnya pemikir-pemikir yang brilian, kritis dan cerdas, juga akan memberikan kontribusi yang positif bagi pembangunan masyarakat yang beradab dan berwawasan ke depan. Namun sayangnya, budaya menulis itu belum tumbuh dengan baik. Terbukti, kalangan kampus yang aktif menulis di media cetak, bisa dibilang itu-itu saja. Jumlahnya relatif sangat terbatas. Penulis-penulis baru nyaris tak terlihat. Kalaupun lahir sungguh sangat terbatas. Bahkan boleh jadi, dari satu perguruan tinggi, dalam satu tahun hanya lahir satu atau dua penulis baru.
Lahirnya satu atau dua penulis baru dari lingkungan perguruan tinggi ini, juga tidak merata. Bahkan sangat mungkin jadi, lebih banyak perguruan tinggi yang belum mampu melahirkan seorang penulis pun. Simak dan cermati saja di berbagai media cetak: kalangan akademisi mana saja yang biasa menulis di media cetak dan kalangan akademisi mana saja yang sama sekali belum muncul.
Budaya menulis di kalangan masyarakat kampus sebenarnya telah dirintis sejak mahasiswa tingkat satu. Dari mulai kewajiban membuat makalah, paper, kertas kerja, hingga laporan penelitian. Namun upaya ini tampaknya tidak banyak membuahkan hasil. Berdasarkan hasil pengamatan penulis, tidak berdampaknya rintisan budaya menulis melalui tugas perkuliahan di atas karena beberapa sebab.
Satu di antara penyebabnya yakni budaya jiplak yang kronis. Ambil contoh ketika mahasiswa diberi tugas untuk membuat makalah. Sebagai pengajar kita bisa terkagum-kagum, karena isi makalahnya luar biasa hebatnya. Ide dan pemikiran yang ada di makalah itu sungguh luar biasa untuk ukuran mahasiswa. Namun sayangnya, setelah dilakukan pengecekan referensi, ternyata isi makalahnya banyak yang sekadar memindahkan begitu saja dari buku-buku yang mereka jadikan rujukan.
Tak heran bila isi makalah sang mahasiswa itu sangat luar biasa. Betapa tidak, karena ide dan pemikirannya yang terdapat di makalah tersebut adalah ide dan pemikiran para profesor dan doktor yang mereka ‘kutip’ dari beragam buku. Budaya buruk di atas, jelas memunculkan paradoks antara niatan untuk menumbuhkan budaya menulis dengan realitas jiplak-menjiplak yang semakin kronis.
Realitas tersebut tentu saja tak berarti kewajiban mahasiswa untuk membuat makalah atau paper itu dihapuskan. Yang perlu diluruskan adalah bagaimana para mahasiswa itu didorong untuk menulis makalah dan paper dengan ide dan pemikirannya yang orisinal, bukan jiplakan. Adapun pemikiran para profesor doktor yang kerap mereka ‘kutip’ mestinya hanya sebatas penguat argumen di dalam menulis makalah.
Menumbuhkan keberanian para mahasiswa di dalam menuangkan ide dan gagasannya, juga layak mendapat perhatian para pengajar di lingkungan perguruan tinggi. Selama ini, tak sedikit para dosen, yang terjebak pada pemahaman yang salah kaprah tentang kualitas sebuah makalah. Makalah yang baik kerap diidentikkan dengan banyaknya kutipan, dan banyaknya buku rujukan. Bukan menilai sejauhmana orisinalitas ide dan pemikiran para penulis makalah itu.
Para dosen sudah saatnya mendorong para mahasiswa untuk berani membuat makalah dengan ide dan pemikiran yang orisinal. Para pengajar pun harus berani memberikan teguran keras terhadap mahasiswa-mahasiswa yang membuat makalah dengan cara menjiplak mentah-mentah.
Di sisi lain, para pengajar di perguruan tinggi juga harus mendorong para mahasiswanya untuk terbiasa menulis di media massa. Dorongan ini, tentunya, harus dilakukan dengan bentuk yang konkrit. Misalnya, berani memberi nilai plus atau kredit point bagi mahasiswa yang terbukti mampu menulis di media massa. Upaya ini belum banyak dilakukan, kalaupun ada, baru satu dua dosen saja.
Pola di atas, diyakini akan mampu mendorong budaya menulis di kalangan mahasiswa. Upaya ini tentu akan lebih baik bila kalangan akademisi juga memberikan contoh riil dengan membiasakan diri menulis untuk media massa. Ini akan menjadi stimulan cukup baik bagiu tumbuhnya para penulis dari kalangan mahasiswa.
Untuk menumbuhkan budaya menulis di lingkungan para dosen, tentunya pula harus ada ‘perhatian khusus’ dari para petinggi di perguruan tinggi masing-masing. Selama ini, nyaris di berbagai perguruan tinggi di negeri ini, tak ada perhatian khusus terhadap para akademisinya yang aktif menulis di media massa. Yang mungkin ada, baru sebatas kredit point untuk mempercepat kenaikan golongan. Mungkin jadi butuh ‘perhatian khusus’ yang lebih baik lagi.
Tumbuhnya budaya menulis di kalangan dosen akan menjadi stimulan penting bagi lahirnya budaya menulis di kalangan mahasiswa. Karena boleh jadi, tak banyaknya para mahasiswa yang aktif menulis untuk media massa, juga akibat minimnya dosen yang aktif menulis di media massa.
Kebiasaan menulis, baik bagi kalangan dosen maupun mahasiswa, akan memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan kualitas intelektualitas masing-masing. Karena bagaimanapun, untuk menulis sebuah tulisan membutuhkan langkah-langkah persiapan yang matang. Dari mulai penggalian ide, pengumpulan bahan, pendalaman materi, hingga pengemasan tulisan. Bahkan, yang namanya membaca bagi seorang penulis adalah wajib. Tanpa banyak membaca, selain akan kering ide, juga jangan harap tulisan-tulisannya berbobot.
Dalam konteks seperti itulah, tidak aneh bila tingkat kecerdasan dan kekritisan antara dosen atau mahasiswa yang suka menulis dengan dosen atau mahasiswa yang tidak pernah menulis akan terlihat mencolok. Para penulis dari kelompok dan kalangan profesi manapun relatif memiliki tingkat kekritisan yang lebih baik dibanding mereka yang tidak pernah menulis.
Langkah yang tak kalah pentingnya di dalam menumbuhkan budaya menulis adalah kesediaan media massa untuk menyediakan rubrik-rubrik khusus bagi mereka yang masuk kategori penulis pemula. Kelompok penulis pemula, diakui atau tidak, butuh ‘tempat khusus’ yang kriteria layak muatnya tidak terlalu berat. Langkah HU. Pikiran Rakyat dengan menyediakan rubrik “Forum Guru” dan “Mimbar” harus diakui akan menumbuhkan budaya menulis. “Forum Guru” akan mendorong minat kalangan “Oemar Bakri” untuk menulis, menuangkan ide-ide briliannya secara terstruktur dan sistematis. “Mimbar” juga akan mendorong lahirnya penulis-penulis baru dari lingkungan kampus, baik itu dosen maupun mahasiswa.
Kehadiran dua rubrik baru tersebut merupakan andil yang sangat besar bagi kelahiran penulis-penulis baru dari kalangan guru, dosen, dan mahasiswa. Mereka, untuk sementara, memang butuh “tempat khusus”, belum bisa “dikompetisikan” dengan penulis-penulis lama di rubrik opini yang terbuka untuk umum.
Mengapa mereka butuh “tempat khusus”? Karena, mereka umumnya adalah penulis pemula yang memiliki semangat besar, tapi mempunyai mentalitas kepenulisan yang rendah. Pengamatan selintas yang penulis lakukan membuktikan bahwa kelompok di atas umumnya memiliki semangat menulis yang tinggi, dan menggebu-gebu. Namun dilihat dari sisi mentalitas mereka belum siap bila naskahnya banyak ditolak. Penolakan beruntun dari media massa kerap membuat kelompok ini patah arang, dan merasa tak mampu untuk menjadi penulis. Akhirnya dapat diterka, berhentilah ia menulis.
Menyimak gejala tersebut masih menghinggapi kelompok penulis pemula, maka lahirnya dua rubrik baru yang disediakan Pikiran Rakyat akan turut membantu bagi penguatan mentalitas penulis pemula. Dua rubrik ini, menurut penulis, bagi Pikiran Rakyat juga tidak akan merugikan. Dari sisi idealisme, jelas akan membantu lahirnya penulis-penulis handal yang brilian, cerdas dan arif. Dari sisi bisnis, tentunya juga, akan membantu peningkatan oplag media ini. Paling tidak, kelompok mahasiswa, dosen, dan guru akan semakin respek untuk berlangganan.***
*Enjang Muhaemin adalah Dosen di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung
Sumber: http://enjangmuhaemin.blogspot.com/2010/12/pikiran-rakyat-dan-budaya-menulis.html#comment-form

Tidak ada komentar:

Posting Komentar