Minggu, 29 April 2012

kurikulum 2

Kurikulum Pendidikan Islam PAI PDF Cetak E-mail
Ditulis oleh Mujtahid   
Minggu, 08 Mei 2011 18:36
MENGACU pada pengertian sebelumnya, bahwa kurikulum pendidikan Islam merupakan suatu rancangan atau program studi yang berkaitan dengan materi atau pelajaran Islam, tujuan proses pembelajaran, metode dan pendekatan, serta bentuk evaluasinya. Karena itu, yang dimaksud dengan kurikulum PAI adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani dan mengamalkan ajaran Islam secara kaffah (totalitas).
Sesuai dengan sistem kurikulum nasional bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat, antara lain pendidikan agama, tak terkecuali Islam. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan.
Dalam konsep Islam, iman merupakan potensi ruhani yang harus diaktualisaikan dalam bentuk amal saleh, sehingga menghasilkan prestasi ruhani (iman) yang disebut taqwa. Amal shaleh itu menyangkut keserasian dan keselarasan hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan dirinya yang membentuk kesalehan pribadi; hubungan manusia dengan sesamanya yang membentuk kesalehan sosial (solidaritas sosial), dan hubungan manusia dengan alam yang membentuk kesalehan terhadap alam sekitar (Muhaimin, 2001: 75). Kualitas amal saleh ini akan menentukan derajat ketaqwaan (prestasi ruhani/iman) seseorang di hadapan Allah Swt.
Kata "PAI" atau Islam adalah nama agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw yang berisi seperangkat ajaran tentang kehidupan manusia. Ajaran itu dirumuskan berdasarkan dan bersumber pada al-qur'an, hadits, serta akal (ijtihad). Islam sebagai agama tentunya mempunyai tujuan, ajaran pokok/materi, metode, dan evaluasi. Jauh sebelum teori Barat muncul, kurikulum pendidikan agama Islam telah ada dan menjadi titik keberhasilan Islam tersebar ke penjuru dunia.
Tujuan Kurikulum PAI
Tujuan adalah sesuatu yang penting untuk dicapai oleh setiap manusia. Menurut Muhammad Munir, seperti yang dikutip Abdul Majid dan Dian Andayani (2004:74), menjelaskan bahwa tujuan pendidikan agama Islam yaitu:
1. Tercapainya manusia seutuhnya, karena Islam itu adalah agama yang sempurna sesuai dengan firman-Nya. "Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagimu (QS. 5:3). Di antara tanda predikat manusia seutuhnya adalah berakhlak mulia. Islam datang untuk mengantarkan manusia seutuhnya sesuai dengan sabda Rasululllah Saw bahwa: "sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia".
2. Tercapainya kebahagiaan dunia akhirat, merupakan tujuan yang seimbang. Landasannya adalah "Di antara mereka ada yang berkata, Ya tuhan kami berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari api neraka". Untuk mencapai tujuan ini sangat dibutuhkan tidak saja ilmu agama yang sebatas ritual (spritual) semata-mata, melainkan juga perlu ilmu umum yang berkaitan dengan kehidupan dunia.
3. Menumbuhkan kesadaran manusia mengabdi, dan patuh terhadap perintah dan menjauhi larangan-Nya. Seperti pesan dalam sebuah ayat Allah : "Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi ke pada-Ku". Tujuan pendidikan Islam diproyeksikan agar hidup manusia menjadi dekat dengan sang khaliq, karena itu ia harus mengabdi setiap saat kapan di manapun.
Metode Kurikulum PAI
Untuk mendesain kurikulum pendidikan Agama Islam yang menarik dan bermanfaat, dibutuhkan metode yang relevan dengan isi dan konteks sosial. Isi dan konteks sosial itu terjadi dalam proses belajar mengajar di kelas atau di manapun berada. Untuk mengemas pembelajaran itu maka perlu metode yang efektif. Syukri Zarkasyi, pengasuh pondok modern Gontor pernah menyatakan bahwa: "Al-thariqatu ahammu min al- maddah, walaakinna al-mudarrisa ahammu min al-thariqah, wa ruh al-mudarris ahammu min al-mudarris nafsihi" (Metode itu lebih penting dari pada materi, akan tetapi guru lebih penting dari metode, dan jiwa guru lebih penting dari guru itu sendiri). Ungkapan ini menegaskan bahwa metode yang diperankan guru akan sangat menentukan keberhasilan proses dari interaksi belajar-mengajar.
