BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pembahasan mengenai  kurikulum tidak mungkin dilepaskan dari pengertian kurikulum, posisi  kurikulum dalam pendidikan, dan proses pengembangan suatu kurikulum.  Pembahasan mengenai ketiga hal ini dalam urutan seperti itu sangat  penting karena pengertian seseorang terhadap arti kurikulum menentukan  posisi kurikulum dalam dunia pendidikan dan pada gilirannya posisi  tersebut menentukan proses pengembangan kurikulum.Ketiga pokok bahasan  itu dikemukakan dalam makalah ini dalam urutan seperti itu.
Pembahasan mengenai  pengertian ini penting karena ada dua alasan utama. Pertama, seringkali  kurikulum diartikan dalam pengertian yang sempit dan teknis. Dalam kotak  pengertian ini maka definisi yang dikemukakan mengenai pengertian  kurikulum kebanyakan adalah mengenai komponen yang harus ada dalam suatu  kurikulum. Untuk itu berbagai definisi diajukan para  akhli sesuai dengan pandangan teoritik atau praktis yang dianutnya. Ini  menyebabkan studi tentang kurikulum dipenuhi dengan hutan definisi  tentang arti kurikulum. 
Alasan  kedua adalah karena definisi yang digunakan akan sangat berpengaruh  terhadap apa yang akan dilakukan oleh para pengembang kurikulum.  Pengertian sempit atau teknis kurikulum yang digunakan untuk  mengembangkan kurikulum adalah sesuatu yang wajar dan merupakan sesuatu  yang harus dikerjakan oleh para pengembang kurikulum. Sayangnya,  pengertian yang sempit itu turut pula mnyempitkan posisi kurikulum dalam  pendidikan sehingga peran pendidikan dalam pembangunan individu,  masyarakat, dan bangsa menjadi terbatas pula. 
Pembahasan  mengenai posisi kurikulum adalah penting karena posisi itu akan  memberikan pengaruh terhadap apa yang harus dilakukan kurikulum dalam  suatu proses pendidikan. Tidak seperti halnya dengan pengertian  kurikulum para akhli kurikulum tidak banyak berbeda dalam posisi  kurikulum. Kebanyakan mereka memiliki kesepakatan dalam menempatkan  kurikulum di posisi sentral dalam proses pendidikan. Kiranya bukanlah  sesuatu yang berlebihan jika dikatakan bahwa proses pendidikan  dikendalikan, diatur, dan dinilai berdasarkan criteria yang ada dalam  kurikulum. Pengecualian dari ini adalah apabila proses pendidikan itu  menyangkut masalah administrasi di luar isi pendidikan. Meski pun  demikian terjadi perbedaan mengenai koordinat posisi sentral tersebut  dimana ruang lingkup setiap koordinat ditentukan oleh pengertian  kurikulum yang dianut. 
Pembahasan  mengenai proses pengembangan kurikulum merupakan terjemahan dari  pengertian kurikulum dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan dalam  bentuk berbagai kegiatan pengembangan. Pengertian dan posisi kurikulum  akan menentukan ap yang seharusnya menjadi perhatian awal para  pengembang kurikulum, mengembangkan ide kurikulum, mengembangkan ide  dalam bentuk dokumen kurikulum, proses implementasi, dan proses evaluasi  kurikulum. Pengertian dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan  menentukan apa yang seharusnya menjadi tolok ukur keberhasilan  kurikulum, sebagai bagian dari keberhasilan pendidikan. 
1.2.Tujuan Penulisan
- Dapat mengetahui Sejarah Perkembangan Kurikulum di Indonesia
- Dapat mengetahui seberapa berpengaruhnya kurikulum dalam pendidikan di Indonesia.
1.3.Kegunaan Penelitian
Dari hasil penelitian, penulis mengharapkan manfaat sebagai berikut :
- Bagi Penulis, dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang sejarah Kurikulum Indonesia.
- Secara Akademis, memenuhi salah satu syarat tugas mata kuliah “ Pembelajaran Ekonomi Akuntansi Persekolahan” Semester 5, Jurusan Ekonomi Akuntansi di Universitas Pasundan Bandung,
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1. Pengertian Kurikulum
Dalam banyak literature  kurikulum diartikan sebagai: suatu dokumen atau rencana tertulis  mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik  melalui suatu pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa  kurikulum harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen atau rencana  tertulis. Dokumen atau rencana tertulis itu berisikan pernyataan  mengenai kualitas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang  mengikuti kurikulum tersebut. Pengertian kualitas pendidikan di sini  mengandung makna bahwa kurikulum sebagai dokumen merencanakan kualitas  hasil belajar yang harus dimiliki peserta didik, kualitas bahan/konten  pendidikan yang harus dipelajari peserta didik, kualitas proses  pendidikan yang harus dialami peserta didik. Kurikulum dalam bentuk  fisik ini seringkali menjadi fokus utama dalam setiap proses  pengembangan kurikulum karena ia menggambarkan ide atau pemikiran para  pengambil keputusan yangdigunakan sebagai dasar bagi pengembangan  kurikulum sebagai suatu pengalaman.
Aspek yang tidak  terungkap secara jelas tetapi tersirat dalam definisi kurikulum sebagai  dokumen adalah bahwa rencana yang dimaksudkan dikembangkan berdasarkan  suatu pemikiran tertentu tentang kualitas pendidikan yang diharapkan.  Perbedaan pemikiran atau ide akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam  kurikulum yang dihasilkan, baik sebagai dokumen mau pun sebagai  pengalaman belajar. Oleh karena itu Oliva (1997:12) mengatakan  “Curriculum itself is a construct or concept, a verbalization of an  extremely complex idea or set of ideas”.
Selain kurikulum  diartikan sebagai dokumen, para akhli kurikulum mengemukakan berbagai  definisi kurikulum yang tentunya dianggap sesuai dengan konstruk  kurikulum yang ada pada dirinya. Perbedaan pendapat para akhli  didasarkan pada isu berikut ini:
- filosofi kurikulum
- ruang lingkup komponen kurikulum
- polarisasi kurikulum - kegiatan belajar
- posisi evaluasi dalam pengembangan kurikulum
Pengaruh pandangan  filosofi terhadap pengertian kurikulum ditandai oleh pengertian  kurikulum yang dinyatakan sebagai “subject matter”, “content” atau  bahkan “transfer of culture”. Khusus yang mengatakan bahwa kurikulum  sebagai “transfer of culture” adalah dalam pengertian kelompok akhli  yang memiliki pandangan filosofi yang dinamakan perennialism (Tanner dan  Tanner, 1980:104). Filsafat ini memang memiliki tujuan  yang sama dengan essentialism dalam hal intelektualitas. Seperti  dikemukakan oleh Tanner dan Tanner (1980:104-113) keduanya pandangan  filosofi itu berpendapat bahwa adalah tugas kurikulum untuk  mengembangkan intelektualitas. Dalam istilah yang digunakan Tanner dan  Tanner (1980:104) perennialism mengembangkan kurikulum yang merupakan  proses bagi “cultivation of the rational powers: academic excellence”  sedangkan essentialism memandang kurikulum sebagai rencana untuk  mengembangkan “academic excellence dan cultivation of intellect”. Perbedaan  antara keduanya adalah menurut pandangan perenialism “the cultivation  of the intellectual virtues is accomplish only through permanent studies  that constitute our intellectual inheritance”. Permanent studies adalah  konten kurikulum yang berdasarkan tradisi Barat terdiri atas Great  Books, reading, rhetoric, and logic, mathematics. Sedangkan bagi  essentialism beranggapan bahwa kurikulum haruslah mengembangkan “modern  needs through the fundamental academic disciplines of English,  mathematics, science, history, and modern languages” (Tanner dan Tanner,  1980:109)
Perbedaan ruang lingkup  kurikulum juga menyebabkan berbagai perbedaan dalam definisi. Ada yang  berpendapat bahwa kurikulum adalah “statement of objectives” (McDonald;  Popham), ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rencana bagi guru  untuk mengembangkan proses pembelajaran atau instruction (Saylor,  Alexander,dan Lewis, 1981) Ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah  dokumen tertulis yang berisikan berbagai komponen sebagai dasar bagi  guru untuk mengembangkan kurikulum guru (Zais,1976:10). Ada juga  pendapat resmi negara seperti yang dinyatakan dalam Undang-Undang nomor  20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa kurikulum adalah “seperangkat  rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaranserta  cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan  pembelajaran untukmencapai tujuan pendidikan tertentu” (pasal 1 ayat  19).
Definisi yang  dikemukakan terdahulu menggambarkan pengertian yang membedakan antara  apa yang direncanakan (kurikulum) dengan apa yang sesungguhnya terjadi  di kelas (instruction atau pengajaran). Memang banyak akhli kurikulum  yang menentang pemisahan ini tetapi banyak pula yang menganut pendapat  adanya perbedaan antara keduanya. Kelompok yang menyetujui pemisahan itu  beranggapan bahwa kurikulum adalah rencana yang mungkin saja terlaksana  tapi mungkin juga tidak sedangkan apa yang terjadi di sekolah/kelas  adalah sesuatu yang benar-benar terjadi yang mungkin berdasarkan rencana  tetapi mungkin juga berbeda atau bahkan menyimpang dari apa yang  direncanakan. Perbedaan titik pandangan ini tidak sama dengan perbedaan  cara pandang antara kelompok akhli kurikulum dengan akhli teaching  (pangajaran). Baik akhli kurikulum mau pun pengajaran mempelajari  fenomena kegiatan kelas tetapi dengan latar belakang teoritik dan tujuan  yang berbeda.
Istilah dalam kurikulum  seperti “planned activities”, “written document”, “curriculum as  intended”, “curriculum as observed”, “hidden curriculum”,”curriculum as  reality”, “school directed experiences”, “learner actual experiences”  menggambarkan adanya perbedaan antara kurikulum dengan apa yang terjadi  di kelas. Definisi yang dikemukakan oleh Unruh dan Unruh (1984:96)  mewakili pandangan ini dimana mereka menulis curriculum is defined  as a plan for achieving intended learning outcomes: a plan concerned  with purposes, with what is to be learned, and with the result of  instruction. Olivia (1997:8.) mengatakan bahwa we may think of  the curriculum as a program, a plan, content, and learning experiences,  whereas we may characterize instruction as methods, the teaching act,  implementation, and presentation. Olivia (1997:8) termasuk orang  yang setuju dengan pemisahan antara kurikulum dengan pengajaran dan  merumuskan kurikulum sebagai a plan or program for all the experiences that the learner encounters under the direction of the school. Lebih lanjut ia mengatakan (Olivia, 1997:9) I feel that the cyclical has much to recommend. Pandangan yang menyatakan bahwa keduanya adalah kurikulum diwakili oleh pendapat Marsh (1997:5) yang menulis curriculum is an interrelated set of plans and experiences which a student completes under the guidance of the school. Pandangan ini sejalan dengan Schubert (1986:6) dengan mengatakan the  interpretation that teachers give to subject matter and the classroom  atmosphere constitutes the curriculum that students actually experience.
Pengertian  di atas menggambarkan definisi kurikulum dalam arti teknis pendidikan.  Pengertian tersebut diperlukan ketika proses pengembangan kurikulum  sudah menetapkan apa yang ingin dikembangkan, model apa yang seharusnya  digunakan dan bagaimana suatu dokumen harus dikembangkan. Kebanyakan  dari pengertian itu berorientasi pada kurikulum sebagai upaya untuk  mengembangkan diri peserta didik, pengembangan disiplin ilmu, atau  kurikulum untuk mempersiapkan peserta didik untuk suatu pekerjaan  tertentu. Doll (1993:47-51) menamakannya sebagai “the scientific curriculum” dan menyimpulkan sebagai “clouded and myopic”.
Selanjutnya Dool (1993:57) memperkuat pendapatnya tentang kurikulum yang ada sekarang dengan mengatakan:
Education and  curriculum have borrowed some concepts from the stable, nonechange  concept - for example, children following the pattern of their parents,  IQ as discovering and quantifying an innate potentiality. However, for  the most part modernist curriculum thought have adopted the closed  version, one where - trough focusing - knowledge is transmitted,  transferred. This is, I believe, what our best contemporary schooling is  all about. Transmission frames our teaching-learning process.
Dengan transfer dan  transmisi maka kurikulum menjadi suatu focus pendidikan yang ingin  mengembangkan pada diri peserta didik apa yang sudah terjadi dan  berkembang di masyarakat. Kurikulum tidak menempatkan peserta didik  sebagai subjek yang mempersiapkan dirinya bagi kehidupan masa dating  tetapi harus mengikuti berbagai hal yang dianggap berguna berdasarkan  apa yang dialami oleh orang tua mereka.
Dalam  konteks ini maka disiplin ilmu memiliki posisi sentral yang menonjol  dalam kurikulum. Kurikulum, dan pendidikan, haruslah mentransfer  berbagai disiplin ilmu sehingga peserta didik menjadi warga masyarakat  yang dihormati. Teori tentang IQ bekerja untuk terutama intelektualitas  dalam pengertian disiplin ilmu karena logic yang dikembangkan dalam tes  IQ adalah logic disiplin ilmu dan secara lebih khusus adalah logika  matematika. Oleh karena itu tidaklah salah dikatakan bahwa matematika  adalah dasar pengembangan pendidikan logika. 
Gambaran  serupa disajikan oleh Jacobs (1999) yang membahas mengenai kurikulum di  Afrika. Hal ini amat difahami jika kurikulum diartikan dari pandangan  kependidikan yang menempatkan ilmu atau disiplin ilmu di atas segalanya  (perennialism atau pun essentialism). Jacobs (1999:100) menggunakan  istilah liberal theory untuk kedua pandangan ini. Sedangkan istilah  perenialisme dan essentialism banyak digunakan oleh para akhli lainnya  seperti Schubert (1986), Longstreet dan Shane (1993), Print (1993),  Olivia (1997) 
Banyak  kecaman terhadap pengertian kurikulum yang dikembangkan dari pandangan  filosofis ini walau pun dalam kenyataannya masih banyak orang dan  pengambil kebijakan yang menganut pandangan ini. Kurikulum di Indonesia  masih didominasi oleh pandangan ini. Konten kurikulum dalam pandangan  ini adalah materi yang dikembangkan dari disiplin ilmu; tujuan adalah  penguasaan konsep, teori, atau hal yang terkait dengan disiplin ilmu. 
Suatu  hal yang jelas bahwa definisi kurikulum oleh kelompok “conservative”  (perenialism dan essentialism), kelompok “romanticism” (romantic  naturalism), “existentialism” mau pun “progressive” (experimentalism,  reconstructionism) hanya memusatkan perhatian pada fungsi “transfer”  dari apa yang sudah terjadi dan apa yang sedang terjadi. Pada aliran  progresif kelompok rekonstruksionis dapat dikatakan berbeda dari lainnya  karena kelompok ini tidak hanya mengubah apa yang ada pada saat  sekarang tetapi juga membentuk apa yang akan dikembangkan. Walau  pun tidak begitu jelas tetapi pada pandangan ini sudah ada upaya untuk  “shaping the future” dan bukan hanya “adjusting, mending or  reconstructing the existing conditions of the life of community”.  Seperti dikemukakan oleh McNeil (1977:19):
Social  reconstructionists are opposed to the notion that the curriculum should  help students adjusts or fit the existing society. Instead, they  conceive of curriculum as a vehicle for fostering critical discontent  and for equipping learners with the skills needed for conceiving new  goals and affecting social change.
Secara mendasar, ada  kekhawatiran bahwa kurikulum hanya memikirkan kerusakan atau persoalan  social yang ada dan meninggalkan sama sekali apa yang sudah dihasilkan.  Kontinuitas kehidupan dan perkembangan masyarakat dikhawatirkan akan  terganggu.
Pandangan rekonstruksi  social di atas menyebabkan kurikulum haruslah diredefinisikan kembali  sehingga ia tidak mediocre karena hanya menfokuskan diri pada transfer  kejayaan masa lalu, pengembangan intelektualitas, atau pun menyiapkan  peserta didik untuk kehidupan masa kini. Padahal masa kini adalah  kelanjutan dari masa lalu dan masa kini akan terus berubah dan sukar  diprediksi. Kemajuan teknologi pada akhir kedua abad keduapuluh telah  memberikan velocity perubahan pada berbagai aspek kehidupan pada tingkat  yang tak pernah dibayangkan manusia sebelumnya. Pendidikan harus lah  aktif membentuk dan mengembangkan potensi peserta didik untuk suatu  kehidupan yang akan dimasukinya dan dibentuknya. Peserta didik akan  menjadi anggota masyarakat yang secara individu maupun kelompok tidak  hanya dibentuk oleh masyarakat (dalam posisi menerima = pasif) tetapi  harus mampu memberi dan mengembangkan masyarakat ke arah yang diinginkan  (posisi aktif). Artinya, kurikulum merupakan rancangan dan kegiatan  pendidikan yang secara maksimal mengembangkan potensi kemanusiaan yang  ada pada diri seseorang baik sebagai individu mau pun sebagai anggota  masyarakat untuk kehidupan dirinya, masyarakat, dan bangsanya di masa  mendatang.
2.2. Proses Kurikulum dalam Pendidikan
Kurikulum memiliki posisi sentral dalam setiap upaya pendidikan Klein, 1989:15). Dalam  pengertian kurikulum yang dikemukakan di atas harus diakui ada kesan  bahwa kurikulum seolah-olah hanya dimiliki oleh lembaga pendidikan  modern dan yang telah memiliki rencana tertulis. Sedangkan lembaga  pendidikan yang tidak memiliki rencana tertulis dianggap tidak memiliki  kurikulum. Pengertian di atas memang pengertian yang diberlakukan untuk  semua unit pendidikan dan secara administratif kurikulum harus terekam  secara tertulis.
Posisi sentral ini  menunjukkan bahwa di setiap unit pendidikan kegiatan kependidikan yang  utama adalah proses interaksi akademik antara peserta didik, pendidik,  sumber dan lingkungan. Posisi sentral ini menunjukkan pula bahwa setiap  interaksi akademik adalah jiwa dari pendidikan. Dapat dikatakan bahwa  kegiatan pendidikan atau pengajaran pun tidak dapat dilakukan tanpa  interaksi dan kurikulum adalah desain dari interaksi tersebut.
Dalam posisi maka  kurikulum merupakan bentuk akuntabilitas lembaga pendidikan terhadap  masyarakat. Setiap lembaga pendidikan, apakah lembaga pendidikan yang  terbuka untuk setiap orang ataukah lembaga pendidikan khusus haruslah  dapat mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya terhadap masyarakat.  Lembaga pendidikan tersebut harus dapat memberikan “academic  accountability” dan “legal accountability” berupa kurikulum. Oleh karena  itu jika ada yang ingin mengkaji dan mengetahui kegiatan akademik apa  dan apa yang ingin dihasilkan oleh suatu lembaga pendidikan maka ia  harus melihat dan mengkaji kurikulum. Jika seseorang ingin mengetahui  apakah yang dihasilkan ataukah pengalaman belajar yang terjadi di  lembaga pendidikan tersebut tidak bertentangan dengan hukum maka ia  harus mempelajari dan mengkaji kurikulum lembaga pendidikan tersebut.
Dalam pengertian  “intrinsic” kependidikan maka kurikulum adalah jantung pendidikan  Artinya, semua gerak kehidupan kependidikan yang dilakukan sekolah  didasarkan pada apa yang direncanakan kurikulum. Kehidupan di sekolah  adalah kehidupan yang dirancang berdasarkan apa yang diinginkan  kurikulum. Pengembangan potensi peserta didik menjadi kualitas yang  diharapkan adalah didasarkan pada kurikulum. Proses belajar yang dialami  peserta didik di kelas, di sekolah, dan di luar sekolah dikembangkan  berdasarkan apa yang direncanakan kurikulum. Kegiatan evaluasi untuk  menentukan apakah kualitas yang diharapkan sudah dimiliki oleh peserta  didik dilakukan berdasarkan rencana yang dicantumkan dalam kurikulum.  Oleh karena itu kurikulum adalah dasar dan sekaligus pengontrol terhadap  aktivitas pendidikan. Tanpa kurikulum yang jelas apalagi jika tidak ada  kurikulum sama sekali maka kehidupan pendidikan di suatu lembaga  menjadi tanpa arah dan tidak efektif dalam mengembangkan potensi peserta  didik menjadi kualitas pribadi yang maksimal.
Untuk menegakkan  akuntabilitasnya maka kurikulum tiak boleh hanya membatasi diri pada  persoalan pendidikan dalam pandangan perenialisme atau esensialisme.  Kedua pandangan ini hanya akan membatasi kurikulum, dan pendidikan,  dalam kepeduliaannya. Kurikulum dan pendidikan melepaskan diri dari  berbagai masalah social yang muncul, hidup, dan berkembang di  masyarakat. Kurikulum menyebabkan sekolah menjadi lembaga menara gading  yang tidak terjamah oleh keadaan masyarakat dan tidak berhubungan dengan  masyarakat. Situasi seperti ini tidak dapat dipertahankan dan kurikulum  harus memperhatikan tuntutan masyarakat dan rencana bangsa untuk  kehidupan masa mendatang. Problema masyarakat harus dianggap sebagai  tuntutan, menjadi kepeduliaan dan masalah kurikulum. Apakah kurikulum  bersifat mengembangkan kualitas peserta didik yang diharapkan dapat  memperbaiki masalah dan tatangan masyarakat ataukah kurikulum merupakan  upaya pendidikan membangun masyarakat baru yang diinginkan bangsa  menempatkan kurikulum pada posisi yang berbeda.
Secara singkat, posisi  kurikulum dapat disimpulkan menjadi tiga. Posisi pertama adalah  kurikulum adalah “construct” yang dibangun untuk mentransfer apa yang  sudah terjadi di masa lalu kepada generasi berikutnya untuk  dilestarikan, diteruskan atau dikembangkan. Pengertian kurikulum  berdasarkan pandangan filosofis perenialisme dan esensialisme sangat  mendukung posisi pertama kurikulum ini. Kedua, adalah kurikulum  berposisi sebagai jawaban untuk menyelesaikan berbagai masalah social  yang berkenaan dengan pendidikan. Posisi ini dicerminkan oleh pengertian  kurikulum yang didasarkan pada pandangan filosofi progresivisme. Posisi  ketiga adalah kurikulum untuk membangun kehidupan masa depan dimana  kehidupan masa lalu, masa sekarang, dan berbagai rencana pengembangan  dan pembangunan bangsa dijadikan dasar untuk mengembangkan kehidupan  masa depan.
Secara formal, tuntutan  masyarakat terhadap pendidikan diterjemahkan dalam tujuan pendidikan  nasional, tujuan pendidikan jenjang pendidikan dan tujuan pendidikan  lembaga pendidikan. Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan besar  pendidikan bangsa Indonesia yang diharapkan tercapai melalui pendidikan  dasar. Apabila pendidikan dasar Indonesia adalah 9 tahun maka tujuan  pendidikan nasional harus tercapai dalam masa pendidikan 9 tahun yang  dialami seluruh bangsa Indonesia. Tujuan di atas pendidikan dasar tidak  mungkin tercapai oleh setiap warganegara karena pendidikan tersebut,  pendidikan menengah dan tinggi, tidak diikuti oleh setiap warga bangsa.  Oleh karena itu kualitas yang dihasilkannya bukanlah kualitas yang harus  dimiliki seluruh warga bangsa tetapi kualitas yang dimiliki hanya oleh  sebagian dari warga bangsa.
Jenjang Pendidikan  Dasar terdiri atas pendidikan Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI)  dan Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) atau program  Paket A dan Paket B. Setiap lembaga pendidikan ini memiliki tujuan yang  berbeda. SD/MI memiliki tujuan yang tidak sama dengan SMP/MTs baik dalam  pengertian ruang lingkup kualitas mau pun dalam pengertian jenjang  kualitas. Oleh karena itu maka kurikulum untuk SD/MI berbeda dari  kurikulum untuk SMP/MTs baik dalam pengertian dimensi kualitas mau pun  dalam pengertian jenjang kualitas yang harus dikembangkan pada diri  peserta didik.
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat (3) menyatakan bahwa kurikulum  disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka  Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: 
- peningkatan iman dan takwa;
- peningkatan akhlak mulia;
- peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
- keragaman potensi daerah dan lingkungan;
- tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
- tuntutan dunia kerja;
- perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
- agama;
- dinamika perkembangan global; dan
- persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
Pasal  ini jelas menunjukkan berbagai aspek pengembangan kepribadian peserta  didik yang menyeluruh dan pengembangan pembangunan masyarakat dan  bangsa, ilmu, kehidupan agama, ekonomi, budaya, seni, teknologi dan  tantangan kehidupan global. Artinya, kurikulum haruslah  memperhatikan permasalahan ini dengan serius dan menjawab permasalahan  ini dengan menyesuaikan diri pada kualitas manusia yang diharapkan  dihasilkan pada setiap jenjang pendidikan (pasal 36 ayat (2).
Secara formal, tuntutan  masyarakat terhadap pendidikan juga diterjemahkan dalam bentuk rencana  pembangunan pemerintah. Rencana besar pemerintah untuk kehidupan bangsa  di masa depan seperti transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat  industri, reformasi dari system pemerintahan sentralistis ke system  pemerintahan disentralisasi, pengembangan berbagai kualitas bangsa  seperti sikap dan tindakan demokratis, produktif, toleran, cinta damai,  semangat kebangsaan tinggi, memiliki daya saing, memiliki kebiasaan  membaca, sikap senang dan kemampuan mengembangkan ilmu, teknologi dan  seni, hidup sehat dan fisik sehat, dan sebagainya. Tuntutan formal  seperti ini harus dapat diterjemahkan menjadi tujuan setiap jenjang  pendidikan, lembaga pendidikan, dan pada gilirannya menjadi tujuan  kurikulum.
Sayangnya, kurikulum  yang dikembangkan di Indonesia masih membatasi dirinya pada posisi  sentral dalam kehidupan akademik yang dipersepsikan dalam pemikiran  perenialisme dan esensialisme. Konsekuensi logis dari posisi ini adalah  kurikulum membatasi dirinya dan hanya menjawab tantangan dalam  kepentingan pengembangan ilmu dan teknologi. Struktur kurikulum 2004  yang memberikan sks lebih besar pada mata pelajaran matematika, sains  (untuk lebih mendekatkan diri pada istilah yang dibenarkan oleh  pandangan esensialis), dan teknologi dengan mengorbankan Pengetahuan  Sosial dan Ilmu Sosial, PPKN/kewarganegaraan, bahasa Indonesia dan  daerah, serta bidang-bidang yang dianggap kurang “penting”. Alokasi  waktu ini adalah “construct” para pengembang kurikulum dan jawaban  kurikulum terhadap permasalahan yang ada.
Kiranya tidak  berlebihan jika dikatakan bahwa kurikulum 2004 gagal menjawab  keseluruhan spectrum permasalahan masyarakat. Kurikulum 2004 hanya  menjawab sebagian (kecil) dari permasalahan yang ada di masyarakat yaitu  rendahnya penguasaan matematika dan ilmu alamiah (sains) yang  diindikasikan dalam tes seperti TIMMS atau tes seperti UAN. Permasalahan  lain yang terjadi di masyarakat dan dirumuskan dalam ketetapan formal  seperti undang-undang tidak menjadi perhatian kurikulum 2004. Tuntutan  dunia kerja yang seharusnya menjadi kepeduliaan besar dalam model  kurikulum berbasis kompetensi tidak muncul karena kompetensi yang  digunakan kurikulum dikembangkan dari diisplin ilmu dan bukan dari dunia  kerja, masyarakat, bangsa atau pun kehidupan global.
Posisi kurikulum yang  dikemukakan di atas barulah pada posisi kurikulum dalam mengembangkan  kehidupan social yang lebih baik. Posisi ketiga yaitu kurikulum  merupakan “construct” yang dikembangkan untuk membangun kehidupan masa  depan sesuai dengan bentuk dan karakteristik masyarakat yang diinginkan  bangsa. Posisi ini bersifat konstruktif dan antisipatif untuk  mengembangkan kehidupan masa depan yang diinginkan. Dalam posisi ketiga  ini maka kurikulum seharusnya menjadi jantung pendidikan dalam membentuk  generasi baru dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik  mengembangkan potensi dirinya memenuhi kualitas yang diperlukan bagi  kehidupan masa mendatang.
Pertanyaan yang muncul  adalah kualitas apa yang harus dimiliki semua manusia Indonesia yang  telah menyelesaikan wajib belajar 9 tahun? Ini adalah kualitas minimal  dan harus dimiliki seluruh anggota bangsa. Jika pasal 36 ayat (3)  Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 dijadikan dasar untuk mengidentifikasi  kualitas minimal yang harus dimiliki bangsa Indonesia maka kurikulum  haus mengembangkannya. Jika mentalitas bangsa Indonesia yang diinginkan  adalah mentalitas baru yang religius, produktif, hemat, memiliki rasa  kebangsaan tinggi, mengenal lingkungan, gemar membaca, gemar  berolahraga, cinta seni, inovatif, kreatif, kritis, demokratis, cinta  damai, cinta kebersihan, disiplin, kerja keras, menghargai masa lalu,  menguasai pemanfatan teknologi informasi dan sebagainya maka kurikulum  harus mampu mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kualitas  tersebut sebagai kualitas dasar atau kualitas minimal bangsa yang  menjadi tugas kurikulum SD/MI dan SMP/MTs.
Jika masa depan  ditandai oleh berbagai kualitas baru yang harus dimiliki peserta didik  yang menikmati jenjang pendidikan menengah maka adalah tugas kurikulum  untuk memberikan peluang kepada peserta didik mengembangkan potensi  dirinya. Jika penguasaan ilmu, teknologi, dan seni di jenjang pendidikan  menengah diarahkan untuk persiapan pendidikan tinggi maka kurikulum  harus mampu memberi kesempatan itu. Barangkali untuk itu sudah saatnya  konstruksi kurikulum SMA dengan model penjurusan yang sudah berusia  lebih dari 50 tahun itu ditinjau ulang. Model baru perlu dikembangkan  yang lebih efektif, bersesuaian dengan kaedah pendidikan, dan didasarkan  pada kajian keilmuan terutama kajian psikologi mengenai minat/interest  sebagai model penjurusan untuk kurikulum SMA.
Posisi kurikulum di  jenjang pendidikan tinggi memang berbeda dari jenjang pendidikan dasar  dan menengah. Jika kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah  lebih memberikan perhatian yang lebih banyak pada pembangunan aspek  kemanusiaan peserta didik maka kurikulum pendidikan tinggi berorientasi  pada pengembangan keilmuan dan dunia kerja. Kedua orientasi ini  menyebabkan kurikulum di jenjang pendidikan tinggi kurang memperhatikan  kualitas yang diperlukan manusia di luar keterkaitannya dengan disiplin  ilmu atau dunia kerja. Dalam banyak kasus bahkan terlihat bahwa  kurikulum pendidikan tinggi tidak juga memperhatikan hal-hal yang  berkenaan dengan kualitas kemanusiaan yang seharusnya terkait dengan  pengembangan ilmu dan dunia kerja. Kualitas kemanusiaan seperti jujur,  kerja keras, menghargai prestasi, disiplin, taat aturan, menghormati hak  orang lain, dan sebagainya terabaikan dalam kurikulum pendidikan tinggi  walau pun harus diakui bahwa Kepmen 232/U/1999 mencoba memberikan  perhatian kepada aspek ini.
2.3. Dasar-dasar Kurikulum
Sebuah kurikulum yang efektif harus dibangun berdasarkan prinsip- prinsip dan stuktur sbb.:
a. Dasar Alkitab
Alkitab  adalah sumber yang menyediakan semua subyek/topik/ prinsip iman Kristen  yang penting untuk diajarkan kepada anak- anak didik. Oleh karena itu  inti kurikulum berpusat pada Alkitab, yang adalah Firman yang  diinspirasikan oleh Allah sendiri. Selain itu Alkitab juga menjadi tolok  ukur untuk menghakimi semua kebenaran atau pengalaman yang  diintegrasikan di dalam materi kurikulum.
b. Dasar Berita Kristologis
Walaupun  Alkitab telah menyediakan seluruh isi kurikulum, perlu diingat bahwa  berita kebenarannya adalah berpusat pada Pribadi Yesus Kristus. Oleh  karena itu kurikulum harus memberitakan dengan jelas keselamatan yang  berpusatkan pada pribadi Yesus Kristus.
c. Dasar Kebutuhan Anak
Memang  Alkitab “bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk  menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik  orang dalam kebenaran”,namun tidak semua kebenaran tsb. relevan dengan  kebutuhan setiap kelompok umur anak. Oleh karena itu kurikulum yang baik  harus disusun berdasarkan kebutuhan kelompok umur sehingga sesuai  dengan perkembangannya.
d. Dasar Pendidikan yang Tepat 
Kurikulum yang efektif harus sesuai dengan pengetahuan kita tentang bagaimana cara anak-anak didik belajar. Dengan  mengkombinasikan pengetahuan tsb. tujuan mengajarkan kebenaran akan  lebih mudah tercapai karena kita tahu apa yang memotivasi anak belajar  dan bagaimana cara mereka belajar paling baik.
e. Dasar Ketepatan Aplikasi
Mengajarkan  pengetahuan kebenaran Alkitab saja masih kurang, karena tujuan utama  Allah memberikan Firman-Nya adalah untuk mengubah hidup manusia. Oleh  karena itu kurikulum juga harus dapat mendorong dan menolong anak untuk  dapat meresponi kebenaran yang telah diberikan sehingga mereka menjadi  “pelaku Firman dan bukan hanya pendengar saja”
2.4. Macam-macan Kurikulum
Kita mengenal berbagai macam kurikulum ditinjau dari berbagai aspek:
- Ditinjau dari konsep dan pelaksanaannya, kita mengenal beberapa istilah kurikulum sebagai berikut:
1. Kurikulum  ideal, yaitu kurikulum yang berisi sesuatu yang ideal, sesuatu yang  dicita-citakan sebagaimana yang tertuang di dalam dokumen kurikulum
2. Kurikulum  aktual, yaitu kurikulum yang dilaksanakan dalam proses pengajaran dan  pembelajaran. Kenyataan pada umumnya memang jauh berbeda dengan harapan.  Namun demikian, kurikulum aktual seharusnya mendekati dengan kurikulum  ideal. Kurikulum dan pengajaran merupakan dua istilah  yang tidak dapat dipisahkan. Kurikulum merujuk kepada bahan ajar yang  telah direncanakan yang akan dilaksanakan dalam jangka panjang. Sedang  pengajaran merujuk kepada pelaksanaan kurikulum tersebut secara bertahap  dalam belajar mengajar. 
3. Kurikulum tersembunyi (hidden curriculum),  yaitu segala sesuatu yang terjadi pada saat pelaksanaan kurikulum ideal  menjadi kurikulum faktual. Segala sesuatu itu bisa berupa pengaruh  guru, kepala sekolah, tenaga administrasi, atau bahkan dari peserta  didik itu sendiri. Kebiasaan guru datang tepat waktu ketika mengajar di  kelas, sebagai contoh, akan menjadi kurikulum tersembunyi yang akan  berpengaruh kepada pembentukan kepribadian peserta didik.
· Berdasarkan struktur dan materi mata pelajaran yang diajarkan, kita dapat membedakan:
1. Kurikulum terpisah-pisah (separated curriculum),  kurikulum yang mata pelajarannya dirancang untuk diberikan secara  terpisah-pisah. Misalnya, mata pelajaran sejarah diberikan terpisah  dengan mata pelajaran geografi, dan seterusnya.
2. Kurikulum terpadu (integrated curriculum),  kurikulum yang bahan ajarnya diberikan secara terpadu. Misalnya Ilmu  Pengetahuan Sosial merupakan fusi dari beberapa mata pelajaran sejarah,  geografi, ekonomi, sosiologi, dan sebagainya. Dalam proses pembelajaran  dikenal dengan pembelajaran tematik yang diberikan di kelas rendah  Sekolah Dasar. Mata pelajaran matematika, sains, bahasa Indonesia, dan beberapa mata pelajaran lain diberikan dalam satu tema tertentu. 
3. Kurikulum terkorelasi (corelated curriculum), kurikulum yang bahan ajarnya dirancang dan disajikan secara terkorelasi dengan bahan ajar yang lain. 
· Berdasarkan pengembangnya dan penggunaannya, kurikulum dapat dibedakan menjadi:
1. Kurikulum nasional (national curriculum), yakni kurikulum yang disusun oleh tim pengembang tingkat nasional dan digunakan secara nasional.
2. Kurikulum negara bagian (state curriculum), yakni kurikulum yang disusun oleh masing-masing negara bagian, misalnya di masing-masing negara bagian di Amerika Serikat.
3. Kurikulum sekolah (school curriculum),  yakni kurikulum yang disusun oleh satuan pendidikan sekolah. Kurikulum  Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum sekolah. Kurikulum  sekolah lahir dari keinginan untuk melakukan diferensiasi dalam  kurikulum.
BAB III
PEMBAHASAN
Sejarah Kurikulum Indonesia
Sejarah  kurikulum pendidikan di Indonesia kerap berubah setiap ada pergantian  Menteri Pendidikan, sehingga mutu pendidikan Indonesia hingga kini belum  memenuhi standar mutu yang jelas dan mantap. Dalam perjalanan sejarah  sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami  perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994,  2004, dan 2006. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari  terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek  dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai  seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai  dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua  kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu  Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan  pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya.
3.2. Rencana Pelajaran 1947
Kurikulum  pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah leer plan.  Dalam bahasa Belanda, artinya rencana pelajaran, lebih popular ketimbang  curriculum (bahasa Inggris). Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih  bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan  nasional. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila.
Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, plus garis-garis besar pengajaran. Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, plus garis-garis besar pengajaran. Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
3.3.Rencana Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus  mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata  pelajaran,” kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas  periode 1991-1995. Ketika itu, di usia 16 tahun Djauzak adalah guru SD  Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau.
Di  penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau  Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa,  karya, dan moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam  lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik,  keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.
3.4.Kurikulum 1968
Usai  tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan  sistem kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan  1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari  kurikulum ini adalah: bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat  mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga  pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana (Hamalik, 2004),  yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan,  dan jasmani.
Kurikulum  1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu dilakukannya  perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi  pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Dari  segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan  ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat,  dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani,  moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan  pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta  mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya  pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan  pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila,  pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9.
Djauzak  menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat mata  pelajaran pokok-pokok saja,” katanya. Muatan materi pelajaran bersifat  teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik  beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di  setiap jenjang pendidikan.
3.5.Kurikulum 1975
Kurikulum  1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif.  “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen,  yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs.  Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas.
Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman  ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap  satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum,  tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran,  kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik.  Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap  kegiatan pembelajaran.
3.6.Kurikulum 1984
Kurikulum  1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan  proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering  disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan  sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan,  mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa  Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
Tokoh  penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R.  Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga  Rektor IKIP Jakarta — sekarang Universitas Negeri Jakarta — periode  1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di  sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi  saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu  menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas  lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang  menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Penolakan CBSA  bermunculan.
3.7.Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan proses,” kata Mudjito menjelaskan.
Sayang,  perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran, lantaran  beban belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga  lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah  masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan  lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga  mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Walhasil,  Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim  Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi  perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.
3.8.Kurikulum 2004
Bahasa  kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai  berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya,  kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni  ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih berupa soal pilihan  ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu  lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur seberapa  besar pemahaman dan kompetensi siswa.
Meski  baru diujicobakan, toh di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan  kota besar di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak  memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang  diinginkan pembuat kurikulum. 
3.9.KTSP 2006
Awal  2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan  Pendidikan. Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan  proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis  evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang  paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk  merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa  serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD),  standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi  dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah  ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan  perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan  kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi  pemerintah Kabupaten/Kota. (TIAR)
3.10. Perkembangan Kurikulum di Indonesia
Secara  umum, perubahan dan penyempurnaan kurikulum dilakukan setiap sepuluh  tahun sekali. Perubahan kurikulum tersebut dilakukan agar kurikulum  tidak ketinggalan dengan perkembangan masyarakat, termasuk ilmu  pengetahuan dan teknologinya. Kurikulum yang pernah diberlakukan secara  nasional di Indonesia dapat dijelaskan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel Kronologis Perkembangan Kurikulum di Indonesia
| Tahun | Kurikulum | Keterangan | 
| 1947 | Rencana Pelajaran 1947 | · Kurikulum ini merupakan kurikulum   pertama di Indonesia setelah kemerdekaan. · Istilah kurikulum masih belum digunakan.   Sementara istilah yang digunakan adalah Rencana Pelajaran | 
| 1954 | Rencana Pelajaran 1954 | · Kurikulum ini masih sama dengan   kurikulum sebelumnya, yaitu Rencana Pelajaran 1947 | 
| 1968 | Kurikulum 1968 | · Kurikulum  ini merupakan kurikulum   terintegrasi pertama di Indonesia. Beberapa  masa pelajaran, seperti Sejarah,   Ilmu Bumi, dan beberapa cabang ilmu  sosial mengalami fusi menjadi Ilmu   Pengetahuan Sosial (Social  Studies). Beberapa mata pelajaran, seperti Ilmu   Hayat, Ilmu Alam, dan  sebagainya mengalami fusi menjadi Ilmu Pengetahun Alam   (IPS) atau yang  sekarang sering disebut Sains. | 
| 1975 | Kurikulum 1975 | · Kurikulum ini disusun dengan kolom-kolom   yang sangat rinci. | 
| 1984 | Kurikulum 1984 | · Kurikulum ini merupakan penyempurnaan dari   kurikulum 1975 | 
| 1994 | Kurikulum 1994 | · Kurikulum ini merupakan penyempurnaan   dari kurikulum 1984 | 
| 2004 | Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) | · Kurikulum  ini belum diterapkan di   seluruh sekolah di Indonesia. Beberapa  sekolah telah dijadikan uji coba dalam   rangka proses pengembangan  kurikulum ini | 
| 2008 | Kurikulum Tingkat Satuan   Pendidikan (KTSP) | · KBK  sering disebut sebagai jiwa KTSP, karena KTSP sesungguhnya telah    mengadopsi KBK. Kurikukulum ini dikembangkan oleh BSNP (Badan Standar    Nasional Pendidikan).  | 
BAB IV
PENUTUP
4.1.Kesimpulan
- Sejarah kurikulum pendidikan di Indonesia kerap berubah setiap ada pergantian Menteri Pendidikan, sehingga mutu pendidikan Indonesia hingga kini belum memenuhi standar mutu yang jelas dan mantap.
- Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan 2006.
- Secara umum, perubahan dan penyempurnaan kurikulum dilakukan setiap sepuluh tahun sekali. Perubahan kurikulum tersebut dilakukan agar kurikulum tidak ketinggalan dengan perkembangan masyarakat, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologinya.
4.2.Saran
- Sesuai dengan perkembangan dan ilmu pengetahuan sebaiknya kurikulum disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
- Kurikulum perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat.
- Perubahan kurikulum harus mengacu pada sumber hukum yaitu pancasila dan Undang-undang dasar 1945.
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar