Murabbi adalah: orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi serta
mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan
malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya.
Mu’allim adalah:
orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya sertamenjelaskan
fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya,
sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi serta implementasi.
Mu’addib adalah:
orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggungjawab dalam
membangun peradaban yang berkualitas di masa depan.
Mudarris adalah:
orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta
memperbaharui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan
berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka,
serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat , minat dan kemampuannya.
Mursyid adalah: orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri atau menjadi pusat anutan, teladan dan konsultan bagi peserta didiknya.
DEFINISI PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Sebagaimana
teori Barat, pendidik dalam Islam adalah orang-orang yang bertanggung
jawab terhadap perkembangan peserta didiknya dengan upaya mengembangkan
seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa), kognitif
(cipta), maupun psikomotorik (karsa).[1]
Pendidik berarti juga
orang dewasa yang bertanggung jawab member pertolongan pada peserta
didiknya dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat
kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat kedewasaannya,
mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah
SWT. Dan mampu melaksanakan tugas sebagai makhluk social dan sebagai
makhluk individu yang mandiri.[2]
Pendidik
pertama dan utama adalah orangtua sendiri. Mereka berdua yang
bertanggung jawab penuh atas kemajuan perkembangan anak kandungnya,
karena sukses tidaknya anak sangat tergantung kepada pengasuhan,
perhatian, dan pendidikannya. Kesuksesan anak kandung merupakan cermin
atas kusuksesan orangtua juga. Firman Allah SWT.
“Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. (QS. At-Tahrim: 6)
Pendidik disini adalah mereka yang memberikan pelajaran peserta didik, yang memegang suatu mata pelajaran tertentu di sekolah. [3]
orangtua sebagai pendidik pertama Dan utama terhadap anak-anaknya,
tidak selamanya memiliki waktu yang leluasa dalam mendidik anak-anaknya.
Selain karena kesibukan kerja, tingkat efektifitas dan efisiensi
pendidikan tidak akan baik jika pendidikan hanya dikelola secara
alamiah. Oleh karena itu, anak lazimnya dimasukkan ke dalam lembaga
sekolah. Penyerahan peserta didik ke lembaga sekolah bukan berarti
melepaskan tanggung jawab orangtua sebagai pendidik yang pertama dan
utama, tetapi orangtua tetap mempunyai saham yang besar dalam membina
dan mendidik anak kandungnya.
SYARAT SAH PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Syaikh
Ahmad Ar Rifai mengungkapkan, bahwa seseorang bisa dianggap sah untuk
dijadikan sebagai pendidik dalam pendidikan Islam apabila memenuhi dua
criteria berikut :
1. Alim
yaitu mengetahui betul tentang segala ajaran dan syariahnya Nabi
Muhammad Saw, sehingga ia akan mampu mentransformasikan ilmu yang
komprehenshiv tidak setengah-setengah.
2. Adil
riwayat yaitu tidak pernah mengerjakan satupun dosa besar dan
mengekalkan dosa kecil, seorang pendidik tidak boleh fasik sebab
pendidik tidak hanya bertugas mentransformasikan ilmu kepada anak
dididiknya namun juga pendidik harus mampu menjadi contoh dan suri
tauladan bagi seluruh peserta didiknya. Di khawatirkan ketika seorang
pendidik adalah orang fasik atau orang bodoh, maka bukan hidayah yang
diterima ank didik namun justru pemahaman-pemahaman yang keliru yang
berujung pada kesesatan[4]
KEDUDUKAN PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Pendidik
adalah spiritual father (bapak rohani), bagi peserta didik yang
memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan
meluruskan perilakunya yang buruk. Oleh karena itu, pendidik memiliki
kedudukan tinggi. Dalam beberapa Hadits disebutkan: “Jadilah engkau
sebagai guru, atau pelajar atau pendengar atau pecinta, dan Janganlah
engkau menjadi orang yang kelima, sehingga engkau menjadi rusak”. Dalam
Hadits Nabi SAW yang lain: “Tinta seorang ilmuwan (yang menjadi guru)
lebi berharga ketimbang darah para syuhada”. Bahkan Islam menempatkan
pendidik setingkat dengan derajat seorang Rasul. Al-Syawki[5] bersyair:
“Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan, seorang guru itu hampir saja merupakan seorang Rasul”.
Al-Ghazali menukil beberapa Hadits Nabi tentang keutamaan seorang pendidik. Ia berkesimpulan bahwa pendidik disebut sebagai orang-orang besar yang aktivitasnya lebih baik daripada ibadah setahun
(perhatikan QS. At-Taubah:122).selanjutnya Al-Ghazali menukil dari
perkataan para ulama yang menyatakan bahwa pendidik merupakan pelita
segala zaman, orang yang hidup semasa dengannya akan memperoleh pancaran
cahaya keilmiahannya. Andaikata dunia tidak ada pendidik, niscaya
manusia seperti binatang, sebab: pendidikan adalah upaya mengeluarkan
manusia dari sifat kebinatangan (baik binatang buas maupun binatang
jinak)[6]kepada sifat insaniyah dan ilahiyah.[7]
TUGAS PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Menurut
al-Ghazali, tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan,
membersihkan, menyucikan, serta membawakan hati manusia untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Karena tujuan pendidikan Islam yang
utama adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Dalam paradigma Jawa , pendidik diidentikan dengan (gu dan ru) yang berarti “digugu dan ditiru”.
Dikatakan digugu (dipercaya) karena guru mempunyai seperangkat ilmu
yang memadai, yang karenanya ia memiliki wawasan dan pandangan yang luas
dalam melihat kehidupan ini. Dikatakan ditiru (di ikuti) karena guru
mempunyai
kepribadian yang utuh, yang karenanya segala tindak tanduknya patut dijadikan panutan dan suri tauladan oleh peserta didiknya.
Sesungguhnya
seorang pendidik bukanlah bertugas memindahkan atau mentrasfer ilmunya
kepada orang lain atau kepada anak didiknya. Tetapi pendidik juga
bertanggungjawab atas pengelolaan, pengarah fasilitator dan perencanaan.
Oleh karena itu, fungsi dan tugas pendidik dalam pendidikan dapat
disimpulkan menjadi tiga bagian, yaitu:[8]
1. Sebagai
instruksional (pengajar), yang bertugas merencanakan program pengajaran
dan melaksanakan program yang telah disusun serta mengakhiri dengan
pelaksanaan penilaian setelah program dilakukan.
2. Sebagai educator (pendidik), yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan dan berkepribadian kamil seiring dengan tujuan Allah SWT menciptakannya.
3. Sebagai managerial (pemimpin),
yang memimpin, mengendalikan kepada diri sendiri, peserta didik dan
masyarakat yang terkait, terhadap berbagai masalah yang menyangkut upaya
pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan dan partisipasi
atas program pendidikan yang dilakukan.
Dalam tugas itu, seorang pendidik dituntut untuk mempunyai seperangkat prinsip keguruan. Prinsip keguruan itu dapat berupa:
1. Kegairahan dan kesediaan untuk mengajar seperti memerhatikan: kesediaan, kemampuan, pertumbuhan dan perbedaan peserta didik.
2. Membangkitkan gairah peserta didik
3. Menumbuhkan bakat dan sikap peserta didik yang baik
4. Mengatur proses belajar mengajar yang baik
5. Memerhatikan perubahan-perubahankecendrungan yang mempengaruhi proses mengajar
6. Adanya hubungan manusiawi dalam proses belajar mengajar.
[1] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), h. 74-75.
[2] Suryosubrata B., Beberapa Aspek Dasar Kependidikan, (Jakarta: Bina Aksara, 1983), h.26
[3] Ahmad Tafsir, Op.cit., h.75
[4] Ahmad Ar Rifa’I, Takhyirah Mukhtashor, Tanpa Tahun, hal.10
[5] M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasr Pokok Pendidikan Islam, terj..Bustami A. Ghani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 135-136
[6] Binatang buas (subu’iyah)menurut al-Ghazali sebagai natur dasar struktur al-ghadhab
adalah suatu daya yang berpotensi untuk menghindari diri dari segala
yang membahayakan, dengan cara menyerang , membunuh, merusak, menyakiti,
dan membuat yang lain menderita. Sedangkan binatang jinak (bahimiyyah) merupakan natur dasar struktur al-syahwat,
yaitu suatu daya yang berpotensi untuk menginduksi diri dari segala
yang menyenangkan.syahwat merupakan potensi hawa nafsu yang memiliki
natur atau naluri dasar seks bebas, erotisme, narsisme, dan segala
tindakan untuk pemuasan birahi. Lebih lanjut baca: Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h. 109-110.
[7] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, ihya ‘ulum al-Din, terj. Ismail ya’qub, (Semarang: Faizan, 1979), h. 65, 68, 70.
[8] Roestiyah NK, Masalah-masalah Ilmu Keguruan, (Jakarta: Bina Aksara, 1982), h. 86.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar