Selasa, 15 November 2011

kebijakan pemerintah terhadap pend. islam

BAB II
PEMBAHASAN
A. Arah Baru Kurikulum Pendidikan Nasional
Disahkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, oleh banyak kalangan dianggap sebagai titik awal kebangkitan pendidikan nasional, termasuk pendidikan Islam di dalamnya. Hal ini karena secara eksplisit UU tersebut menyebut peran dan kedudukan pendidikan agama (Islam), baik sebagai proses maupun sebagai lembaga.
Setelah berjalan beberapa tahun, nampaknya UU Sisdiknas itu pun sudah waktunya untuk direvisi pada beberapa pasalnya. Sebagaimana dikutip Armai Arief, menggarisbawahi kaji ulang sistem pendidikan nasional sebagai berikut :
a) Perlunya dikembangkan dan dimantapkan sistem pendidikan nasional yang dititikberatkan kepada pemberdayaan lembaga pendidikan, dengan cara memberikan otonomi seluas-luasnya kepada lembaga sekolah.
b) Perlunya pengembangan sistem pendidikan nasional yang terbuka bagi keragaman budaya dan masyarakat dalam implementasinya.
c) Program-program pendidikan nasional hendaknya dibatasi hanya pada upaya tetapnya integritas bangsa.
Untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional yang baru tersebut ada beberapa program yang harus dilaksanakan oleh pendidikan kita. Armai Arief menyebutnya ada lima agenda yang mendesak yaitu:
Pertama, perlunya mempersiapkan lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan di daerah yang meliputi Sumber Daya Manusia (SDM), organisasi, fasilitas dan program kerjasama antarlembaga di daerah.
Kedua, perlunya debirokratisasi penyelenggaraan pendidikan dengan merestrukturisasi departemen pusat agar lebih efisien, dan secara berangsur-angsur memberikan otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan pada tingkat sekolah (otonomi lembaga).
Ketiga, desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara bertahap, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten/kota dengan mempersiapkan SDM, dana, sarana dan prasarana yang memadai pada daerah Tingkat Dua tersebut.
Keempat, perlunya penghapusan berbagai peraturan perundang-undangan yang menghalangi inovasi dan eksperimen menuju sistem pendidikan yang berdaya saing di masa depan.
Kelima, mengadakan revisi UU Sistem Pendidikan Nasional beserta peraturan perundangan pelaksanaannya. Revisi ini mencakup otonomi bagi sekolah untuk mengatur diri sendiri, peran masyarakat untuk ikut menentukan kebijakan pendidikan yang diwadahi dalam bentuk Dewan Sekolah, fungsi pengawasan diarahkan untuk peningkatan profesionalisme guru, adanya otonomi guru untuk menentukan metode dan sistem evaluasi belajar, dan sebagainya.

B. Alternatif Pemecahan Masalah
1. Solusi Masalah Mendasar
Penyelesaian masalah mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Penyelesaian itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perombakan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma pendidikan Islam. Hal ini sangat penting dan utama. Artinya, setelah masalah mendasar diselesaikan, barulah berbagai macam masalah cabang pendidikan dapat diselesaikan (yang antara lain dikelompokan menjadi masalah aksesibilitas pendidikan, relevansi pendidikan, pengelolaan dan efisiensi, hingga kualitas pendidikan).
Solusi masalah mendasar tersebut adalah dengan melakukan pendekatan sistemik yaitu secara bersamaan dan menyeluruh agar sistem pendidikan dapat berubah lebih baik maka harus pula dilakukan perubahan terhadap paradigma dalam penyelenggaraan sistem ekonomi yang kapitalistik menjadi islami, tatanan sosial yang permisif dan hedonis menjadi islami, tatanan politik yang oportunistik menjadi islami, dan ideologi kapitalisme-sekuler menjadi mabda islam, sehingga perubahan sistem pendidikan yang materialistik pun dapat diubah menjadi pendidikan yang dilandasi oleh aqidah dan syariah islam sesuai dengan karakteristiknya. Perbaikan semacam ini pun perlu dikokohkan dengan aspek formal, yaitu dengan dibuatnya regulasi tentang pendidikan yang berbasiskan pada konsep syari’ah Islam.
Upaya perbaikan secara tambal sulam dan parsial, semisal perbaikan hanya terhadap kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana-prasarana, pendanaan dan sebagainya tidak akan dapat berjalan dengan optimal sepanjang permasalahan mendasarnya belum diperbaiki. Salah satu bentuk nyata dari solusi mendasar itu adalah mengubah total UU Sistem Pendidikan yang ada dan menggantinya dengan UU Sistem Pendidikan (Syari’ah) Islam. Hal paling mendasar yang wajib diubah tentunya adalah asas sistem pendidikan. Sebab asas sistem pendidikan itulah yang menentukan hal-hal paling prinsipil dalam sistem pendidikan, seperti tujuan pendidikan dan struktur kurikulum.
2. Solusi Untuk Permasalahan Derivat (Turunan)
Permasalahan cabang dalam sistem pendidikan nasional kita diantaranya dapat dikelompokan sebagai berikut:
1) Keterbatasan aksesibilitas dan daya tampung
2) Kerusakan sarana dan prasarana
3) Kekurangan tenaga guru
4) Kinerja dan kesejahteraan guru yang belum optimal
5) Proses pembelajaran yang konvensional
6) Jumlah dan kualitas buku yang belum memadai
7) Otonomi Pendidikan, Keterbatasan anggaran
8) Mutu SDM Pengelola pendidikan
9) Life skill yang dihasilkan belum optimal (Diknas Jabar. Makalah UPI EXPO 2006).
Untuk menyelasaikan masalah-masalah cabang di atas, diantaranya juga tetap tidak bisa dilepaskan dari penyelesaian terhadap masalah mendasar. Sehingga dalam hal ini diantaranya secara garis besar terdapat dua solusi yaitu:
Pertama, solusi sistemik. Yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, antara lain: sistem ekonomi, sistem politik, sistem sosial, ideologi, dan lainnya. Penerapan ekonomi syari’ah sebagai pengganti ekonomi kapitalis ataupun sosialis akan menyeleraskan paradigma pemerintah dan masyarakat tentang penyelenggaraan pendidikan, dimana pendidikan sebagai salah satu kewajiban negara yang harus diberikan kepada rakyatnya dengan tanpa adanya pembebanan biaya yang memberatkan ataupun diskriminasi terhadap masyarakat yang tidak memiliki sumber dana (capital) untuk mengenyam pendidikan, karena pendanaan pendidikan harus dialokasikan dari kas negara, bukan dibebankan kepada rakyat sebagaimana Rasulullah Saw pernah mencontohkan dengan menetapkan tebusan bagi orang-orang kafir yang menjadi tawanan dalam perang Badar dengan mengajari masing-masing sepuluh anak kaum muslimin, padahal harta tebusan tersebut statusnya merupakan ghanimah yang akan disimpan dalam Baitul Maal (kas negara) dan menjadi milik kaum muslimin (Struktur Negara Khilafah hal.213: HTI Press). Atas dasar inilah jaminan pendidikan terhadap rakyat merupakan kewajiban negara.
Penerapan sistem politik islam sebagai pengganti sistem politik sekuler akan memberikan paradigma dan frame politik yang dilakukan oleh penguasa dan masyarakat, dimana politik akan difahami sebagai aktifitas perjuangan untuk menjamin terlaksananya pengaturan berbagai kepentingan ummat oleh penguasa termasuk diantaranya dalam menetapkan kebijakan bidang pendidikan, sehingga bukan malah sebaliknya menyengsarakan ummat dengan memaksa mereka agar melayani penguasa. Penerapan sistem sosial yang islami sebagai pengganti sistem sosial yang hedonis dan permisif akan mampu mengkondisikan masyarakat agar memiliki kesadaran yang tinggi terhadap kewajiban terikat pada hukum-hukum syari’at sehingga masyarakat akan menyadari pula bahwa peran mereka dalam mensinergiskan pendidikan di sekolah adalah sebagai pihak yang dapat memberikan tauladan sekaligus mengontrol aplikasi nilai-nilai pendidikan yang diperoleh siswa di sekolah.
Secara keseluruhan perbaikan sistem ini akan dapat terlaksana jika pemerintah menyadari fungsi dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Rasulullah Saw bersabda:
“Seorang Imam ialah (laksana) penggembala dan Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya)”. (HR. Muslim)
Kedua, solusi teknis. Yakni solusi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan internal dalam penyelenggaraan sistem pendidikan. Diantaranya, secara tegas, pemerintah harus mempunyai komitmen untuk mengalokasikan dana pendidikan nasional dalam jumlah yang memadai yang diperoleh dari hasil-hasil eksploitasi sumber daya alam yang melimpah yang merupakan milik ummat, menyita kembali harta milik rakyat yang telah dicuri oleh para koruptor baik dari kalangan penguasa, aparat pemerintah mauapun para pelaku usaha. Dengan adanya ketersediaan dana tersebut, maka pemerintahpun dapat menyelesaikan permasalahan aksesibilitas pendidikan dengan memberikan pendidikan gratis kepada seluruh masyarakat usia sekolah dan siapapun yang belum bersekolah baik untuk tingkat pendidikan dasar (SD-SMP) maupun menengah (SLTA), bahkan harus pula berlanjut pada jenjang perguruan tinggi. Merekrut jumlah tenaga pendidik dan kependidikan sesuai kebutuhan di lapangan disertai dengan adanya peningkatan kualitas dan kompetensi yang tinggi, jaminan kesejahteraan dan penghargaan untuk mereka. Pembangunan sarana dan prasarana yang layak dan berkualitas untuk menunjang proses belajar-mengajar. Penyusunan kurikulum yang berlandaskan pada nilai-nilai syari’ah (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Melarang segala bentuk kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta menjamin terlaksananya pendidikan yang berkualitas dengan menghasilkan lulusan yang mampu menjalani kehidupan dunia dengan segala kemajuannya (setelah menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan teknologi serta seni baik yang berasal dari islam maupun dari non islam sepanjang bersifat umum) dan mempersiapkan mereka untuk mendapatkan bagiannya dalam kehidupan di akhirat kelak dengan adanya penguasaan terhadap tsaqofah islam dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.