Metode adalah cara yang digunakan tenaga pendidik dan peserta didik dalam proses belajar mengajar. Jadi, metode merupakan alat untuk menciptakan interaksi antara guru dan siswa dalam mempelajari sebuah materi tertentu. Dalam hal ini, guru berperan sebagai penggerak, fasilitator, pembimbing dan seterusnya. Sementara siswa, dapat berperan aktif dalam kegiatan tersebut.
Ahmad Tafsir memandang bahwa metode pendidikan Islam yang saat ini digunakan oleh para pendidik itu merupakan hasil dari metode yang dikembangkan orang Barat. Karena saat ini kita dengan mudah mengakses sumber referensi itu dan dapat digunakan untuk memperbaiki cara dan strategi pembelajaran kita. Metode yang kita terapkan itu misalnya, metode ceramah, brainstorming, tanya jawab, diskusi, sosiodrama, bermain, resitasi dan lain-lain. Untuk mengadaptasikan metode itu, maka membutuhkan cara yang tepat dari para guru agar compatible dengan visi-misi materi, tujuan materi dan karakteristik materi (Tafsir, 1994: 131).
Hal yang sama ditunjukkan pula oleh Muhaimin, dkk., bahwa metode yang digunakan untuk implementasi kurikulum pendidikan agama Islam tak jauh berbeda dengan metode yang digunakan pendidikan umum. Memang, hampir tak jauh beda antara keduanya, bahwa proses pendidikan apa pun namanya, kerangka atau aspek domainya yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
Hanya saja, pendidikan PAI harus berorientasi pada "penyadaran" dalam ketiga aspek di atas. Ketiga aspek tersebut, dalam pembelajaran pendidikan PAI, tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Atas dasar inilah, menurut A. Malik Fadjar, bahwa pendidikan agama Islam adalah proses pendidikan yang mampu menggugah kesadaran peserta didik untuk menjadi pribadi muslim sejati (Fadjar, 1998:157).
Metode yang perlu digunakan, menurut A. Malik Fadjar (1998:159-160), haruslah memiliki dua landasan. Pertama, landasan motivasional. Yaitu pemupukan sifat individu peserta didik untuk menerima ajaran agamanya dan sekaligus bertanggungjawab terhadap pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, landasan moral. Yaitu tertanamnya nilai keagamaan dan kayakinan peserta didik sehingga perbuatannya selalu mengacu pada isi, jiwa dan semangat akhlak karimah. Selain itu, agar tersusunnya tata nilai (value system) dalam peserta didik yang bersumber pada ajaran yang otentik, sehingga memiliki daya tahan dalam menghadapi setiap tantangan dan perubahan zaman.
Materi Kurikulum PAI
Selama ini, kurikulum pendidikan agama Islam itu adalah ajaran pokok Islam yang meliputi masalah aqidah (keimanan), syari'ah (keislaman), dan akhlak (ihsan). Tiga ajaran pokok kemudian dijabarkan dalam bentuk rukun iman, Islam, dan Ihsan. Dari ketiganya lahirlah ilmu tauhid, ilmu fiqh, dan ilmu akhlak. Namun menurut hemat penulis, kontens pendidikan agama Islam semacam itu belum sepenuhnya mampu menjadikan peserta didik memiliki keunggulan yang utuh dan integratif dalam dirinya. Sebab Islam perlu dijabarkan lebih luas, seluas jagat raya ini. Kurikulum pendidikan agama Islam seharusnya bersentuhan dengan segala aspek kehidupan manusia yang bersumber pada al-qur'an dan hadits serta penalaran logis dan hasil observasi yang kaya dengan pengetahuan dan pengalaman hidup dan kehidupan.
Ketiga kelompok di atas (iman, islam dan ihsan) yang diterjemahkan ke dalam cabang ilmu seperti aqidah, fiqih, tasawuf, tarikh dan seterusnya itu baru pada tataran ilahiyah yang cenderung melahirkan perbedaan dan konflik. Yang belum mampu menjawab dan merespon secara cepat terhadap perubahan dan perkembangan zaman saat ini. Ajaran Islam harus merujuk pada ajaran al-Qur'an dan hadits yang memiliki jangkauan visi nilai-nilai kehidupan manusia yang lebih luas dan tak pernah terbatas oleh ruang dan waktu.
Manurut al-Abrasyi, seperti yang dikutip Ahmad Tafsir, mengemukakan bahwa merumuskan kurikulum atau materi pendidikan Islam harus mempertimbangkan 5 (lima) prinsip. Pertama, mata pelajaran ditujukan untuk mendidik ruhani atau hati. Artinya, materi itu berhubungan dengan kesadaran ketuhanan yang mampu diterjemahkan dalam setiap gerak dan langkah manusia. Manusia adalah makhluk yang senantiasa melibatkan sandaran kepada yang Maha Kuasa, yaitu Allah Swt.
Kedua, mata pelajaran yang diberikan berisi tentang tuntunan cara hidup. Pelajaran ini tidak saja ilmu fiqh dan akhlak tetapi ilmu yang menuntun manusia untuk meraih kehidupan yang unggul dalam segala dimensinya. Ketiga, mata pelajaran yang disampaikan hendaknya mengandung ilmiah, yaitu sesuatu ilmu yang mendorong rasa ingin tahu manusia terhadap segala sesuatu yang perlu diketahui. Ilmu yang dibutuhkan untuk mencari karunia Allah melalui cara-cara yang mulia dan penuh perhitungan.
Keempat, mata pelajaran yang diberikan harus bermanfaat secara praktis bagi kehidupan. Intinya bahwa materi mengajarkan suatu pengalaman, ketrampilan, serta cara pandang hidup yang luas. Kelima, mata pelajaran yang disampaikan harus membingkai terhadap materi lainnya. Jadi, ilmu yang dipelajari berguna untuk ilmu lainnya.
Evaluasi Kurikulum PAI
Untuk menentukan hasil atau proses dari sebuah kegiatan dan aktifitas memerlukan apa yang disebut dengan evaluasi. Evaluasi adalah pengumpulan kenyataan secara sistematis untuk menetapkan apakah dalam kenyataannya terjadi perubahan dalam diri siswa dan menetapkan sejauh mana tingkat perubahan dalam diri siswa. Menurut Stufflebeam, seperti yang dikutip Suke Silverius (1991:4), menyatakan bahwa evaluasi merupakan proses menggambarkan, memperoleh, dan menyajikan informasi yang berguna untuk menilai alternatif keputusan.
Menurut Wayan Nurkancana & Sumartana, evaluasi ialah suatu tindakan atau proses untuk menentukan nilai segala sesuatu dalam aktifitas pendidikan, baik menyangkut materi, guru, siswa, serta aspek pendukung lainnya (Nurkancana, 1986:1). Evaluasi digunakan untuk mengukur sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai. Evaluasi berguna untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Menurut Wayan Nurkancana dan Sumartana, bahwa evaluasi berfungsi sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui taraf kesiapan peserta didik dalam menempuh suatu pendidikan. Artinya apakah seorang peserta didik sudah siap untuk diberikan pendidikan tertentu atau tidak.
b. Untuk mengetahui seberapa jauh hasil yang telah dicapai dalam proses pendidikan yang telah dilaksanakan. Apakah hasil yang dicapai sudah sesuai dengan yang diharapkan atau belum. Kalau belum, maka perlu dicari faktor apakah kiranya yang menghambat tercapainya tujuan tersebut. Dan selanjutnya dapat dicari jalan atau solusi untuk mengatasinya.
c. Untuk mengetahui apakah suatu mata pelajaran yang diajarkan dapat dilanjutkan dengan bahan yang baru atau harus mengulangi kembali bahan-bahan pelajaran yang sebelumnya. Dari hal-hal evaluasi yang dilakukan dapat mengetahui apakah peserta didik telah cukup menguasai, baik menguasai bahan pelajaran yang lalu atau belum. Kalau peserta didik secara keseluruhan telah mencapai nilai yang cukup baik dalam evaluasi yang telah dilakukan, maka itu berarti mereka telah menguasai pelajaran.
d. Untuk mendapatkan bahan-bahan informasi dalam memberikan bimbingan tentang jenis pendidikan atau jenis jabatan yang cocok untuk peserta didik tersebut.
e. Untuk mendapatkan bahan-bahan informasi guna menentukan apakah peserta didik dapat dinaikkan kelas atau tidak. Apabila berdasarkan hasil evaluasi dari sejumlah bahan pelajaran yang diberikan sudah tercerna dengan bagus oleh peserta didik, mereka bisa dinaikkan ke jenjang berikutnya.
f. Untuk membandingkan apakah prestasi yang dicapai peserta didik sudah sesuai dengan kapasitasnya atau belum.
g. Untuk menafsirkan apakah peserta didik telah cukup matang untuk dilepaskan ke masyarakat atau untuk melanjutkan ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi (Nurkancana, 1986: 3-6).
Hasil evaluasi mempunyai makna bagi berbagai pihak. Evaluasi bermakna bagi semua komponen proses pengajaran terutama siswa, guru, orangtua, masyarakat dan sekolah itu sendiri. Dari hasil evaluasi ini sangat menentukan langkah serta kebijakan yang akan direncanakan berikutnya.
Eavaluasi kurikulum pendidikan agama Islam tidak hanya diukur dengan alat atau instrumen test tulis, melainkan dapat dilihat dari segi performance akhlak dan tindakannya. Sebenarnya pendidikan agama Islam justru mudah dilihat dari domain afektif dan psikomotornya ketimbang kognitifnya, walaupun kognitif juga penting.
Karakteristik Kurikulum PAI
Tiap jenis kurikulum mempunyai ciri atau karakteristik termasuk pendidikan agama Islam. Menurut Abudurrahman al-Nahlawi, seperti yang dikutip Majid (2004: 78-80), menjelaskan bahwa kurikulum pendidikan Islam harus memenuhi beberapa ketentuan, yaitu:
a. Memiliki sistem pengajaran dan materi yang selaras dengan fitrah manusia serta bertujuan untuk menyucikan jiwa manusia, memelihara dari penyimpangan, dan menjaga keselamatan fitrah manusia sebagaimana diisyaratkan hadits Qudsi sebagai berikut: "hamba-hamba ku diciptakan dengan kecenderungan (pada kebenaran). Lalu syetan menyesatkan mereka."
b. Tujuan pendidikan Islam yaitu memurnikan ketaatan dan peribadatan hanya kepada Allah. Kurikulum pendidikan Islam yang disusun harus menjadi landasan kebangkitan Islam, baik dalam aspek intelektual, pengalaman, fisikal, maupun sosial. Ibadah tidak hanya sekadar diartikan shalat atau dzikir akan tetapi pekerjaan dan perbuatan pun merupakan ibadah.
c. Harus sesuai dengan tingkatan pendidikan baik dalam hal karakteristik, tingkat pemahaman, jenis kelamin serta tugas-tugas kemasyarakatan yang telah dirancang dalam kurikulum.
d. Memperkatikan tujuan-tujuan masyarakat yang realistis, menyangkut penghidupan dan bertitik tolak dari keislaman yang ideal. Kurikulum pendidikan Islam sebagai cermin nilai-nilai keadaban dan spiritualitas, baik secara personal maupun kolektif (sosial).
e. Tidak bertentangan dengan konsep dan ajaran Islam, melainkan harus memahami konteks ajaran Islam yang selama ini belum tergali makna dan sumber kebenarannya. Masih banyak teks-teks normatif yang belum terungkap pesan dan hikmahnya yang bisa diteliti untuk kemanfaatan manusia.
f. Rancangan kurikulum harus realistis sehingga dapat diterapkan selaras dengan kesanggupan peserta didik dan sesuai dengan keadaan masyarakatnya. Kurikulum pendidikan Islam merupakan cermin masyarakat.
g. Harus memilih metode dan pendekatan yang relevan dengan kondisi materi, belajar mengajar, dan suasana lingkungan pembelajaran di mana kurikulum tersebut diselenggarakan.
h. Kurikulum pendidikan Islam harus efektif, dapat memberikan hasil pendidikan yang bersifat pemahaman, penghayatan, dan pengamalan.
i. Harus sesuai dengan berbagai tingkatan usia peserta didik. Untuk semua tingkatan dipilih bagian materi kurikulum yang sesuai dengan kesiapan dan perkembangan yang telah dicapai oleh peserta didik. Dalam hal ini yang paling penting adalah tingkat penguasaan bahasa yang dicapai oleh peserta didik. Pendeknya, secara psikologis kurikulum tersebut dapat sesuai dengan kematangan peserta didik.
j. Memperhatikan aspek pendidikan tentang segi-segi perilaku yang bersifat aktifitas langsung seperti berjihad, dakwah Islam, serta penciptaan lingkungan sekolah yang islami, etis dan anggun.
Sedangkan menurut Syaibani, seperti yang dikutip Muhaimin dan Abd Mujib (1993: 187-197), menempatkan empat dasar pokok dalam kurikulum pendidikan Islam, yaitu dasar religi, dasar falsafah, dasar psikologis, dasar sosiologis dan dapat pula ditambah dasar organisatoris.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Majid, Abdul, dan Dian Andayani, 2004. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi; Konsep dan Impelementasi Kurikulum 2004, Bandung: Rosdakarya.
Muhaimain, dkk., 2001. Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: Rosdakarya.
Muhaimin dan Abd Mujib, 1993. Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung: Trigenda Karya.
Nurkancana, Wayan, dan Sumartana, 1986. Evalusi Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional.
Tafsir, Ahmad, 1994. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Rosdakarya.
Fadjar, A. Malik, 1998. Visi Pembaruan Pendidikan Islam, Jakarta: Lembaga Pengembagan Pendidikan dan Penyusunan Naskah Indonesia (LP3NI).

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar