Senin, 02 April 2012

KOnTROVERSI UN

 Masih Perlukah Ujian Nasional?
Oleh : Yuli Harti
Siswa SMK Negeri 1 Samarinda - Kelas III UJP

LATAR BELAKANG
Perdebatan muncul tidak hanya karena kebijakan UN yang digulirkan Departemen Pendidikan Nasional minim sosialisasi dan tertutup, tapi lebih pada hal yang bersifat fundamental secara yuridis dan pedagogis.
Dari hasil kajian Koalisi Pendidikan, setidaknya ada empat penyimpangan dengan digulirkannya UN. Pertama, aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Tapi yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif, sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai penentu kelulusan.
Kedua, aspek yuridis. Beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 telah dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah.
Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun 2004/2005. Ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi peserta didik dan orang tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan di -UN-kan di sekolah dan di rumah.
 Keempat, aspek ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN memboroskan biaya. Tahun lalu, dana yang dikeluarkan dari APBN mencapai Rp 260 miliar, belum ditambah dana dari APBD dan masyarakat. Pada 2005 memang disebutkan pendanaan UN berasal dari pemerintah, tapi tidak jelas sumbernya, sehingga sangat memungkinkan masyarakat kembali akan dibebani biaya. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana UN. Sistem pengelolaan selama ini masih sangat tertutup dan tidak jelas pertanggungjawabannya. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penyimpangan (korupsi) dana UN.
Tahun ajaran ini yang menjadi tahun ajaran paling  menghebohkan bagi pelajar tingkat menengah, dimana ada peraturan hebat telah dibuat mereka-mereka petinggi di bidang pendidikan untuk mengubah sedikit standar kelulusan di sekolah tingkat menengah. Ini adalah wacana yang sebenarnya baru saja saya dengar , yaitu bahwa mulai tahun ajaran ini (2007/2008) standar untuk lulus Ujian Nasional mencakup 6 mata pelajaran yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan mata pelajaran yang menjadi ciri khas program pendidikan.
 KONTROVERSI UJIAN NASIONAL
Pada penyelenggaraan UAN tahun ajaran 2003/2004, Koalisi Pendidikan menemukan berbagai penyimpangan, dari teknis hingga finansial. Pertama, teknik penyelenggaraan. Perlengkapan ujian tidak disediakan secara memadai. Misalnya, dalam mata pelajaran bahasa Inggris, salah satu kemampuan yang diujikan adalah listening. Supaya bisa menjawab soal dengan baik, peserta ujian memerlukan alat untuk mendengar (tape dan earphone). Pada prakteknya, penyelenggara ujian tidak memiliki persiapan peralatan penunjang yang baik.         Kedua, pengawasan. Dalam penyelenggaraan ujian, pengawasan menjadi bagian penting dalam UAN untuk memastikan tidak terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh peserta. Fungsi pengawasan ini diserahkan kepada guru dengan sistem silang--pengawas tidak berasal dari sekolah yang bersangkutan, tapi dari sekolah lain. Tapi, pada kenyataannya, terjadi kerja sama antarguru untuk memudahkan atau memberi peluang siswa menyontek.         Kasus di beberapa sekolah, guru, terutama untuk mata pelajaran yang dibuat secara nasional seperti matematika, bahasa Inggris, atau ekonomi, dengan berbagai modus memberi kunci jawaban kepada siswa. Selain itu, pada tingkat penyelenggara pendidikan daerah seperti dinas pendidikan, usaha untuk menggelembungkan (mark-up) hasil ujian pun terjadi. Caranya dengan membuat tim untuk membetulkan jawaban-jawaban siswa.
Itu tadi sekitar kilas balik dari ujian akhir yang telah beberapa tahun ini dilaksanakan di Indonesia. Dan sekarang ini untuk tahun ajaran 2007/2008 para petinggi pendidikan mengeluarkan sebuah rencana bahwa akan menetapkan 6 mata pelajaran yang akan di UN-kan. Ini merupakn fenomena yang benar – benar memberatkan siswa karena pemerintah telah mengeluarkan kebijakan secara instan. Mungkin karena kebijakan pemerintah ini akan menambah daftar panjang kecurangan maupun penyimpangan dalam Ujian Akhir Nasional.
Sebuah cita-cita keren menurut saya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia . Dimana pemerintah menginginkan pendidikan di Indonesia bisa seperti negara lain . Saya benar-benar berbangga diri jika yang demikian bisa terwujud. Saya salut dengan pemerintah yang berani mengambil keputusan ini.
Namun , Program pemerintah ini apakah akan berhasil jika tahun ini mulai diterapkan ? Pemerintah tidaklah sendirian dalam perjuangan ini . Dari pemerintah pendidikan pusat sampai siswa adalah semua faktor untuk mendukung upaya ini . Terutama bagi para siswa , merekalah yang sebenarnya sangat berperan dalam upaya ini. dari hasil kelulusan merekalah keberhasilan program ini bisa dilihat.
Mayoritas para siswa sangat keberatan untuk menghadapi Ujian Nasional yang 6 Mata Pelajaran ini. Mereka semua menganggap bahwa Upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan meningkatkan standar kelulusan adalah satu cara instan yang salah . Pemerintah terlalu ngotot untuk memberlakukan aturan ini padahal kenyataanya sistim pendidikan di negeri kita ini masih banyak yang perlu diperbaiki.Salah satu kebijakan kontroversial adalah keputusan Mendiknas Nomor  017 Tahun 2003 mengenai Ujian Akhir Nasional (UAN). Kebijakan ini mendapat tantangan dari berbagai kalangan pendidik. Kalangan guru merasa dipotong haknya sebagai penentu kelulusan siswa. Selain itu siswa pun merasa hasil belajar mereka tidak dihargai karena penilaian hanya didasarkan pada nilai UAN. Meski hanya 3 mata pelajaran, tidak seperti Ebtanas yang bisa mencapai 7 mata pelajaran, kebijakan itu tetap saja menuai protes.Apalagi belakangan diketahui bahwa Depdiknas menggunakan tabel konversi untuk mengatrol nilai siswa yang rendah. Banyak yang menilai bahwa kebijakan UAN hanya cara mudah pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dengan memuat standar nilai kelulusan, diharapkan tidak semua siswa bisa lulus dan mutu lulusan pun meningkat. Padahal dengan kondisi Indonesia yang sangat beragam, tidak mungkin membuat sebuah standar yang sama dari Sabang sampai Merauke.
MASIH PERLUKAH UJIAN NASIONAL ?
Meski ujian pada akhir satuan pendidikan secara nasional merupakan kegiatan rutin, UAN (ujian akhir nasional) pada tahun 2004 menuai kritikan tajam dari berbagai kalangan. Kontroversi tentang UAN diawali oleh munculnya penolakan sekelompok masyarakat terhadap kebijakan kenaikan batas kelulusan dari 3,01 pada tahun 2003 menjadi 4,01 pada tahun 2004. Pada tahun 2006/2007 kebijakan tersebut menjadi naik menjadi 4.51 dan pada tahun ajaran 2007/2008 manjadi 5.00 dengan 6 mata pelajaran yang harus di UN-kan.
Masyarakat berpendapat bahwa UAN bertentangan dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (pasal 58 ayat 1 dan pasal 59 ayat 1). Sebagian berpendapat bahwa UAN berdampak negatif terhadap pembelajaran di sekolah, menghamburkan biaya, dan hanya mengukur aspek kognitif. Argumentasi lain adalah kondisi mutu sekolah yang sangat beragam sehingga tidak adil jika harus diukur dengan menggunakan ukuran (standar) yang sama.
Salah satu isu yang mendapat perhatian banyak pihak adalah kekhawatiran tentang kemungkinan banyaknya siswa yang tidak lulus (tidak dapat mencapai batas minimal 4,51). Berbagai survei pra-UAN dilakukan di sejumlah daerah yang menunjukkan proporsi siswa yang tidak lulus, cukup besar. Kekhawatiran itu tidak terbukti karena setelah hasil UAN diumumkan ternyata proporsi siswa yang tidak lulus, relatif kecil. Namun kebijakan konversi nilai UAN ini menuai kritikan. Salah satunya, tabel konversi nilai UAN dianggap sebagai upaya subsidi silang, menolong siswa yang kurang pandai dengan merugikan siswa yang pandai. Pendapat yang mendukung agar UAN tetap dipertahankan antara lain didasarkan kepada argumentasi tentang pentingnya UAN sebagai pengendali mutu pendidikan secara nasional dan pendorong bagi pendidik, peserta didik, dan penyelenggara pendidikan untuk bekerja lebih keras guna meningkatkan mutu pendidikan (prestasi belajar).                                                                        
Ujian sekolah itu mutlak diperlukan karena bisa mendorong para siswa belajar lebih serius dan juga berguna untuk mengukur keberhasilan proses belajar. Apakah ujian nasional sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa ataukah digabung dengan ujian akhir sekolah, sah-sah saja diperdebatkan. Dan wacana kebijakan pemerintah dalam menambah mata pelajaran dalam UAN menjadi 6 mata pelajaran pun sah – sah saja di perdebatkan, asal pemerintah mengimbangi kebijakan tersebut dengan melengkapi sarana maupun prasarana di seluruh sekolah secara merata.
Namun, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana membentuk kultur sekolah (school culture) yang memiliki komitmen untuk memelihara nilai-nilai unggul (living values) yang menjadi spirit, acuan, dan iklim kehidupan bagi guru, murid, maupun karyawan sekolah. Sebuah komunitas sekolah seharusnya merupakan learning society yang setia menjaga dan menghidupkan nilai-nilai unggul dalam kehidupan sehari-hari, sehingga sekolah merupakan lembaga katalisator yang mampu memfasilitasi siswa menemukan dan mengembangkan bakat dan minatnya dengan disertasi nilai-nilai moral yang luhur.
AKHIRI KONTROVERSI UJIAN AKHIR NASIONAL
Kontroversi ujian nasional atau UN yang muncul sejak tahun 2003 sampai kini belum tuntas. Setiap menjelang pelaksanaan UN selalu terjadi tarik ulur antara Depdiknas dan DPR (dulu Komisi VI, sekarang Komisi X), tapi ending-nya kemenangan selalu ada pada pemerintah.
Peningkatan mutu pendidikan dapat dilakukan, antara lain, dengan menerapkan sistem ujian yang baik pada setiap akhir tahun pelajaran untuk kenaikan kelas dan pada akhir setiap satuan pendidikan. Ujian merupakan strategi yang umum digunakan oleh negara-negara berkembang dalam meningkatkan mutu pendidikannya karena merupakan cara yang efektif dan murah dalam memengaruhi apa yang diajarkan guru dan apa yang dipelajari peserta didik. Penggunaan tes dan ujian dalam dunia pendidikan, walaupun dengan misi dan tujuan yang beragam, terus berkembang di berbagai Negara.
Untuk memahami mengapa ujian yang dilaksanakan selama ini belum mampu mewujudkan fungsinya secara optimal dapat merujuk, antara lain, kepada temuan tim dari Bank Dunia yang menyatakan bahwa dua hal penting yang menentukan manfaat ujian bagi peningkatan mutu pendidikan adalah (a) mutu tes yang digunakan, dan (b) mutu balikan yang diberikan. Selain itu, mereka juga menyatakan bahwa prasyarat agar kedua faktor tersebut berfungsi dengan baik dalam meningkatkan prestasi akademik peserta didik adalah kesamaan persepsi guru, kepala sekolah, orang tua, dan siswa tentang pentingnya ujian dalam proses pendidikan.
Sistem ujian yang diharapkan adalah suatu sistem yang mampu membantu penyelenggara pendidikan menegakkan akuntabilitas publik, memberikan balikan yang bermanfaat kepada sistem pendidikan untuk meningkatkan mutu kinerja dan efektivitasnya, serta mampu mengendalikan dan mendorong terjadinya peningkatan mutu pendidikan (sekurang-kurangnya prestasi akademik peserta didik). Studi yang dilakukan oleh tim dari Bank Dunia memberikan pelajaran bahwa sistem apa pun yang dihasilkan hanya akan efektif jika didukung oleh kesamaan persepsi dan komitmen dari pihak-pihak yang terkait untuk mengimplementasikan sistem itu secara konsekuen.
Menurut saya , kemauan pemerintah untuk menambah mata pelajaran dalm UAN ini salah . Secara sederhana bisa kita lihat , sarana dan prasarana pendidikan yang ada di indonesia. apakah semua sekolah sama ? Di daerah tentunya berbeda dengan di ibukota , di kota tentunya juga sangat berbeda dengan di desa , antara sekolah favorit dengan sekolah lain yang biasa-biasa saja , Negeri dengan swasta . Contoh lain berkaitan dengan tenaga pengajar , Apakah semua tenaga pengajar mempunyai kualitas yang merata ?
Jadi sah-sah saja kalau memang pemerintah ingin merubah standar kelulusan mulai tahun pelajaran ini . Boleh-boleh saja punya kemauan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di indonesia . Tapi agaknya pemerintah juga harus secara bertahap melakukannya . Perbaiki dulu sistem pendidikan di negeri kita ini , benahi semua sarana dan prasarana pendidikan , sama ratakan antara sekolah di pusat dengan di daerah , (di desa dan di kota) , tingkatkan kualitas tenaga pengajar yang ada , benahi kesejahteraan guru ,hilangkan deskriminasi sekolah negeri dengan swasta, penuhi anggaran pendidikan yang katanya 20 % itu . dan masih terlalu banyak lagi yang perlu diperbaiki.
Ada yang lebih penting dari kontroversi ujian nasional, yaitu bagaimana mendidik anak-anak agar memiliki etos belajar dan kerja keras. Ada kekhawatiran yang cukup beralasan, anak-anak Indonesia tumbuh dalam lingkungan sekolah dan sosial yang semrawut sehingga mereka tidak memiliki visi kebangsaan dan tidak memiliki komitmen kemanusiaan serta etos keilmuan yang kuat.
KESIMPULAN  
Dari 174 negara yang diteliti pada tahun 1996, IPM Indonesia berada pada peringkat 102, sedangkan Singapura, Brunei, Thailand, dan Malaysia, secara berturut-turut, menduduki peringkat 34, 36, 52, dan 53. Pada tahun 1977, peringkat IPM Indonesia naik mejadi 99, kemudian turun ke peringkat 105 pada tahun 1998, dan turun lagi ke peringkat 109 pada tahun 1999.
Sejumlah studi yang terkait dengan kinerja pendidikan juga menunjukkan bahwa mutu pendidikan di Indonesia masih memprihatinkan. Studi yang dilakukan oleh berbagai pihak memperlihatkan bahwa tingkat penguasaan siswa kelas 6 SD pada mata pelajaran bahasa Indonesia, matematika, dan IPA pada tahun 1976 adalah 35, 33, dan 37, kemudian turun menjadi 27,7, 21,5, dan 24,2 pada tahun 1989 (Sumber: Tim UPI, 2004). Gambaran itu merupakan bukti untuk memacu mutu pendidikannya dan meningkatkan kesempatan seluruh warga memperoleh pendidikan bermutu dengan meningkatkan sarana dan prasarana di seluruh sekolah yang ada secara merata.
“Saya kira jika materi yang diujikan dalam Unas lebih dari 3 bidang studi justru bisa membawa dampak positif dalam dunia pendidikan. Pasalnya selain tidak akan terjadi diskriminasi pelajaran, sekolah bisa mengetahui sejauhmana kompetensi dasar lulusannya. Memang untuk mewujudkan hal itu bukan sesuatu yang mudah, namun jika sosialisasi terkait dengan hal itu dilakukan sejak awal. Mungkin berbagai persoalan yang muncul dalam pelaksanaan Unas akan bisa diatasi.
“Memang jika materi yang diunaskan lebih dari 3 bidang studi mau tidak mau sekolah harus bekerja keras untuk memenuhi target yang sudah ditentukan. Tapi bukan berarti hal itu harus disikapi secara berlebihan. Di samping tidak akan menyelesaikan masalah, saat ini yang penting dan perlu segera dilakukan adalah kepastian terkait dengan hal itu segera disosialisasikan ke sekolah.
SARAN
Semoga mutu pendidikan di Indonesia dapat menjadi lebih baik dengan memperbaiki segala aspek pendidikan dengan tidak merugikan satu pihak manapun dengan  menindak keras kecurangan – kecurangan yang menyelimuti dunia pendidikan kita.
Dan dengan matang memikirkan kebijakan – kebijakan yang menyangkut banyak faktor seperti Ujian Akhir ini karena pendidikan itu menyangkut kecerdasan bersama. 



KONTROVERSI UJIAN NASIONAL DALAM KACA MATA PSYKOLOGI 2010/01/15

Posted by Aiyub Ilyas in Pendidikan
trackback
Keputusan Mahkamah Agung (MA) tentang pelarangan ujian nasional bagi siswa karena melanggar undang-undang patut diacungi jempol. Kita selaku masyarakat Indonesia yang selalu menginginkan negeri ini menjadi negeri yang disegani dan mampu bersaing dalam kancah pegaulan dunia dibidang pendidikan, sering dibuat bingung dengan berbagai kebijakan pejabat, terutama dibidang pendidikan. Kita kadang bertanya dalam hati, apakah keputusan yang dibuat untuk kemajuan pendidikan atau sekedar menciptakan proyek untuk memenuhi pundi-pundi keuangan pribadi dan golongan.
Memang keinginan untuk menggelar ujian nasional dengan alasan meningkatkan motivasi belajar mengajar para guru dan siswa. Karena menurut pemahaman mereka yang pro ujian nasional, bahwa adanya ujian nasional dengan standar yang ditetapkan departemen pendidikan akan dapat memotivasi sekolah dalam hal ini para guru dan siswa untuk mengajar dan belajar lebih giat. Tapi menurut saya pemikiran seperti ini tidaklah adil, karena mereka tidak pernah berfikir apakah selama ini pemerataan fasilitas dan kualitas guru sudah diberikan. Seharusnya pertanyaan tersebut menjadi acuan bagi mereka dalam membuat kebijakan untuk kemajuan pendidikan.
Mencermati hal ini penulis ingin memandang kontroversi ujian nasional dari kaca mata ilmu psykologi. Beberapa ahli psykologi mengatakan bahwa motivasi manusia untuk belajar datang dari keinginan mereka untuk ingin tahu, mengerti dan keinginan mengembangkan diri. Jadi motivasi yang mucul dalam diri siwa untuk belajar tidak datang dari nilai yang mereka peroleh pada akhir proses pembelajaran, tapi muncul dari kesenangan dan keaktifan mereka selama proses pembelajaran (internal motivation). Selain itu motivasi dari luar (eksternal motivation) juga ikut mempengaruhi, dimana siswa dapat termotivasi melalui adanya penghargaan (reward), tapi  tidak akan termotivasi melalui sangsi (punishment).
Tiori psykologi ini telah digunakan secara meluas di negara-negara skandinavia dalam merancang sistem pendidikan mereka, salahsatunya Fillandia yang dikenal sebagai negara dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia. Dalam pemikiran mereka bahwa kemajuan pendiikan akan diperoleh apabila keinginan siwa untuk belajar bisa ditingkatkan dan keinginan belajar ini bisa dihasilkan bila siswa memiliki ketertarikan dan motiviasi terhadap proses pembelajaran. Memang mereka juga masih mengenal sistem nilai dalam proses pembelajaran, tapi hanya digunakan untuk mengetahui perkembangan siswa sehingga dapat mengevaluasi proses pendidikan.
Mencermati tiori psykologi ini dalam hubungannya dengan kontroversi ujian nasional yang saat ini sedang marak-maraknya diperbincangkan dan didiskusikan, maka muncul tiga pertanyaan yang akan penulis bahas dalam tulisan ini, yaitu seberapa seriuskah para pengatur kebijakan pendidikan di negeri ini untuk merancang sistem dan proses pendidikan yang menyenangkan dan mampu meningkatkan motivasi belajar siwa?, apakah fasilitas dan kualitas pendidikan sudah merata di semua sekolah di negeri ini?, dan apakah mereka yang tidak lulus ujian nasional akan termotivasi untuk kembali balajar demi kelulusan di tahun berikutnya?. Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dikaji lebih mendalam kalau kita ingin mendapatkan hasil pendidikan yang lebih berkualitas.
Berbicara masalah pendidikan bukan hanya berbicara masalah peningkatan anggaran, tapi lebih kepada adanya masterplan tentang tata kelola pendikan dan sumber daya yang akan dimanfaatkan dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan. Seberapa besarpun anggaran yang diplotkan untuk bidang pendidikan tidak akan punya arti apa-apa bila para pengambil kebijakan dan pelaksana kebijakan di bidang pendidikan masih berwatak koruptif dan manipulatif. Mereka akan lebih cendrung memandang pengelolaan pendidikan pada struktur bukan substansi. Dalam arti pengelolaan pendidikan akan dihitung melalui berapa banyak anggarakan pendidikan yang bisa dihabiskan, tapi mereka tidak pernah mau tau bagaimana hasil dari proses pendidikan. Bahkan hasil pendidikan akan cendrung dilaporkan dalam bentuk puisi-puisi cinta dan angka-angka untuk mempertahankan kredibilitas pribadi dan golongan serta memuaskan opini publik.
Seharusnya sistem pendidikan lebih ditekankan pada pelaksanaan proses pendidikan, seperti peningkatan dan pemerataan kualitas pengajar, peningkatan fasilitas belajar, perpustakaan dan laboratorium. Proses belajar dirancang lebih atraktif dan edukatif yang mengacu kepada peningkatan ketrampilan bukan hanya intelektual. Proses belajar harus mampu memotivasi siswa untuk belajar mandiri tidak hanya bergantung kepada pengajar sebagai sumber ilmu, namun siswa harus termotivasi untuk mengembangkan pengetahuannya melalui berbagai sumber bacaan. Serta yang paling penting adalah merubah pola pikir siswa bahwa belajar bukan hanya sekedar lulus dan mendapat nilai bagus, tapi belajar harus mampu merubah prilaku untuk kehidupan lebih bagus.
Di negara-negara skandinavia pengembangan proses pembelajaran diarahkan pada empat faktor. Pertama bagaimana siswa mendapat kesenangan dan kebebasan dalam belajar (flyt). Siswa tidak terikat oleh patokan nilai yang harus dicapai, tapi mereka dibuat lebih menyukai, memiliki rasa kepuasan dan sikap optimis terhadap mata pelajaran yang diajarkan. Kedua autonomi dimana pelajaran dirancang secara menarik, mampu mempengaruhi pola pikir dan dapat meningkatkan daya imajinasi siswa sehingga mereka akan lebih kreatif dan mandiri dalam proses pembelajaran.
Ketiga adalah proses pembelajaran yang berbasis kompetensi, dimana penyusunan kurikulum dan rencana pengajaran lebih mengarah kepada peningkatan ketrampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga setiap lulusan diharapkan memiliki kompetensi dalam pengembangan hidup. Dan yang terakhir adalah tanggung jawab (tilhørighet), dimana proses pembelajaran dirancangn supaya siswa punya tanggung jawab terhadap kompetensi yang dimiliki yang didasari pada kebajikan dan moralitas sehingga mampu meningkatkan motivasi untuk berkarya dalam kehidupan dari pada hanya sekedar prestasi atau nilai akhir.
Rancangan sistem pendidikan seperti inilah yang telah membuat negara-negara skandinavia kian unggul dalam bidang pendidikan terutama pendidikan dasar dan menengah, disamping memang anggaran pendidikan yang disediakan pemerintah sangat memadai.
Anggaran pendidikan tidak hanya sekedar jumlah, tapi harus efektif dan tepat sasaran. Pemerataan tentu harus menjadi dasar pemikiran dalam pendistribusian anggaran, sehingga semua sekolah akan mampu meningkatkan mutunya dalam mengejar ketertinggalan. Kebebasan daerah dalam mengatur otonomi pendidikan harus dibuka seluas-luasnya, sehingga daerah mampu merancang pendidikan sesuai kearifan lokal. Keinginan inilah yang juga sempat diperdebatkan dalam rapat masyarakat Aceh se dunia (WAA) di Denmark. Mereka tidak hanya menuntut otonomi pendidikan, tapi menuntut supaya Aceh membuat sistem pendidikan tersendiri yang tidak terikat dengan Jakarta. Keinginan ini tentu dengan asumsi, mengatur sistem pendidikan dalam daerah yang lebih kecil jauh lebih mudah dari megatur pendidikan secara nasional yang sering berubah-ubah.
Selain itu angaran pendidikan juga harus diarahkan pada pengembangan proses pembelajaran dari pada hanya membangun gedung-gedung sekolah yang megah. Pengembangan kurikulum, guru, pemerataan fasilitas pustaka dan laboratorium harus menjadi perioritas, kalau memang ingin menuntut mutu pendidikan yang lebih bagus.
Tentang pertanyaan apakah siswa yang harus mengulang ujian nasional karena tidak lulus akan memiliki motivasi ganda, tentu perlu penelitian lebih lanjut. Namun dalam kaca mata psykologi tidak ada indikasi bahwa punishment mampu meningkatkan motivasi. Sehingga para pengatur kebijakan harus kembali berfikir apa perlakukan yang harus diberikan untuk mereka selama penantian tahapan ujian selanjutnya, misalnya memberi pelatihan ketrampilan bersamaan dengan penguatan pengetahuan terhadap pelajaran yang akan diujiankan.
Akhirnya kalau pembenahan sistem dan proses pendidikan telah dilakukan dengan baik, pengembangan kualitas guru dan pendistribusian fasilitas pendidikan sudah merata di seluruh negeri, baru pemerintah bisa menuntut kualitas pendidikan melalui patokan nilai hasil ujian nasional. Kalau merasa belum cukup, jangan bermimpi disiang bolong karena mimpi anda akan membebani rakyat miskin di pelosok negeri. Jadi yang diperlukan oleh pengatur kebijakan adalah berfikir logis, bijak dan memenuhi rasa keadilan. Jangan lagi berfikir fragmatis dan instan karena itu akan menghancurkan harapan anak negeri yang butuh kemajuan.


Walaupun ujian nasional merupakan kegiatan rutin yang diselenggarakan pemerintah, tapi dalam pelaksanan menuai banyak kontroversi baik dari siswa, guru maupun masyarakat. Kontroversi tentang ujian nasional diawali dari munculnya penolakan sekelompok orang yang menolak kenaikan batas kelulusan dari 3,01 pada tahun 2003 menjadi 4,01 pada tahun 2004. Masyarakat menilai kenaikan batas kelulusan terlalu tinggi. Salah satu isu yang mendapat perhatian banyak pihak adalah kekhawatiran tentang kemungkinan banyaknya siswa yang tidak lulus akibat batas kelulusan yang terlalu tinggi. Berbagai survei yang dilakukan di sejumlah daerah, menunjukkan proporsi siswa yang tidak lulus, cukup besar. Dan dalam pelaksanaannya masih banyak yang perlu dibenahi oleh pemerintah. 
Dari pengalaman UN yang telah dilakukan selama tiga tahun, berbagai kecurangan yang dilakukan oleh berbagai pihak di berbagai daerah, seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk segera mempertimbangkan kembali kelanjutan penyelenggaraan UN. Berbagai kecurangan tersebut jelas akan berdampak negatif pada perkembangan siswa dan kualitas pendidikan kita.

Dengan menyelenggarakan UN, menyebabkan pemerintah melanggar UU No. 20 tahun 2003 pasal 58 ayat 1 pasal 59 ayat 1. Pemerintah telah mengambil alih tugas pendidik untuk melakukan evaluasi hasil belajar peserta didik, sementara tugasnya sendiri untuk melakukan evaluasi terhadap pengelola tidak dilakukannya.

Disorientasi juga terjadi pada arah dan tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Dengan adanya UN, maka pembelajaran cenderung hanya mengembangkan ranah kognitif, pada penguasaan pengetahuan, dan mengesampingkan ranah lain yang sebenarnya tidak kalah pentingnya untuk menghasilkan individu-individu yang utuh dan berkarakter, yaitu ranah afektif dan psikomotorik.

Pembatasan mata pelajaran yang diujikan dalam UN, berakibat pada fokus proses pembelajaran di sekolah hanya ditekankan pada penguasaan mata pelajaran tersebut, sedangkan mata pelajaran lain dianggap hanya sebagai pelengkap. Hal ini menyebabkan terjadinya diskriminasi dan pengabaian terhadap mata pelajaran lain. Para siswa dan bahkan orang tua lebih memusatkan perhatiannya terhadap mata pelajaran yang akan di UN-kan, terutama pada siswa kelas akhir.

Untuk mempersiapkan para siswanya menghadapi dan mengerjakan soal-soal UN, para guru biasanya menggunakan metode pembelajaran drill, dimana para siswa dilatih untuk mengerjakan sejumlah soal yang diduga akan keluar dalam ujian. Pembelajaran dengan model ini jelas tidak bermakna, karena apa yang dipelajari bersifat mekanistik, bukan pada penguasaan konsep yang esensial. Pembelajaran seperti ini tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir dalam memecahkan masalah, yang menjadi indikator kecerdasan sebagaimana yang diharapkan dicapai melalui pembelajaran.

Tuntutan kelulusan yang tinggi, baik terhadap persentase/jumlah siswa yang dinyatakan lulus, maupun besarnya nilai yang diperoleh para siswa, mendorong sekolah untuk melakukan berbagai upaya untuk mencapainya. Tuntutan seperti ini sekaligus berdampak pada terbentuknya citra dan prestise sebuah sekolah. Sekolah yang mampu meluluskan siswanya dengan prosentase yang tinggi dengan nilai UN yang tinggi, dinilai sebagai sekolah yang berkualitas dan unggul. Setiap sekolah menginginkannya dan berbagai upaya dilakukan untuk mencapai posisi tersebut. Namun sayang, tidak sedikit oknum guru dan kepala sekolah melakukan upaya-upaya yang tidak terpuji.

Selama ini hasil UN dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa. Proses belajar yang dilakukan siswa selama 3 tahun di SLTP dan SLTA, nasibnya ditentukan oleh hasil ujian yang dilakukan beberapa jam saja.


Sumber: http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting/2274767-kontroversi-ujian-nasional/#ixzz1qt2oAsCP


Tidak ada komentar:

Posting Komentar