Merespon absurditas system pendidikan ini, maka muncul gagasan Sekolah Islam Terpadu (SIT) dengan visi mengitegrasikan muatan kurikulum pendidikan umum dan pendidikan agama. Konsekuensi dari model ini adalah jam belajar siswa yang berlipat dari pagi sampai sore sehingga dikenal dengan fullday school. Tentu saja hal ini berdampak pada biaya sekolah yang tinggi dan stamina siswa yang tertekan, sehingga tidak ada kesempatan untuk mengasah kecerdasan sosialnya. Di sisi lain, mahalnya biaya pendidikan menjadikan SIT sebagai sekolah mahal dan akhirnya menjadi sekolah elitis.
Dalam prakteknya, integrasi kurikulum diterjemahkan dengan kombinasi kurikulum yaitu penggabungan kurikulum departemen pendidikan nasional dan kurikulum departemen agama. Dampaknya adalah terjadi tumpang tindih muatan pelajaran. Satu disiplin ilmu dipelajari secara berulang pada beberapa mata pelajaran. Hal ini terjadi karena penyederhanaan konsep integrasi yang diterapkan oleh institusi pendidikan dan mudahnya penggunaan nama Sekolah Islam Terpadu tanpa mengikuti standar yang ditetapkan. (Sampai saat ini, standar SIT pun belum ditetapkan dan dilegalkan). Kesulitan standarisasi SIT mungkin disebabkan oleh banyaknya mazhab dalam Islam, baik fiqh, gerakan ataupun pemikiran,.
Integrasi Pendidikan Berbasis Qur’an
Untuk menghindari dilemma/dikotomi mazhab, ada alternatif yang universal dan komprehensif yaitu integrasi pendidikan berbasis Qur’an. Tentu saja hal ini merupakan re-inventing system pendidikan Islam pada masa kejayaannya. Dengan system pendidikan berbasis Qur’an secara terpadu terbukti melahirkan ulama-ulama yang utuh dalam pemikirannya, tidak sekuler, tidak materialis dan juga terhindar dari sifat-sifat konsumtif. Mereka menjadi saintis dengan berbekal penggalian ayat-ayat Al-Qur’an. Oleh karenanya, sangat penting bagi kita untuk meramu kembali model pembelajaran terpadu yang telah terbukti mampu mencetak manusia-manusia yang luar biasa. Untuk menuju kepada penemuan kembali system pendidikan tersebut, harus dibuat sebuah replikasi framework model pendidikan menyeluruh. Sedangkan dalam upaya membentuk framework tersebut ada beberapa komponen yang perlu didesain, diantaranya : System pendidikan dengan visi yang menyeluruh, Struktur konsep pendidikan yang mengintegrasikan ketiga aspek pendidikan, Muatan pendidikan berupa kurikulum yang mencerminkan pengembangan karakter dan transformasi individual, serta Proses pendidikan yang merupakan Model Pembelajaran Terpadu berbasis Al-Qur’an.
Model Pembelajaran Terpadu
Dalam Al-Qur’an kita menemukan beberapa terminology pendidikan seperti ta’lim, tarbiyah, dan tabligh. Kita tidak perlu mendikotomikan ketiga terminology tersebut, bahkan kita bisa meramunya sebagai model pembelajaran yang menguatkan satu sama lain. Pada dasarnya langkah-langkah pembelajaran terpadu berbasis Al-Qur’an dirangkum dalam sebuah ayat yaitu QS Al-Jumu’ah :2 dan yang semisalnya. Dalam ayat-Nya, Allah berfirman :
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,”
Dari ayat tersebut, kita bisa melihat bahwa dalam proses pembelajaran terpadu berbasis Qur’an, ada 4 langkah yang harus diikuti yaitu
- Membangun ikatan dan inspirasi dari ayat-ayat Allah (kosmologi)
- Mensucikan jiwa, menyiapkan dan memotivasinya (axiology)
- Menyerap dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan pemikiran (psikologi)
- Menerapkan dan menggunakan ilmu pengetahuan dengan tepat (teknologi-know how)
Dengan model pembelajaran terpadu seperti ini, tidak ada lagi dikotomi kurikulum dengan persentasi muatan-muatannya karena satu sama lain saling terkait (satuan tugas) dan juga sekaligus menghilangkan dikotomi pengetahuan umum dan agama, ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat qauliyah. Dengan model pembelajaran terpadu ini, kita bukan hanya menyampaikan informasi (teori) ilmu (ta’lim), tetapi kita juga melakukan transformasi aplikatif dari ilmu pengetahuan tersebut (tarbiyah). Dengan sendirinya, model pembelajaran ini menjadi wahana untuk membentuk keterampilan hidup (process life skill) yang lebih esensial dan kompetitif dibandingkan dengan proses transfer informasi yang semakin lama semakin usang.
Tentu saja model pembelajaran ini harus berlangsung sebagai sebuah jalan kehidupan yang terus-menerus. Artinya, setiap saat adalah bagian dari proses pembelajaran terpadu yang melibatkan setiap stakeholder pendidikan itu sendiri. Ketika hal ini terabaikan, maka akan terjadi split personality pada jiwa anak karena terjadi perbedaan paradigma antara sekolah dengan rumah, paradigma belajar dan istirahat (tidak belajar), yang pada akhirnya anak merasakan bahwa sekolah dan belajar itu menjadi beban berat. Ada dua pilihan yang bisa menghilangkan dikotomi ini yaitu pesantren yang bersifat institusional dan homeshooling yang bersifat individual.
Wallahu a’lam
Juju Zubair
Tidak ada komentar:
Posting Komentar