C. Sistem Pendidikan Berbasis Syari’ah
Seperti diungkapkan di atas, bahwa sistem pendidikan Islam merupakan alternatif solusi mendasar untuk menggantikan sistem pendidikan sekuler saat ini. Bagaimanakah gambaran sistem pendidikan Islam tersebut? Berikut uraiannya secara sekilas.

1. Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia yang berkarakter (khas) Islami. Antara lain:
Pertama, berkepribadian Islam (shaksiyah islamiyah). Ini sebetulnya merupakan konsekuensi keimanan seorang Muslim. Intinya, seorang Muslim harus memiliki dua aspek yang fundamental, yaitu pola pikir (’aqliyyah) dan pola jiwa (nafsiyyah) yang berpijak pada akidah Islam.
Untuk mengembangkan kepribadian Islam, paling tidak, ada tiga langkah yang harus ditempuh, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw, yaitu:
1. Menanamkan akidah Islam kepada seseorang dengan cara yang sesuai dengan kategori akidah tersebut, yaitu sebagai ‘aqîdah ‘aqliyyah (akidah yang muncul dari proses pemikiran yang mendalam).
2. Mengembangkan kepribadian Islam yang sudah terbentuk pada seseorang dengan senantiasa mengajaknya untuk bersungguh-sungguh mengisi pemikirannya dengan tsaqâfah islâmiyah dan mengamalkan ketaatan kepada Allah SWT.
3. Menanamkan sikap konsisten dan istiqâmah pada orang yang sudah memiliki akidah Islam agar cara berpikir dan berprilakunya tetap berada di atas pondasi akidah yang diyakininya.
Kedua, menguasai perangkat ilmu dan pengetahuan (tsaqâfah) Islam. Islam telah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu. Berdasarkan takaran kewajibannya, menurut al-Ghazali, ilmu dibagi dalam dua kategori, yaitu:
1. Ilmu yang termasuk fardhu ‘ain (kewajiban individual), artinya wajib dipelajari setiap Muslim, yaitu tsaqâfah Islam yang terdiri dari konsepsi, ide, dan hukum-hukum Islam, bahasa Arab, sirah Nabi saw, Ulumul Quran, Tahfizh al-Quran, ulumul hadis, ushul fikih, dll.
2. Ilmu yang dikategorikan fadhu kifayah (kewajiban kolektif), biasanya ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi serta ilmu terapan-keterampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik, dll.

2. Pendidikan Islam Adalah Pendidikan Terpadu
Agar keluaran pendidikan menghasilkan SDM yang sesuai harapan, harus dibuat sebuah sistem pendidikan yang terpadu. Artinya, pendidikan tidak hanya terkonsentrasi pada satu aspek saja. Sistem pendidikan yang ada harus memadukan seluruh unsur pembentuk sistem pendidikan yang unggul. Dalam hal ini, minimal ada 3 hal yang harus menjadi perhatian, yaitu:
Pertama, sinergi antara sekolah, masyarakat, dan keluarga. Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur di atas. Sebab, ketiga unsur di atas menggambarkan kondisi faktual obyektif pendidikan. Saat ini ketiga unsur tersebut belum berjalan secara sinergis, di samping masing-masing unsur tersebut juga belum berfungsi secara benar. Buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di tengah-tengah masyarakat seperti terjadinya tawuran pelajar, seks bebas, narkoba, dan sebagainya. Pada saat yang sama, situasi masyarakat yang buruk jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimal. Apalagi jika pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.
Kedua, kurikulum yang terstruktur dan terprogram mulai dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi. Kurikulum sebagaimana tersebut di atas dapat menjadi jaminan bagi ketersambungan pendidikan setiap anak didik pada setiap jenjangnya. Selain muatan penunjang proses pembentukan kepribadian Islam yang secara terus-menerus diberikan mulai dari tingkat TK hingga PT, muatan tsaqâfah Islam dan Ilmu Kehidupan (IPTEK, keahlian, dan keterampilan) diberikan secara bertingkat sesuai dengan daya serap dan tingkat kemampuan anak didik berdasarkan jenjang pendidikannya masing-masing.
Pada tingkat dasar atau menjelang usia baligh (TK dan SD), penyusunan struktur kurikulum sedapat mungkin bersifat mendasar, umum, terpadu, dan merata bagi semua anak didik yang mengikutinya. Khalifah Umar bin al-Khaththab, dalam wasiat yang dikirimkan kepada gubernur-gubernurnya, menuliskan, “Sesudah itu, ajarkanlah kepada anak-anakmu berenang dan menunggang kuda, dan ceritakan kepada mereka adab sopan-santun dan syair-syair yang baik.”
Khalifah Hisyam bin Abdul Malik mewasiatkan kepada Sulaiman al-Kalb, guru anaknya, “Sesungguhnya anakku ini adalah cahaya mataku. Saya mempercayaimu untuk mengajarnya. Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan tunaikanlah amanah. Pertama, saya mewasiatkan kepadamu agar engkau mengajarkan kepadanya al-Quran, kemudian hafalkan kepadanya al-Quran.”
Di tingkat Perguruan Tinggi (PT), kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh. Ideologi sosialisme-komunisme atau kapitalisme-sekularisme, misalnya, dapat diperkenalkan kepada kaum Muslim setelah mereka memahami mabda Islam secara utuh. Pelajaran ideologi selain mabda Islam dan konsepsi-konsepsi lainnya disampaikan bukan bertujuan untuk dilaksanakan, melainkan untuk dijelaskan dan dipahami cacat-celanya serta ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia, agar menjadi pemahamaan untuk menguraikan kerusakan mabda selain islam tersebut.
Ketiga, berorientasi pada pembentukan tsaqâfah Islam, kepribadian Islam, dan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Ketiga hal di atas merupakan target yang harus dicapai. Dalam implementasinya, ketiga hal di atas menjadi orientasi dan panduan bagi pelaksanaan pendidikan.

3. Pendidikan Adalah Tanggung Jawab Negara
Islam merupakan sebuah sistem yang memberikan solusi terhadap berbagai problem yang dihadapi manusia. Setiap solusi yang disajikan Islam secara pasti selaras dengan fitrah manusia. Dalam konteks pendidikan, Islam telah menentukan bahwa negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan dan mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Rasulullah saw. Bersabda: “Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Perhatian Rasulullah saw. Terhadap dunia pendidikan tampak ketika beliau menetapkan para tawanan Perang Badar dapat bebas jika mereka mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang anak kaum muslimin Madinah. Hal ini merupakan tebusan. Dalam pandangan Islam, barang tebusan itu merupakan hak Baitul Mal (Kas Negara). Tebusan ini sama nilainya dengan pembebasan tawanan Perang Badar. Artinya, Rasulullah saw. Telah menjadikan biaya pendidikan itu setara nilainya dengan barang tebusan yang seharusnya milik Baitul Mal. Dengan kata lain, beliau memberikan upah kepada para pengajar (yang tawanan perang itu) dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik Baitul Mal. Kebijakan beliau ini dapat dimaknai, bahwa kepala negara bertanggung jawab penuh atas setiap kebutuhan rakyatnya, termasuk pendidikan.
Ibnu Hazm, dalam kitabnya, Al-Ihkâm, menjelaskan bahwa kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat. Jika kita melihat sejarah Kekhalifahan Islam, kita akan melihat begitu besarnya perhatian para khalifah terhadap pendidikan rakyatnya. Demikian pula perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya. Imam ad-Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari al-Wadliyah bin Atha’ yang menyatakan, bahwa di kota Madinah pernah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin al-Khaththab memberikan gaji kepada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar=4,25 gram emas). Jika harga 1 gram emas=Rp 200.000,00, maka gaji seorang pendidik yang diberikan oleh Daulah Khilafah sejak 13 abad yang lalu jumlahnya mencapai Rp 12.750.000,00 (subhanallah), sungguh merupakan angka yang fantastis, apalagi jika dibandingkan dengan saat ini dimana berlangsungnya sistem ekonomi kapitalisme telah nyata sangat tidak menghargai peran pendidik, semisal upah yang didapatkan seorang guru honorer hanya berkisar Rp 5.000-30.000 untuk setiap jam pelajaran dengan perhitungan kerja riil satu bulan namun gajinya hanya dihitung satu minggu.
Perhatian para khalifah tidak hanya tertuju pada gaji pendidik dan sekolah, tetapi juga sarana pendidikan seperti perpustakaan, auditorium, observatorium, dll. Pada masa Kekhilafahan Islam, di antara perpustakaan yang terkenal adalah perpustakaan Mosul didirikan oleh Ja‘far bin Muhammad (w. 940 M). Perpustakaan ini sering dikunjungi para ulama, baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini mendapatkan segala alat yang diperlukan secara gratis, seperti pena, tinta, kertas, dll. Bahkan para mahasiswa yang secara rutin belajar di perpustakaan itu diberi pinjaman buku secara teratur. Seorang ulama Yaqut ar-Rumi memuji para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasa karena mereka mengizinkan peminjaman sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun perorang. Ini terjadi pada masa Kekhalifahan Islam abad 10 M. Bahkan para khalifah memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap para penulis buku, yaitu memberikan imbalan emas seberat buku yang ditulisnya.

4. Sistem Pendidikan Islam bersifat Multidisipliner
Sistem pendidikan Islam juga sekaligus merupakan sub sistem yang tak terlepas dari pengaruh sub sistem yang lain dalam penyelenggaraannya. Sistem ekonomi, politik, sosial-budaya, dan idoelogi akan sangat menentukan keberhasilan penyelenggaran sistem pendidikan yang berbasiskan aqidah dan syari’ah islam. Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa dengan sistem ekonomi yang islami maka penyediaan dana pendidikan akan menjadi perhatian penting negara agar dapat dialokasikan dari kas negara dalam jumlah yang memadai, yang sumber-sumbernya dapat diperoleh dari hasil pengelolaan kepemilikan umum yang saat ini di Indonesia misalnya, jumlahnya masih melimpah seperti barang tambang, mineral, hasil hutan, kekayaan laut, maupun dari hasil penyitaan kembali asset rakyat yang dikorupsi oleh para pejabat, pemerintah, dan pengusaha. Sistem politik yang islami akan mengarahkan penguasa untuk mengambil kebijakan yang berpihak pada rakyat sebagai konsekuensi dari aktifitas politiknya yaitu riayah syu’unil ummah (mengatur urusan-urusan ummat) termasuk kebijakan dalam bidang pendidikan yang harus didasarkan pada aqidah dan syari’ah islam. Sistem sosial-budaya yang islami akan mengarahkan masyarakat memiliki perspektif yang benar tentang wajibnya berpendidikan, memiliki motivasi yang tinggi untuk menggali ilmu pengetahuan, teknologi, keterampilan dan menciptakan berbagai kreasi yang bermanfaat untuk kemaslahatan hidup. Selain itu sistem sosial-budaya yang islami juga akan mampu menjadi filter dan pengendali terhadap berbagai aktifitas yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat, dimana satu sama lain akan menyadari tentang kewajiban amar ma’ruf nahyi munkar, yang dengan aktifitas ini maka hasil pendidikan di sekolah dapat bersinergi dengan pengaplikasiannya di masyarakat. Adapun ideologi, merupakan aspek yang sangat berpengaruh terhadap pendidikan karena antara keduanya saling mempengaruhi, yakni pendidikan merupakan salah satu proses menginternalisasikan ideologi kepada semua warga negara dan ideologi merupakan asas bagi penyelenggaran sistem pendidikan tersebut.
Dengan demikian maka pengaruh berbagai sistem lainnya terhadap keberhasilan penyelenggaran sistem pendidikan islam memiliki keterkaitan yang erat. Sedangkan Boundary (sistem yang menaungi semua sistem) terhadap berbagai sistem tersebut adalah sistem pemerintahan/ negara. Oleh karenanya perjuangan terhadap terlaksananya sistem pendidikan yang berbasis syari’ah juga tidak terlepas dari perjuangan terhadap wajibnya menegakan kembali institusi Daulah Khilafah Islamiyah sebagai institusi yang akan menjamin penerapan hukum-hukum islam dalam semua aspek secara kaffah.

D. Kebijakan tentang Penyelenggaraan Pendidikan Islam
Terminologi pendidikan Islam bagi penulis akan merujuk pada konteks makna institusi, proses dan subject matter (kurikulum) (Idrus, 1997). Institusi akan berkonotasi pada lembaga-lembaga pendidikan Islam formal (mulai dari MI, M.Ts., MA PT Islam) maupun non-formal (pondok pesantren, sekolah diniyah, TPA). Untuk pendidikan berbentuk perguruan tinggi Islam. Meski untuk pendidikan tinggi, Zamroni (1995) pernah mengajukan sinyalemen bahwa model pendidikan tinggi Islam pada dasarnya merupakan implementasi dari sistem pendidikan tinggi sekuler barat yang ditambah dengan mata kuliah agama Islam.
Sementara itu, proses merujuk pada situasi interaktif antara pendidik dengan peserta didik beserta lingkungan pendidikan yang menyertainya. Dengan begitu, proses yang berlangsung di dalamnya seharusnya diarahkan untuk menimbulkan pertumbuhan kepribadian manusia yang seimbang dalam pelbagai aspek, dan mampu mengantarkan manusia untuk menyerahkan diri kepada Allah SWT baik secara individual ataupun kolektif. Adapun subject matter dapat dipahami sebagai kurikulum atau dalam makna yang lebih sempit adalah mata pelajaran/mata kuliah yang diberikan kepada peserta didik.
Di lihat dari sisi manapun, pendidikan Islam memiliki peran dalam konteks pendidikan nasional. Hanya saja harus pula dimaklumi dan dipahami jika hingga hari ini secara kelembagaan pendidikan Islam kerap menempati posisi kedua dalam banyak situasi. Sebagai misal, jurusan yang menawarkan pendidikan Islam kurang banyak peminatnya, jika dibandingkan dengan jurusan lain yang dianggap memiliki orientasi masa depan yang lebih baik. Dalam hal pengembangan kelembagaan akan pula terlihat betapa program studi/sekolah yang berada di bawah pengelolaan dan pengawasan Departemen Agama tidak selalu yang terjadi di bawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), bahkan harus dengan tertatih untuk menyesuaikan dengan yang terjadi di sekolah-sekolah umum tersebut.
Meski disadari betapa pentingnya posisi pendidikan Islam dalam konteks pendidikan nasional. Namun, harus pula diakui hingga saat ini posisi pendidikan Islam belum beranjak dari sekadar sebuah subsistem dari sistem besar pendidikan nasional. Barangkali itulah yang menjadikan Ahmadi dalam pidato pengukuhan guru besarnya menyatakan posisi pendidikan Islam hanya sekadar suplemen (Dalam Rozihan. http://www.suaramerdeka.com/harian/0501/07/opi3.htm).
Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, diharapkan dapat membawa perubahan pada sisi menagerial dan proses pendidikan Islam. PP tersebut secara eksplisit mengatur bagaimana seharusnya pendidikan keagamaan Islam (bahasa yang digunakan PP untuk menyebut pendidikan Islam), dan keagamaan lainnya diselenggarakan.
Dalam pasal 9 ayat (1) disebutkan, ”Pendidikan keagamaan meliputi pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu”. Pasal ini merupakan pasal umum untuk menjelaskan ruang lingkup pendidikan keagamaan. Selanjutnya pada ayat (2) pasal yang sama disebutkan tentang siapa yang menjadi pengelola pendidikan keagamaan baik yang formal, non-formal dan informal tersebut, yaitu Menteri Agama.
Dari sini jelas bahwa tanggungjawab dalam proses pembinaan dan pengembangan pendidikan Islam/dan atau keagamaan Islam menjadi tanggungjawab menteri agama. Tentunya mengingat posisi menteri agama bukan hanya untuk kalangan Islam saja, maka beban menteri agama juga melebar pada penyelenggaraan pendidikan agama lain non Islam, di samping beban administratif lain terkait dengan ruang lingkup penyelenggaraan agama dan prosesi keagamaan untuk seluruh agama-agama yang diakui di Indonesia.
Mencermati betapa beratnya beban yang diemban oleh menteri agama, tampaknya memang perlu dipikir ulang untuk kembali mengajukan ide penyelenggaraan pendidikan dalam satu atap di bawah departemen pendidikan saja, dan tidak terpecah sebagaimana sekarang ini.
Salah satu alasan terkuat mengapa perlu penyatuan pendidikan di bawah satu atap adalah, dalam menentukan kebijakan pengelolaan pendidikan, terutama yang berkaitan dengan masalah akademis selama ini Depag selalu mengikuti kebijakan yang dibuat oleh Depdiknas. Inovasi-inovasi pembelajaran lebih banyak muncul kali pertama dari Depdiknas bukan dari Depag. Dengan sendirinya, Depag kerap selalu menunggu adanya inovasi ataupun kebijakan pengelolaan yang akan dikeluarkan oleh Depdiknas. Dalam catatan sejarah pendidikan nasional, hampir tidak banyak inovasi yang dilakukan Depag yang benar-benar berbeda dengan yang dikembangkan oleh Depdiknas.
Kenyataan ini jelas tidak dapat dipungkiri, cermati saja bagaimana kebijakan tentang Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) terasa betapa dominasi Depdiknas dalam pengembangan dan penerapannya begitu kentara. Sementara itu, Depag tetap setia mengikutinya. Untuk kasus yang lebih baru, Depag juga tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan mata uji apa saja yang harus ditempuh oleh peserta didik yangmengikuti pendidikan di M.Ts dan MA/MAK saat penentuan kelulusan (simak kasus ujian nasional dan ujian sekolah)
Selain itu dari sisi managerial madrasah dikelola Departemen Agama yang tidak memiliki dana yang cukup untuk membiaya madrasah yang jumlahnya sangat banyak, di samping Depag tidak memiliki sumber tenaga kependidikan yang memadai untuk mengelola madrasah, jika dibandingkan dengan Diknas.
Sebagai misal anggaran Dirjen Pendidikan Islam tahun 2007 adalah senilai Rp 7 triliun. Angka sebesar itu diperuntukkan bagi banyak komponen pendidikan seperti gaji guru dan tenaga kependidikan (57,1% ), dana BOS BKM, BOS buku (25,7%), sisanya sebagai anggaran tupoksi 4 direktorat Depag pusat dan bidang Mapenda serta Pontren di 32 Kanwil Depag Provinsi (17,1%) atau sekitar Rp 1,2 triliun. Saat ini anggaran pendidikan Islam di Depag diprediksi 20% dari anggaran pendidikan di Depdiknas (bukan dari APBN) (Mulyana. 2008).
Untuk tingkat pendidikan tinggi, ketergantungan Depag terhadap Depdiknas juga terasa. Sebut saja permasalahan tentang pengakuan kepangkatan (jabatan akademik) dosen perguruan tinggi Islam yang masih tetap harus sepengtahuan dari Depdiknas, bahkan Depdiknaslah yang menentukan kepangkatan dosen PT Islam untuk jabatan Lektor Kepala dan Guru Besar.
Jalur yang harus ditempuh seorang dosen PT Islam untuk mendapatkan jabatan guru besar pertama yang bersangkutan harus mengajukan pada institusinya, kemudian mengajukan ke Depag di jakarta, setelah ke Depdiknas. Surat Keputusannya pengangkatan guru besarpun ditandatangani oleh Mendiknas, bukan oleh Menag. Jalur ini akan semakin panjang jika dosen tersebut adalah dosen PT Islam Swasta, yang harus pula melewati Kopertais dan Kopertis. Hal ini jelas suatu ironi, betapa penyelenggara pendidikan tidak dapat berbuat banyak untuk menentukan langkah-langkah inovasi yang dibutuhkan dalam proses penyelengaraan institusi pendidikan.
Selain itu seandainya terjadi penyimpangan dalam penyelenggaraan pendidikan keaagamaan, maka jika untuk pendidikan tinggi maka posisi menteri agama sebagaimana pasal 7 ayat (1) a hanya sebagai pemberi pertimbangan dan bukan pengambil keputusan. Adapun pengambil keputusan untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah dilakukan oleh bupati/walikota, dan masukan pertimbangan diberikan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota. Sekali lagi hal ini menunjukkan betapa Depag beserta jajarannya hingga yang paling bawah, tidak memiliki kekuasaan dalam proses penyelenggaraan pendidikan keagamaan sekalipun.
Untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah lembaga penyelenggara pendidikan keagamaan Islam adalah MI, M.Ts dan MA/MAK. Meski sebenarnya penyebutan lembaga-lembaga tersebut tidak secara ekplisit, namun sebagai penjelasan tentang kemungkinan perpindahan peserta didik dalam jenjang pendidikan yang setara (Pasal 11). Dalam UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 Pasal 17 ayat (2) juga memang disebutkan untuk jenjang pendidikan dasar, yaitu MI, M.Ts., dan Pasal 18 ayat (3) jenjang pendidikan menengah bagi pendidikan Islam adalah MA dan MAK. Hanya saja khusus untuk pendidikan keagamaan baik dalam UU Sisdiknas Pasal 30 ayat (4) ataupun PP No. 55 pasal 14 ayat (1) berbentuk pendidikan diniyah, dan pesantren. Ayat (2) dan ayat (3) menjelaskan bahwa kedua model pendidikan tersebut dapat diselenggarakan pada jalur formal, nonformal dan informal.
Lantas pertanyaannya adalah bagaimana posisi MI, M.Ts., MA/MAK dan PT Islam penyelenggara pendidikan keagamaan Islam? Apakah juga berposisi sama dengan diniyah dan pesantren? Sebab pada akhirnya pada pasal 16 UU Sisdiknas disebutkan bentuk kelembagaan dari proses pendidikan diniyah juga menggunakan nama MI, M.Ts. MA/MAK untuk menyebut pendidikan diniyah dasar, dan pendidikan diniyah menengah.
Tema menarik lain dalam PP 55 tahun 2007 ini adalah kemandirian dan kekhasan pendidikan keagamaan sebagaimana tercantum dalam pasal 12 ayat (2) yaitu ”Pemerintah melindungi kemandirian dan kekhasan pendidikan keagamaan selama tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional? Sejak dahulu kekhasan pendidikan diniyah dan pesantren adalah hanya mengajarkan materi agama Islam saja, dan tidak materi lain.
Namun dalam pasal 18 PP No. 55 tahun 2007 disebutkan untuk pendidikan diniyah formal pada ayat (1) Kurikulum pendidikan diniyah dasar formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam dalam rangka pelaksanaan program wajib belajar. Begitu juga untuk pendidikan diniyah menengah formal Kurikulum pendidikan diniyah menengah formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, ilmu pengetahuan alam, serta seni dan budaya.
Jika memang ada keinginan pemerintah untuk memberi pilihan kemandirian dan kekhasan pada ”sekolah?di lingkup pendidikan Islam, tentunya tidak akan ada lagi narasi sebagaimana pada pasal 18 ayat (1) disinilah terjadi benturan yang perlu disikapi secara lebih bijak. Sebab, sejak awal hadirnya pendidikan Islam tampaknya lebih kuat ke arah pendidikan non-formal, dan bukan formal sebagaimana pada pasal-pasal di atas. Selain itu, materi yang banyak diajarkan adalah berkisar tema-tema agama, dan tidak membicarakan mata pelajaran sebagaimana yang dimaksud.
Jika yang dimaksud adalah MI, M.Ts., MA/MAK sebagai wujud dari sekolah formal pendidikan Islam, maka sejarah telah mencatat saat ini proporsi kurikulum bidang agama dengan kurikulum bidang kajian umum di madrasah dapat dinyatakan telah meninggalkan ciri madrasah sebagai pendidikan keagamaan Islam. Proporsi 70% bidang umum dan 30% bidang agama, lebih dimaksudkan untuk penyetaraan pendidikan di madrasah dengan sekolah pada jenjang yang sama.
Lantas apakah dengan penambahan proporsi kurikulum bidang umum lebih tinggi dibanding kurikulum bidang agama dapat serta merta meningkatkan mutu pendidikan di madrasah? Pada kenyataannya malah terjadi dampak yang tidak selamanya positif. Sebut saja masalah jati diri madrasah.
Sejak mula hadir sebenarnya madrasah lebih berfokus pada pendidikan keagamaan dan keislaman. Dengan perubahan orientasi tersebut justru madrasah saat ini kehilangan jati dirinya, dan lebih parah lagi kesulitan pula untuk merebut peran dalam konteks pendidikan nasional, jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum di bawah pembinaan Depdiknas.
Pada masa-masa yang akan datang, dalam hal pengembangan kurikulum, tampaknya madrasah masih akan terus dihadapkan pada dilema dikotomi keilmuan. Setia dengan tujuan awal hadirnya sebagai pengembang ilmu-ilmu keislaman, atau sesuai dengan tuntutan kebutuhan pasar melakukan perubahan kurikulum yang ukurannya adalah pragmatism sebagai upaya pemenuhan kebutuhan hidup peserta didik. Tentu saja , pilihan atas itu semua akan memiliki resiko yang tidak sama dalam pengembangan materi pembelajaran, orientasi serta proses pembelajarannya.
Sementara itu untuk pendidikan diniyah non-formal disebutkan dalam pasal 21 ayat (1) yaitu, Pendidikan diniyah nonformal diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab, Majelis Taklim, Pendidikan Al Qur'an, Diniyah Takmiliyah, atau bentuk lain yang sejenis. Adapun untuk proses penyelenggaraannya tertuang dalam pasal yang sama ayat (5) Penyelenggaraan diniyah takmiliyah dapat dilaksanakan secara terpadu dengan SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau pendidikan tinggi.
Jika untuk lembaga pendidikan keagamaan Islam yang diformalkan saja memiliki banyak hambatan, maka persoalan yang senada juga pasti dialami oleh pendidikan diniyah non-formal. Tentunya bentuk-bentuk pendidikan diniyah nonformal di atas lebih dimaksudkan sebagai upaya menyiasati ketidakmungkinan peserta didik mengikuti proses pendidikan secara formal. Hanya saja jika itu terjadi, maka persoalannya pada bagaimana upaya kesetaraannya? Lembaga mana yang akan dijadikan sebagai model ideal bagi penyetaraan pendidikan diniyah non-formal ini?
Sementara persoalan pendidikan kesetaraan di lingkup Depdiknas sendiri belum seluruhnya tuntas, setidaknya untuk masalah home scooling yang hingga hari ini masih tarik ulur tentang penyelenggaraannya. Tentunya Depag juga harus mulai antisipasi untuk membuat desain model penyetaraan bagi pendidikan diniyah non-formal ini. Sebab rasanya tidak adil, tidak menghargai mereka yang telah menempuh pendidikan selama kurun waktu tertentu, namun tidak memberi atribut kelulusannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar