Konsep Pendidikan Islam Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas (1) |
Ditulis oleh Mujtahid |
Minggu, 27 Maret 2011 10:10 |
KAJIAN
tentang konsep pendidikan Islam memang menarik didiskusikan dan dibahas
secara mendalam, walaupun hal itu beberapa kali telah diangkat menjadi
tema kajian oleh beberapa tokoh pemikir. Di hadapan dunia akademis,
tema-tema seperti itu terkesan sudah “sangat sering”, namun dinamika
pemikiran intelektual selalu tidak pernah puas dan final akan kajian
yang serupa. Memusatkan seputar kajian konsep pendidikan Islam dan
islamisasi pengetahuan dilatar belakangi oleh rasa keingintahuan akan
sebuah pemahaman yang relatif komprehensif, mendalam, serta berusaha
mengelaborasi pemikiran-pemiran yang ada ke dalam konteks pergumulan
pemikiran sekarang yang jauh lebih dialektik.
Penulisan
ini menggunakan pendekatan deskriptif-analitis tentang pemikiran dari
kedua pemikir di atas. Adapun metodologi dan sistematika penyajiannya
adalah melakukan penelaahan terhadap data-data yang bersumber dari
buku-buku, jurnal, majalah, dan sumber lain yang terkait dengan
pembahasan ini. Sedangkan sistematika pembahasan meliputi setting
biografi pemikir, pokok-pokok pemikiran dan studi kritis terhadap
gagasan-gasasannya.
Biografi Syed Naquib al-Attas
Syed
Naquib al-Attas lahir di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September
1931. ia keturunan kerabat raja-raja Sunda Sukapura, Jawa Barat. Melalui
silsilah/nasab ayahnya, ia termasuk keturunan bangsa Arab, yakni
keturunan ahli tasawuf yang terkenal dari kalangan Sayid.
Sejak
usia 5 tahun, ia telah mengenyam pendidikan, ketika ia di Johor Baru
yang bersama saudara ayahnya Encik Ahcmad. Ia juga pernah belajar di
Ngee Neng English Premery School di Johor Baru. Selama 4 tahun ia
kembali di Sukabumi Jawa Barat dan belajar di Madrasah al- Urwatul
Wustqa. Setelah itu, ia kembali ke Johor Baru melanjutkan pelajaran di
Bukit Zahrah School dan seterusnya di English College Johor Baru selama 3
tahun. Setelah itu ia masuk tentara.
Karir
militer al-Attas dimulai di lasykar tertara gabungan Malaysia-Inggris
dengan pangkat perwira kader, kecenderungannya dalam dunia militer ini
membuat dia terpilih untuk mengikuti pendidikan militer di Easton Hall,
Chaster, Inggris dari tahun 1952-1955. Sedangkan pangkat terakhir yang
diraihnya di dunia militer ini adalah letnan.
Walaupun
karir al-Attas sangat cemerlang di dunia militer, namun minat besarnya
terhadap ilmu telah mendorongnya untuk meninggalkan dunia militer ini,
dan sepenuhnya mencurahkan perhatiannya terhadap dunia ilmu. Karir
akademiknya, setelah meninggalkan karir militer adalah masuk ke
University of Malay, Singapore 1957-1959. Kemudian dia melanjutkan
pendidikannya di McGill University untuk kajian keislaman (Islamic Studies)
hingga memperoleh M.A. pada 1963. Selanjutnya dia mendapatkan
kesempatan untuk melanjutkan studinya di School of Oriental and Arfican
Studies, Universitas London, yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai
pusat kaum orientalis. Di universitas ini, dia menekuni teologi dan
metafisika, dan menulis disertasi doktornya tentang “Mistisisme Hamzah Fansuri”, yang sekarang telah diterbitkan dengan judul The Mysticism of Hamzah Fansuri (The University of Malay Press, Singapore, 1970).
Setelah
tamat dari universitas London, dia kembali ke almamaternya, University
Malay. Di sini dia bekerja sebagai dosen, dan tak lama kemudian diangkat
sebagai Ketua Jurusan Sastra Melayu. Karir akademiknya terus menanjak
dan di lembaga ini dia merancang dasar bahasa Malaysia, kemudian tahun
1970, dia tercatat sebagai salah satu pendiri University Kebangsaan
Malaysia. Dan di universitas yang baru ini, dua tahun kemudian, dia
diangkat sebagai profesor untuk Studi Sastra dan Kebudayaan Melayu, dan
kemudian pada 1975, dia diangkat sebagai dekan fakultas sastra dan
kebudayaan Melayu Universitas tersebut.
Otoritas
al-Attas di bidang pemikiran sastra dan kebudayaan, khususnya dalam
dunia Melayu dan Islam, tidak saja diakui oleh kalangan pemikir dan
ilmuan kawasan Asia Tenggara, tapi juga kalangan internasional. Ini
dapat dilihat dari sekian banyak penghargaan yang diberikan terhadapnya
sehubungan dengan karir intelektualnya, khususnya dalam filsafat Islam.
Diantaranya adalah pengangkatan sebagai anggota American Philoshopical
Assocation, dan penghargaan sebagai filosof yang telah memberikan
sumbangan besar bagi kebudayaan Islam dari Akademi Falsafah Maharaja
Iran. Dan terakhir ia diserahi jabatan oleh Kementrian Pendidikan dan
Olah Raga Malaysia untuk memimpin Institut Internasional Pemikiran da
Tamaddun Islam, yaitu lembaga otonom yang berada pada Universitas Antar
Bangsa, Malaysia.
Konsep Pendidikan menurut Naquib al-Attas
Ada
beberapa istilah yang dipakai untuk menunjuk pengertian "pendidikan
Islam" yang pengistilahan itu diambil dari lafad bahasa Arab (al-Qur'an)
maupun al-sunnah. Misalnya dijumpai kata tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib bahkan ada yang disebut riyadlah. Namun dalam pembahasan berikut ini akan disajikan konsep pendidikan Islam versi Naquib al-Attas.
Pemaparan konsep pendidikan Islam dalam pandangan al-Attas lebih cenderung menggunakan istilah (lafad) ta’dib, daripada
istilah-istilah lainnya. Pemilihan istilah ta’dib, merupakan hasil
analisa tersendiri bagi al-Attas dengan menganalisis dari sisi semantik
dan kandungan yang disesuaikan dengan pesan-pesan moralnya.
Sekalipun istilah tarbiyah dan ta’lim telah
mengakar dan mempopuler, ia menempatkan ta’dib sebagai sebuah konsep
yang dianggap lebih sesuai dengan konsep pendidikan Islam. Dalam
penjelasan (Yunus, 1972:37-38), kata ta’dib sebagaimana yang menjadi
pilihan al-Attas, merupakan kata (kalimat) yang berasal dari kata addaba yang berarti memberi adab, atau mendidik.
Dalam
pandangan al-Attas, dengan menggunakan term di atas, dapat dipahami
bahwa pendidikan Islam adalah proses internalisasi dan penanaman adab
pada diri manusia. Sehingga muatan substansial yang terjadi dalam
kegiatan pendidikan Islam adalah interaksi yang menanamkan adab. Seperti
yang diungkapkan al-Attas, bahwa pengajaran dan proses mempelajari
ketrampilan betapa pun ilmiahnya tidak dapat diartikan sebagai
pendidikan bilamana di dalamnya tidak ditanamkan ‘sesuatu’ (Ismail SM,
dalam Abdul Kholiq, dkk., 1999: 275)
Al-Attas
melihat bahwa adab merupakan salah satu misi utama yang dibawa
Rasulullah yang bersinggungan dengan umatnya. Dengan menggunakan term
adab tersebut, berarti menghidupkan Sunnah Rasul. Konseptualisasinya
adalah sebagaimana sabdanya: “Tuhanku telah mendidikku (addaba), dengan demikian membuat pendidikanku (ta’dib) yang paling baik (HR. Ibn Hibban).
Sesuai
dengan ungkapan hadits di atas, bahwa pendidikan merupakan pilar utama
untuk menanamkan adab pada diri manusia, agar berhasil dalam hidupnya,
baik di dunia ini maupun di akhirat kemudian. Karena itu, pendidikan
Islam dimaksudkan sebagai sebuah wahana penting untuk penanaman ilmu
pengetahuan yang memiliki kegunaan pragmatis dengan kehidupan
masyarakat. Karena itu, menurut al-Attas (1990: 222), antara ilmu, amal
dan adab merupakan satu kesatuan (entitas) yang utuh. Kecenderungan
memilih term ini, bagi al-Attas bahwa pendidikan tidak hanya berbicara
yang teoritis, melainkan memiliki relevansi secara langsung dengan
aktivitas di mana manusia hidup. Jadi, antara ilmu dan amal harus
berjalan seiring dan seirama.
Al-Attas membantah istilah tarbiyah, sebagaimana yang digunakan oleh beberapa pakar pedagogis dalam konsep pendidikan Islam. Ia berpandangan bahwa term tarbiyah
relatif baru dan pada hakikatnya tercermin dari Barat. Bagi al-Attas
(1990:64-66) konsep itu masih bersifat generik, yang berarti semua
makhluk hidup, bahkan tumbuhan pun ikut terkafer di dalamnya. Dengan
demikian, kata tarbiyah mengandung unsur pendidikan yang bersifat fisik dan material.
Lebih lanjut, al-Attas menjelaskan bahwa perbedaan antara ta’dib dan tarbiyah adalah terletak pada makna substansinya. Kalau tarbiyah lebih
menonjolkan pada aspek kasih sayang (rahmah), sementara ta’dib, selain
dimensi rahmah juga bertitik tolak pada aspek ilmu pengetahuan. Secara
mendasar, ia mengakui bahwa dengan konsep ta’dib, pendidikan
Islam berarti mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan, pengajaran, dan
pengasuhan yang baik. Karena itu, di luar istilah ta’dib, bagi al-Attas tidak perlu pakai.
Sebuah pemaknaan dari konsep ta’dib ini,
al-Attas beranggapan bahwa diri manusia adalah sabyek yang dapat didik,
disadarkan sesuai dengan posisinya sebagai makhluk kosmis. Penekanan
pada segi adab dimaksudkan agar ilmu yang diperoleh dapat diamalkan
secara baik dan tidak disalahgunakan menurut kehendak bebas pemilik
ilmu, sebab ilmu tidak bebas nilai (value free) tetapi sarat nilai (value laden),
yakni nilai-nilai Islam yang mengharuskan pelakunya untuk mengamalkan
demi kepentingan dan kemaslahatan umat manusia (Kholiq, 1999: 280-281).
Tujuan Pendidikan Islam
Al-Attas
(1991: 23-24) beranggapan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah
menanamkan kebajikan dalam “diri manusia” sebagai manusia dan sebagai
diri individu. Tujuan akhir pendidikan Islam adalah menghasilkan manusia
yang baik, yakni kehidupan materiil dan spirituilnya. Di samping,
tujuan pendidikan Islam yang menitik beratkan pada pembentukan aspek
pribadi individu, juga mengharapkan pembentukan masyarakat yang idel
tidak terabaikan. Seperti dalam ucapannya, ...karena masyarakat terdiri
dari perseorangan-perseorangan maka membuat setiap orang atau sebagian
besar diantaranya menjadi orang-orang baik berarti pula menghasilkan
suatu masyarakat yang baik.
Secara ideal, al-Attas menghendaki pendidikan Islam mampu mencetak manusia yang baik secara universal (al-insan al-kamil). Suatu tujuan yang mengarah pada dua demensi sekaligus yakni, sebagai Abdullah (hamba Allah), dan sebagai Khalifah fi al-Ardl (wakil
Allah di muka bumi). Karena itu, sistem pendidikan Islam harus
merefleksikan ilmu pengetahuan dan perilaku Rasulullah, serta
berkewajiban mewujudkan umat Muslim yang menampilkan kualitas
keteladanan Nabi Saw.
Dengan
harapan yang tinggi, al-Attas menginginkan agar pendidikan Islam dapat
mencetak manusia paripurna, insan kamil yang bercirikan universalis
dalam wawasan dan ilmu pengetahuan dengan bercermin kepada ketauladanan
Nabi Saw. Pandangan al-Attas tentang masyarakat yang baik, sesungguhnya
tidak terlepas dari individu-individu yang baik. Jadi, salah satu upaya
untuk mewujudkan masyarakat yang baik, berarti tugas pendidikan harus
membentuk kepribadian masing-masing individu secara baik. Karena
masyarakat kumpulan dari individu-individu.
Sistem Pendidikan Islam
Sebagaimana
yang tertuang dalam tujuan pendidikan Islam di atas, bahwa al-Attas
mendeskripsikan tujuan tersebut adalah mewujudkan manusia sempurna
secara universal. Dengan begitu, berarti sistem pendidikan Islam harus
memahami seperangkat bagian-bagian yang terkait satu sama lain dalam
sistem pendidikan.
Al-Attas
berpandangan bahwa manusia terdiri dari dua unsur, jasmani dan ruhani,
maka ilmu juga terbagi dua katagori, yaitu ilmu pemberian Allah (melalui
wahyu ilahi), dan ilmu capaian (yang diperoleh melalui usaha
pengamatan, pengalaman dan riset manusia)
Al-Attas
membuat skema yang menjelaskan kedudukan manusia dan sekaligus
pengetahuan. Bahwa pada dasarnya ilmu pengetahuan menurut dia, adalah
berian Allah (God Given) dengan mengacu pada fakultas dan indra ruhaniayah manusia. Sedangkan ilmu capaian mengacu pada tingkatan dan indra jasmaniyah.
Menurut
al-Attas, bahwa akal merupakan mata rantai yang menghubungkan antara
yang jasmani dan yang ruhani, karena akal pada hakikatnya adalah
substansi ruhaniyah yang menjadikan manusia bisa memahami hakikat dan
kebenaran ruhaniyah. Dengan kata lain, dia mengatakan bahwa ilmu-ilmu
agama merupakan kewajiban individu yang menjadi pusat jantung diri
manusia.
Karena itu, dalam sistem pendidikan Islam tingkat (rendah, menengah, dan tinggi ) ilmu fardlu ain harus
diajarkan tidak hanya pada tingkat rendah, melainkan juga pada tingkat
menengah dan tingkat universitas. Karena universitas menurut al-Attas
merupakan cerminan sistematisasi yang paling tinggi, maka formulasi
kandungannya harus di dahulukan. Seperti yang dijelaskan al-Attas (1991:
41) ruang lingkup dan kandungan pada tingkat universitas harus lebih
dahulu dirumuskan sebelum bisa diproyeksikan ke dalam tahapan-tahapan
yang lebih sedikit secara berurutan ketingkat yang lebih rendah
mengingat tingkat universitas mencerminkan perumusan sistematisasi yang
paling tinggi, maka formulasi kandungannya harus didahulukan.
Klasifikasi Ilmu al-Attas
Al-Attas
mengklasifikaskan ilmu menjadi dua macam, yakni ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis. Yang termasuk ilmu-ilmu
agama misalnya: al-Qur’an; (pembacaan dan penafsirannya). Al-Sunnah;
(kehidupan Nabi, sejarah dan pesan para rasul sebelumnya, hadits dan
riwayat-riwayat otoritasnya). Al-Syari’ah; (Undang-undang das hukum,
prinsip-prinsip dan praktek-praktek Islam; Islam, iman ihsan). Teologi
(Tuhan, esensi-Nya, sifat-sifat dan nama-nama-Nya, serta
tindakan-tindakan-Nya). Tasawuf (Pikologi, kosmologi, dan antologi), dan
ilmu bahasa atau Linguistik (bahasa Arab, tata bahasa, leksikografi dan
kesusatraan).
Sedangkan
yang termasuk ilmu rasional dan sejenisnya adalah ilmu-ilmu
kemanusiaan, ilmu-ilmu alam, dan ilmu-ilmu terapan. Menururt al-Attas,
bagian yang termasuk ilmu kemanusian seharusnya ditambah dengan
pengetahuan Islam. Karena semua disiplin ilmu harus bertolak
kepada Islam. Karena itu ia menganjurkan agar pengetahuan tersebut
ditambahkan disiplin-disiplin baru yang berkaitan dengan hal berikut
ini:
1. Perbandingan agama dari sudut Islam
2. Kebudayaan dan peradaban Barat, khususnya kebudayaan dan peradaban yang selama ini dan di masa datang berbenturan dengan Islam.
3. Ilmu-ilmu linguistik; bahasa-bahasa Islam, tata bahasa, dan literatur.
4. Sejarah
Islam; pemikiran kebudayaan dan peradaban Islam, perkembangan ilmu-ilmu
sejarah Islam, filsafat-filsafat sains Islam, Islam sebagai sejarah
dunia (al-Attas, 1990:91)
Pandangan Dunia al-Attas
Menurut
al-Attas, “pengetahuan” (`ilm) tak dapat didefinisikan secara ketat.
Dia hanya dapat dijelaskan, dan penjelasan ini hanya lebih mengacu
kepada sifat-sifat dasar pengetahuan tersebut. Kemudian dia menyatakan
bahwa setiap pengetahuan berasal dari Allah, yang ditafsirkan oleh
fakultas-fakultas manusia (akal, rasio, qalb). Karena itu pengetahuan
yang dimiliki manusia adalah tafsiran terhadap pengetahuan dari Allah.
Dan karena itu pula, menurut al-Attas, dilihat dari sumber hakiki
pengetahuan tersebut, pengetahuan adalah kedatangan makna sesuatu objek
pengetahuan ke dalam jiwa.
Pandangan
dunia yang dirumuskan oleh al-Attas tampak lebih memiliki signifikansi
kalau dikaitkan dengan gagasan islamisasi ilmu-ilmu sosial atau
humaniora-ketimbang dengan ilmu-ilmu alam. Sebab ilmu-ilmu ini pada
tataran yang paling dasar menyangkut masalah manusia, masyarakat, serta
hubungan antara keduanya, di mana persoalan ini sedikit banyak telah
banyak dikemukakan oleh al-Attas dalam beberapa karyanya.
Di
sini, (Muzani, 1991:93) al-Attas lebih melihat dominasi individu
terhadap masyarakat daripada kebalikannya,dan tidak tampak ke arah
sintesis dari keduanya, karena ia meyakini pandangan yang menyatakan
bahwa masyarakat akan menjadi baik apabila individu baik (al-Attas,
1978: 118). Pada titik ini pula, ia menyerang pada modernis, yang
dianggapnya lebih menekankan telaahnya pada masalah umat ketimbang
individu, dan pada persoalan sosial-politik ketimbang perbaikan mental
individual. Kritik ini tampak jelas dalam kutipan berikut ini:
Kerena
mereka (para modernis) tidak pernah benar-benar mendalami secara
intelektual dan secara spiritual, maka mereka melibatkan lebih dahulu
dalam sosiologi dan politik. Pengalaman mereka tentang kemunduruan dunia
Islam dan pecahnya kemaharajaan Muslim telah membuat mereka menaruh
perhatian banyak terhadap Ibn Khaldun, dan mereka memusatkan perhatian
pada konsep ummah dan negara dalam Islam. Mereka memang lalai untuk
meletakkan tekanan lebih besar atas konsep individu dan peranan individu
dalam mewujudkan dan membangun ummah dan negara Islam.
Pandangan
ini dipengaruhi oleh dasar keyakinannya. Menurutnya, secara emanasi,
kebaikan dan kebenaran –yang bersumber dari Tuhan- melimpah lebih dahulu
melalui individu, karena individu menempati posisi lebih tinggi dalam
hirarki realitas dibandingkan masyarakat. Karena itu, yang utama adalah
memperbaiki mental individu, dan dengan baiknya mental individu maka
dengan sendirinya masyarakat akan menjadi baik. Kebaikan masyarakat
adalah cerminan dari kebaikan individu-individu.
Karya-karya al-Attas
Untuk mengenali karya al-Attas, kita dapat melihat dari dua bagian, yakni karya-karya kesarjanaan (scholarly writing), dan karya-karya pemikiran. Yang pertama lebih menggambarkan dia sebagai seorang ahli atau sarjana (scholar).
Ini terutama dapat dilihat dalam karya-karyanya yang berkaitan dengan
kebudayaan Melayu dan Nusantara, khususnya mengenai mistisisme.
Sementara yang kedua menggambarkan dia sebagai pemikir. Berikut ini
karya-karya yang berkaitan dengan bagian pertama:
1. Rangkaian Rubui’iyat, Dewan Bahasa & Pustaka, Kuala Lumpur, 1959.
2. Some Aspect of Sufism as Understood and Practiced among the Malays, MSRI, Singapore, 1963.
3. Raniri and the Wujudiyah of 17th Century Acheh, Mograph of the Royal Asitic Society, Malaysian Branch, No. 111, Singapore, 1966.
4. The Origin of the Malay Sha`ir, Dewan Bahasa & Pustaka, Kuala Lumpur ,1968.
5. Preleminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago, Dewan Bahasa & Pustaka, Kuala Lumpur, 1969
6. The Mysticism of Hamzah Fansuri, Universitas Malaya Press, Kuala Lumpur, 1969.
7. Conluding Postcrip to the Malay Sha`ir, Dewan Bahasa & Pustaka, Kuala Lumpur, 1971.
Sedangkan
karya yang berkenaan dengan gagasan/pemikiran banyak berbicara tentang
konsep, terutama konsep pendidikan, filsafat dan islamisasi ilmu.
Berikut ini karya-karya yang masukbagian kedua:
1. Islam: The Concept of Religion and the Foundation of Ethic and Morality, ABIM, Kuala Lumpur, 1976.
2. Preliminary Thought on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education, PMIM, Kuala Lumpur, 1977.
3. Islam and Secularism, ABIM, Kuala Lumpur, 1978.
4. Islam, Secularism, and Philosophy of the Nature, 1985.
5. Dilema Kaum Muslimin, Bina ILmu, Surabaya, tt.
6. The Concept of Education in Islam:A framework for a Islamic Philosophy of Education, ABIM, Kuala Lumpur, 1980.
7. Aims and Objectives of Islamic Education, Hodder-Stoughton, London and University of King Abdul Aziz, Jeddah, 1979.
8. Islam and the Filsafat Sain, Penerjemah: Saiful Muzani, Mizan, Bandung, 1995.
Melalui dua macam karya di atas, al-Attas
terlihat jelas dalam program-program kerja jangka panjang Institut
Pemikiran dan Tamaddun Islam yang dipimpinnya, yang menurut hemat
penulis adalah suatu bentuk pelembagaan dari obsesi dan cita-cita
intelektualnya.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Daftar Pustaka
Al-Nahlawi, Abdurrahman. 1989. Prinsip-prinsip Pendidikan Islam, Bandung: Diponegoro.
Ismail SM. dkk. [ed.]. 2001. Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jalal, ‘Abd Fatah, 1977. Minal Ushul al-Tarbawiyah fi al-Islam, Mesir: Dar al-Kutub Missriyah.
Muhaimin, dkk. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung: Trigenda Karya.
Arifin, Syamsul, dkk., 1996. Spiritulituasasi Islam dan Peradaban Masa Depan, Yogyakarya: Sipress.
Esposito, John L., 2001, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Bandung: Mizan.
Al-Attas, Syed Naquib, 1994. Konsep Pendidikan Dalam Islam, Suatu Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Haidar Baqir. cet.IV. Bandung: Mizan.
-------------, 1995. Islam dan Filsafat Sains, terj. Saiful Muzani, Bandung: Mizan.
------------, 1978. Islam and Secularism, Kuala Lumpur: ABIM.
Al-Faruqi, Ismail Raji, 1984. Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka.
Ismail SM. Paradigma Pendidikan Islam, Prof. Dr. Syed Naquib al-Attas, dalam Abdul Kholiq, dkk., 1999. Pemikiran Pendidikan Islam, kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muzani, Saiful, 1991. Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed Muhammad Naquib Al-Atta, dalam Jurnal Hikmah, No. 3 Juli-Oktober 1991.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar