Elemen terakhir dari komponen kurikulum adalah penilaian atau evaluasi. Berhasil tidaknya suatu pendidikan dapat dilihat setelah dilakukan evaluasi terhadap produk dan proses pendidikannya. Jika produk yang dihasilkan sesuai dengan tujuan yang telah tetapkan maka pendidikan disebut berhasil, jika sebaliknya gagal.
Kalau ditinjau dari segi bahasa Arab, bahwa kata yang paling dekat dengan kata evaluasi ialah kata muhasabah, berasal dari kata “حسب” yang berarti menghitung.[1] Al-Ghazali mempergunakan kata ini di dalam menjelaskan tentang evaluasi diri (محا سبة النفس) setelah melakukan aktivitas.[2]
Rasulullah Saw bersabda yang selanjutnya dikutip oleh Al-Ghazali:
حاسبوا أنفسكم قبل أن تحاسبوا
(Adakan perhitungan terhadap diri kalian sebelum kalian diperhitungkan).[3]
Disamping itu, di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menyebutkan tentang evaluasi, diantaranya:
يأيها الذين أمنوا اتقوا الله والتنظر نفس ماقدمت لغد … الاية
(Hai Orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)….)[4]
Berdasarkan dari ayat dan hadits diatas, pengertian evaluasi dapat dipahami bahwa evaluasi merupakan suatu usaha untuk memikirkan, memperkirakan, menimbang, mengukur, dan menghitung aktifitas yang telah dikerjakan, dikaitkan dengan tujuan yang dicanangkan untuk meningkat usaha dan aktifitas menuju tujuan yang lebih baik diwaktu mendatang, segi-segi yang mendukung dikembangkan dan segi-segi yang menghambat ditinggalkan
Dan kalau dikaitkan dengan pendidikan, evaluasi pendidikan berarti usaha memprediksi, membandingkan, mengukur dan menghitung segala aktifitas pendidika untuk meningkatkan usaha dan aktifitasnya dalam mencapai tujuan yang direncanakan di masa akan datang dengan seefektif dan seefesien mungkin.
Menurut Muhaimin dan Abdul Mudjib bahwa evaluasi adalah suatu kegiatan proses penaksiran atas kemajuan, capaian, pertumbuhan dan perkembangan anak didik untuk tujuan pendidikan, sedangkan evaluasi pendidikan Islam adalah kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu pekerjaan dalam pendidikan Islam.[5]
Di dalam agama Islam terdapat sistem hidup yang mampu mengantarkan manusia menuju tujuan hidupnya. Dan barang siapa yang menggunakan Islam sebagai acuan dan pegangan hidup (way of life) di dalam menjalani kehidupannya, maka ia akan dijamin oleh Allah untuk mencapai tujuannya, sebagaiman firman Allah:
ومن يعتصم بالله فقد هدي إلى صراط مستقيم
(Barang siapa yang berpegang teguh kepada ajaran agama Allah (Islam), sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus).[6]
Dengan longgarnya pegangan seseorang pada sistem ajaran agama sebagai acuan dan pegangan hidup (way of life) di dalam menjalani kehidupannya, maka hilanglah kekuatan pengotrol yang ada dalam dirinya. Dengan demikian, satu-satunya alat pengawas dan pengatur moral adalah masyarakat dengan hukum dan peraturannya. Namun biasanya pengawasan masyarakat itu sekuat pengawasan dari dalam diri sendiri. Karena pengawasan masyarakat itu datang dari luar, jika orang luar tidak tahu, atau tidak ada orang yang disangka mengetahuinya, maka dengan senang hati orang itu akan berani melanggar peraturan-peraturan dan hukum-hukum sosial itu. Dan apabila dalam masyarakat itu banyak orang yang melakukan pelanggaran moral, dengan sendirinya orang yang kurang iman tadi akan mudah pula meniru melakukan pelanggaran yang sama. Disisnilah pentingnya dilakukan evaluasi terhadap setiap aktifitas kehidupan di dunia ini dalam menuju kehidupan akhirat.
Nabi bersabda yang selanjutnya dikutip oleh Al-Ghazali sebagai berikut:
إذا هممت بأمر فتدبر عاقبته فإن كان رشدا فأمضه وإن كان غيا فانته عنه
Jika engkau telah merencanakan sesuatu pekerjaan atau suatu program kerja, maka pikirkanlah akibat atau hasil akhirnya. Jika kemungkinan benar maka teruskanlah, tapi jika salah atau merugikan maka hentikannlah.[7]
Dengan demikian, evaluasi hasil pendidikan merupakan evaluasi atas kehidupan dengan segala cobaannya. Pendidikan bukan hanya sekedar persiapan untuk kehidupan di dunia, melainkan ia merupakan kehidupan itu sendiri sebagai jalan untuk persiapan kehidupan di akhirat. seseorang yang kan melaksanakan, membuata program kerja, oleh Islam dianjurakan agar bermula dari perencanaan yang matang, memperhitungkan segala macam kemungkinan yang akan terjadi, dampak positif dan negatifnya bagi hari esok, baik di dunia dan di akhirat. Dari sini tampak jelas bahwa evaluasi yang ditawarkan Al-Ghazali dengan berdasar atas hadis Nabi Saw. tidak sekedar menggunakan item yang verbalistik akan tetapi bersifat integral.
Hadis ini jika dikaitkan dengan evaluasi dalam pendidikan, maka pelaksanaan evaluasi di atas menemukan relevansinya guna mengetahui tingkat keberhasilan seorang pendidik dalam menjalankan tugas mengajarnya, murid dalam melakukan tugas belajar. Evaluasi juga berfungsi untuk menemukan kelemahan-kelemahan yang dilakukan dalam proses kegiata belajar mengajar; baik yang berkaitan dengan materi, metode maupun komponen lainnya.
Al-Ghazali mengutip hadits Nabi Saw, terhadap waktu pelaksanaan evaluasi, Nabi Muhammbad Saw bersabda:
فينبغى للعاقل أن يكون له أربع ساعات ساعة يحاسب نفسه
Seyogyanya bagi orang-orang yang berakal mempunyai empat bagian waktu, dan satu bagian darinya dipergunakan untuk mengevaluasi dirinya.[8]
Dari hadits ini dapat kita pahami bahwa aktivitas dalam satuan waktu, misalnya pendidikan, ditentukan secara periodik, yakni seperempat waktu digunakan untuk melakukan evaluasi. Misalnya dalam satu semester yang efektifnya berlangsung sekitar empat bulan, maka seperempat darinya digunakan untuk melakukan evaluasi. Jika setiap kali tatap muka antara pendidik dan peserta didik berlangsung selama 2 X 45, maka seperempat dari waktu tersebut digunakan untuk mengadakan evaluasi, baik di awal (pre-test) atau di akhir (post-test) berlangsungnya proses belajar mengajar.
Secara praktis sasaran pokok evaluasi dalam proses pendidikan ada tiga yaitu; (a) Segi tingkah laku artinya yang menyangkut sikap, minat, perhatian, keterampilan siswa sebagi akibat dan proses pendidikan; (b) Segi pendidikan. artinya penguasaan materi pelajaran yang diberikan oleh guru dalam proses belajar mengajar; (c) Segi proses belajar mengajar, yaitu proses belajar mengajar perlu diberi penilaian secara obyektif dan guru, proses ini akan menentukan baik tidaknya hasil belajar yang dicapai siswa.[9] Selain itu karena dalam pendidikan Islam tujuan utamanya membentuk akhlak mulia, maka evaluasi lebih menekankan pada penguasaan sikap yang tercermin dalam tingkah laku dalam kehidupan sehari-hannya. Dan uraian ini menunjukan bahwa evaluasi pendidikan Islam seharusnya lebih menekankan pada aspek afektif dan psikomotor bukan pada aspek kognitif yang selama mi menjadi bahan kritikan. Pelaksanaan evaluasi juga harus melibatkan berbagai pihak, baik pihak sekolah, keluarga, maupun masyarakat. Ketiga lembaga ini tidak boleh antara satu dan lainnya bertolak belakang, tidak seirama, dan tidak kondusif bagi pembinaan moral. Oleh karena itu, pembinaan moral pada anak rumah tangga bukan dengan cara menyuruh anak menghafalkan rumusan tentang baik dan buruk, melainkan harus dibiasakan, misalnya harus dilakukan dari sejak kecil, sesuai dengan kemampuan dan umurnya. Dan sekolah merupakan lapangan sosial bagi anak-anak, dimana pertumbuhan mental, moral dan sosial serta segala aspek kepribadian dapat berjalan dengan baik. Pendidikan agama di sekolah harus dilakukan secarra intensif agar ilmu dan amal dapat dirasakan anak didik di sekolah. Selanjutnya masyarakat juga harus mengambil peranan dalam pembinaan moral. Karena kerusakan moral masyarakat sangat besar pengaruhnya terhadap pembinaan moral anak-anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar